Cardiovascular and mortality outcomes with GLP‑1 receptor agonists vs other glucose‑lowering drugs in individuals with NAFLD and type 2 diabetes: a large population‑based matched cohort study
Krishnan A, et al. Diabetologia. 2024. 67:483–493. DOI: 10.1007/s00125-023-06057-5
Abstrak
Tujuan: Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah penggunaan agonis reseptor glucagon-like peptide-1 (GLP-1RA) pada individu non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dengan diabetes melitus tipe 2 dapat menurunkan risiko adverse cardiovascular events (CVE) awitan baru dan tingkat mortalitas bila dibandingkan dengan penggunaan obat penurun glukosa lain pada kondisi nyata dalam skala populasi besar.
Metode: Peneliti melakukan studi population-based propensity matched retrospective cohort. Kohort terdiri dari pasien di atas 20 tahun yang baru saja menggunakan obat penurun glukosa antara 1 januari 2013 hingga 31 desember 2021, dan diamati hingga 30 september 2022. Pengguna baru GLP-1RA akan dipasangkan (1:1 propensity matching) dengan pengguna obat penurun glukosa lain berdasarkan kecocokan umur, demografi, komorbiditas, dan jenis obat.
Luaran primer adalah CVE awitan baru yang meliputi gagal jantung, insiden komposit major adverse cardiovascular events (MACE) yang didefinisikan sebagai angina tidak stabil, infark miokard, serta penyakit arteri koroner yang membutuhkan prosedur atau pembedahan; dan komposit kejadian serebrovaskuler yang didefinisikan sebagai kejadian stroke pertama kali, transient ischemic attack, infark serebral, serta intervensi karotis atau pembedahan terkait. Luaran sekunder ialah mortalitas segala-sebab. Model cox proportional hazard digunakan untuk memperkirakan hazard ratio (HR).
Hasil: Studi ini melibatkan 2.835.398 pasien NAFLD dengan diabetes mellitus tipe 2. Tidak ditemukan perbedaan signifikan dalam hal awitan baru gagal jantung (HR 0,97;95%CI 0,93-1,01), MACE (HR 0,95;95%CI 0,90-1,01), dan kejadian serebrovaskuler (HR 0,99; 95% CI 0,94-1,03) antara grup pengguna inhibitor sodium glucose cotransporter 2 (SGLT2i) dengan grup pengguna GLP-1RA.
Selain itu, tidak ditemukan pula perbedaan bermakna pada kedua grup dalam tingkat mortalitas (HR 1,06;95%CI 0,97-1,15). Hasil serupa tetap konsisten pada analisis sensitivitas.
Jika dibandingkan dengan grup pengguna obat penurun glukosa lini kedua atau ketiga, pasien di grup GLP-1RA menunjukkan penurunan bermakna pada insiden CVE awitan baru, yakni gagal jantung (HR 0,88; 95% CI 0,85-0,92), MACE (HR 0,89;95%CI 0,85-0,94), kejadian serebrovaskuler (HR 0,93;95%CI 0,89-0,96) maupun tingkat mortalitas (HR 0,70; 95%CI 0,66-0,75).
Kesimpulan: Pada individu NAFLD dengan diabetes mellitus tipe 2, penggunaan GLP-1RA berkaitan dengan insiden CVE maupun mortalitas segala sebab yang lebih rendah jika dibandingkan dengan penggunaan obat metformin atau penurun glukosa lini kedua atau ketiga lain. Namun, tidak ada perbedaan bermakna pada CVE ataupun mortalitas segala sebab antara pengguna obat GLP-1RA dengan SGLT2i.
Ulasan Alomedika
Sejumlah studi telah menunjukkan adanya hubungan dua arah antara non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dengan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). Adanya NAFLD dilaporkan akan meningkatkan insiden DMT2 dan mempercepat timbulnya komplikasi yang berkaitan dengan diabetes, baik dalam perburukan profil metabolik maupun peningkatan risiko kejadian kardiovaskuler yang merugikan.
Obat antidiabetes golongan GLP-1RA, seperti semaglutide, mulai banyak digunakan dalam terapi DMT2 seiring banyaknya bukti yang memperlihatkan keunggulan efikasi golongan ini dalam menurunkan kadar gula darah dan perbaikan profil metabolik dibandingkan antidiabetes golongan lain. Akan tetapi, belum ada studi yang menyajikan perbandingan head-to-head antara GLP-1RA dengan obat penurun glukosa lain pada pasien DMT2 dengan NAFLD.
Ulasan Metode Penelitian
Studi ini menerapkan metode population-based propensity matched retrospective cohort dengan menggunakan jaringan penelitian TriNetX. TriNetX merupakan jaringan penelitian multisenter yang menyajikan data real-time rekam medis elektronik organisasi kesehatan yang terlibat.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi:
Semua pasien dewasa (usia ≥20 tahun) dengan diagnosis NAFLD dan DMT2 yang baru saja memulai terapi obat penurun glukosa non-insulin pada periode 1 januari 2013 hingga 31 desember 2021 dengan jangka waktu follow-up minimal 1 tahun sejak mulai pengobatan diikutkan dalam analisis. Obat antidiabetes non-insulin yang dimaksud di sini antara lain metformin, GLP-1RA, SGLT2i, sulfonilurea, meglitinide, thiazolidinedione, acarbose, atau inhibitor dipeptidil peptidase-4.
