Skrining Penyakit Sickle Cell pada Bayi Baru Lahir

Oleh :
dr. Ardi Putranto Ari Supomo, Sp. PK

Skrining penyakit sickle cell atau penyakit sel sabit pada bayi baru lahir bertujuan untuk mendeteksi dan melakukan prevensi komplikasi sejak dini, dengan harapan agar risiko morbiditas dan mortalitas dapat dikurangi. Penyakit sickle cell dapat menyebabkan anemia sickle cell dan meningkatkan risiko berbagai komplikasi fatal di usia anak-anak. Penyakit ini menurun secara resesif autosomal akibat mutasi hemoglobin, di mana HbA (hemoglobin A) bermutasi menjadi HbS (hemoglobin sickle).[1,2]

Prevalensi penyakit sickle cell secara global adalah 2.28 per 1000 kelahiran. Di Afrika, prevalensi dilaporkan jauh lebih tinggi (10.68 per 1000 kelahiran), dengan perkiraan angka kematian 50–80% pada usia 5 tahun. Penyakit ini menurunkan survival rate di tengah kondisi endemik infeksi tertentu di Afrika dan India, misalnya malaria.[1-3]

Newborn,Blood,Spot,(heel,Prick),Test,(the,Guthrie',Test).,A

Pada penyakit sickle cell, terjadi pembentukan sel darah merah berbentuk sabit yang sifatnya mudah rusak (kaku dan rapuh). Hal ini meningkatkan hemolisis, yang akhirnya menyebabkan anemia sickle cell. Pasien penyakit sickle cell juga umumnya mengalami penyumbatan saluran pembuluh darah kecil atau vaso-oklusi. Peningkatan hemolisis dan vaso-oklusi ini dapat berujung pada berbagai komplikasi, yaitu:

  • Komplikasi akut: iskemia, nyeri akibat krisis vaso-oklusi, acute chest syndrome, stroke, sekuestrasi empedu, gagal ginjal akut, dan kolesistitis
  • Komplikasi kronis: nyeri kronis, kolelitiasis, disfungsi ginjal, hipertensi, hipertensi pulmonal, retinopati, ulkus kaki, dan nekrosis avaskuler di pangkal tulang paha dan humerus yang meningkatkan risiko infeksi dan sepsis[1-3]

Rekomendasi Skrining Penyakit Sickle Cell pada Bayi Baru Lahir

Rekomendasi skrining penyakit sickle cell pada bayi baru lahir menurut US Guideline on Newborn Screening dan pedoman Kanada adalah menggunakan sampel heel-prick, yakni pengambilan darah tusuk daerah tumit. Darah tersebut kemudian diteteskan ke kartu DBS (dry blood spot, kartu berbahan kertas filter) yang dilakukan antara 24–72 jam setelah kelahiran atau disesuaikan dengan kebijakan RS masing-masing. Setelah itu, evaluasi sampel yang sama dilakukan pada usia 1–2 minggu. Bila bayi menerima transfusi darah, evaluasi dilakukan 90–120 hari setelah transfusi.[4]

Sampel DBS yang sudah diambil kemudian dikirimkan ke laboratorium rujukan dan dilakukan pemeriksaan maksimal 72 jam sejak sampel diterima. Pemeriksaan skrining yang direkomendasikan menggunakan metode biokimia HPLC (high performance liquid chromatography) dan IEF (isoelectric focusing). Metode terbaru sebagai konfirmasi menggunakan teknologi molekuler berbasis DNA (deoxyribonucleic acid).[4]

Rekomendasi skrining pada bayi baru lahir menurut British NHS juga memakai sampel heel-prick. Sampel diambil pada bayi yang baru lahir hingga usia maksimal 5 hari pasca lahir. Metode ini juga diwajibkan untuk bayi yang datang ke Inggris di usia <1 tahun. Evaluasi diperlukan pada bayi dengan kadar HbF (hemoglobin fetus) atau HbA kurang dari kadar normal. Bayi dengan riwayat transfusi di awal kelahiran perlu diperiksa DNA. Apabila tidak dilakukan, perlu ada skrining ulang 4 bulan pasca transfusi. Pemeriksaan juga menggunakan metode HPLC dan CE (capillary electrophoresis).[5]