Pasien dengan penyakit liver kronis selain NAFLD, termasuk yang berkaitan dengan alkohol, hepatitis, drug induced, autoimun, penyakit genetik, sirosis, atau dengan diagnosis klinis dekompensasi liver dieksklusikan dari analisis. Kriteria eksklusi lain mencakup riwayat alkoholisme, infeksi HIV, transplantasi organ solid, serta laju filtrasi glomerulus <30 ml/menit atau sedang menjalani dialisis.
Kriteria eksklusi juga mencakup riwayat gagal jantung, penyakit jantung iskemia, angina tak stabil, infark miokard, aneurisma aorta ataupun diseksi aorta, stroke, infark serebral, dan transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan riwayat intervensi karotis, stenting arteri koroner, PCI atau coronary artery bypass, penggunaan insulin sebelum indeks perekrutan data juga disingkirkan dari penyaringan.
Luaran yang Dinilai:
Luaran primer penelitian ini menilai insiden kejadian kardiovaskuler baru (CVE) yang mencakup tiga kategori:
- Gagal jantung
- Kejadian kardiovaskuler mayor (MACE) yang meliputi angina tidak stabil, infark miokard, atau revaskularisasi (seperti PCI atau coronary artery bypass)
- Kejadian serebrovaskular komposit yang meliputi stroke (stroke hemoragik atau iskemik), TIA, infark serebral, intervensi atau operasi karotid.
Luaran sekunder adalah untuk mengevaluasi insiden kematian segala sebab.
Pencocokan Subjek Studi:
Dalam penelitian ini, proses pencocokan dilakukan menggunakan metode propensity score matching (PSM) untuk membandingkan pengguna baru GLP-1RA dengan pengguna baru SGLT2i, metformin, atau obat penurun glukosa lini kedua atau ketiga lainnya. PSM dilakukan dengan rasio 1:1 untuk mengurangi efek perancu.
Kovariat yang disesuaikan dalam model PSM mencakup berbagai faktor yang diidentifikasi sebelumnya sebagai potensi perancu, seperti usia, jenis kelamin, ras/etnis, ketergantungan nikotin, indeks massa tubuh (IMT), hipertensi, hiperlipidemia, dan beberapa kondisi kesehatan lain serta hasil laboratorium dan penggunaan obat kardiovaskuler.
Ulasan Hasil Penelitian
Penelitian ini mengidentifikasi 4.591.936 individu dengan NAFLD dan DMT2. Dari jumlah tersebut, 53.249 individu baru menggunakan GLP-1RA dan 39.795 menggunakan SGLT2i. Pasien yang menerima GLP-1RA rerata lebih muda dibandingkan kelompok lain dan memiliki IMT lebih tinggi.
Dalam analisis hasil, tidak ditemukan bukti bahwa GLP-1RA berhubungan dengan peningkatan kejadian gagal jantung baru, MACE, atau penyakit serebrovaskular komposit dibandingkan dengan SGLT2i. Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat kematian antara kedua kelompok.
Meski begitu, ketika dibandingkan dengan metformin dan obat penurun glukosa lainnya, GLP-1RA menghasilkan tingkat kejadian gagal jantung baru dan penyakit serebrovaskular komposit yang lebih rendah, serta tingkat kematian yang lebih rendah.
Kelebihan Studi
Salah satu kelebihan utama studi ini adalah jumlah sampel yang besar. Ini tentunya akan meningkatkan kekuatan bukti yang dihasilkan.
Selain itu, baseline dan faktor perancu potensial telah disesuaikan. Ukuran sampel yang besar yang dicocokkan dengan metode PSM juga menghasilkan hasil analisis interval kepercayaan yang sempit, yang berarti nilai akurasi yang lebih baik.
Limitasi Penelitian
Salah satu kelemahan utama studi ini adalah desain retrospektif dan penggunaan sampel berbasis rekam medis. Data ini rentan terhadap inakurasi, seperti sulitnya memastikan riwayat pasien yang relevan, misalnya penggunaan atau paparan insulin serta riwayat komorbiditas atau paparan alkohol.
Selain itu, data yang dianalisis dengan PSM tidak mengikutsertakan data modalitas pencitraan karena tidak tersedia. Ini mungkin menyebabkan terlewatnya data klinis yang relevan terhadap riwayat medis pasien.
Studi ini juga tidak memisahkan pasien NAFLD, apakah masih dalam tahap NAFLD awal atau sudah progresif. Kriteria inklusi pasien juga tidak memasukkan diagnosis histologi untuk NAFLD ataupun NASH.
Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia
Angka kejadian DMT2 di Indonesia masih tinggi, sehingga tentunya studi ini sangat relevan diaplikasikan di Indonesia. Studi ini menunjukkan bahwa obat golongan GLP-1RA, seperti semaglutide, memiliki keunggulan tambahan pada pasien DMT2 dengan NAFLD, yakni mampu menurunkan risiko kejadian kardiovaskuler dan mortalitas bila dibandingkan dengan obat penurun glukosa non-insulin lainnya.