Kementerian Kenya merekomendasikan skrining penyakit sickle cell pada bayi baru lahir di awal 3–6 bulan kehidupan untuk menghindari komplikasi yang mengancam jiwa, seperti sepsis dan krisis sekuestrasi limpa. Sampel yang digunakan juga berupa sampel heel-prick, kemudian diteteskan ke kartu DBS. Sembilan dari 10 anak yang lahir dengan penyakit sickle cell di sub-sahara Afrika tanpa diberi intervensi medis akan meninggal sebelum usia 5 tahun.[6]

Consortium of the German Society for Paediatric Oncology and Haematology juga merekomendasikan sampel darah kapiler atau heel-prick yang diteteskan ke kartu DBS untuk skrining. Metode biokimia yang digunakan adalah IEF, CE, dan HPLC. Metode terbaru menggunakan mass spectrometry dan analisis genetik molekuler dengan gene encoding β-globin. Skrining dilakukan 36–72 jam pasca bayi dilahirkan.[7]

Bukti tentang Manfaat Skrining Penyakit Sickle Cell pada Bayi Baru Lahir

Program skrining penyakit sickle cell di beberapa negara telah diikuti dengan langkah preventif untuk mengurangi risiko komplikasi, misalnya follow-up berkala dan pemberian antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi. Suatu studi menunjukkan bahwa skrining penyakit sickle cell yang diikuti dengan langkah preventif dapat mengurangi mortalitas hingga 10 kali lipat. Namun, studi tersebut merupakan studi retrospektif.[1]

Saat ini belum terdapat banyak bukti kuat mengenai manfaat program skrining penyakit sickle cell terhadap penurunan mortalitas. Namun, beberapa negara, misalnya Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, dan Belgia tetap memasukkan penyakit ini sebagai bagian dari skrining bayi baru lahir sesuai bukti terbatas yang ada saat ini.[1]

Skrining Penyakit Sickle Cell pada Bayi Baru Lahir di Indonesia

Saat ini skrining penyakit sickle cell belum dilakukan secara luas di Indonesia. Pada umumnya, pelayanan neonatal esensial dibagi menjadi 3 kunjungan, yaitu: kunjungan neonatal 1 (usia 6–48 jam), kunjungan neonatal 2 (3–7 hari), dan kunjungan neonatal 3 (8–28 hari). Kunjungan mencakup pemantauan pertumbuhan dan skrining beberapa penyakit tertentu, misalnya penyakit jantung bawaan (PJB) atau hipotiroid kongenital. Program skrining penyakit sickle cell belum tersedia.[8]

Kesimpulan                                                                                                

Skrining penyakit sickle cell atau penyakit sel sabit pada bayi baru lahir telah diterapkan di beberapa negara dan diikuti dengan langkah preventif untuk mencegah komplikasi. Skrining umumnya menggunakan sampel darah heel-prick yang diteteskan ke kartu dry blood spot (DBS) untuk pemeriksaan. Sampel umumnya diambil 24–72 jam setelah bayi lahir, tetapi hal ini dapat berbeda-beda tergantung kebijakan masing-masing negara.

Di Indonesia, skrining penyakit sickle cell belum menjadi prioritas pemerintah terutama Kemenkes RI karena masih banyaknya permasalahan kesehatan yang prevalensinya lebih tinggi dan belum teratasi. Di Indonesia, belum banyak kejadian penyakit sickle cell, mengingat penyakit ini lebih banyak dialami dan diwariskan pada populasi Afrika, India, dan Timur Tengah.

Skrining bayi baru lahir di Indonesia sementara ini masih fokus pada PJB dan hipotiroid kongenital yang kasusnya semakin tahun semakin meningkat. Skrining penyakit sickle cell mungkin dapat dilakukan secara selektif, misalnya pada bayi yang orang tua atau keluarga dekatnya beriwayat penyakit sickle cell.

Referensi