Beta-Blockers After Myocardial Infarction and Preserved Ejection Fraction
Yndigegn T, Lindahl B, Mars K, Alfredsson J, Benatar J, Brandin L, Erlinge D, Hallen O, Held C, Hjalmarsson P, Johansson P, Karlström P, Kellerth T, Marandi T, Ravn-Fischer A, Sundström J, Östlund O, Hofmann R, Jernberg T; REDUCE-AMI Investigators. Beta-Blockers after Myocardial Infarction and Preserved Ejection Fraction. New England Journal of Medicine. 2024 Apr 18;390(15):1372-1381. PMID: 38587241.
Abstrak
Latar Belakang: mayoritas uji klinis yang melaporkan keuntungan terapi beta-blockers setelah infark miokard mempelajari pasien dengan infark miokard besar dan dilakukan sebelum era diagnosis infark miokard berbasis biomarker modern. Uji-uji klinis tersebut juga dilakukan sebelum era intervensi koroner perkutan, antitrombotik, statin intensitas tinggi, dan antagonis sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS).
Metode: penelitian ini merupakan uji klinis grup paralel yang open label, yang dilakukan dalam 45 fasilitas kesehatan di Swedia, Estonia, dan Selandia Baru. Peneliti mengacak pasien dengan infark miokard akut yang telah menjalani angiografi koroner dan memiliki ejeksi fraksi minimal 50% untuk mendapatkan terapi beta-blocker jangka panjang (bisoprolol atau metoprolol) atau tanpa beta-blocker. Luaran primer penelitian ini adalah kematian dari semua sebab atau adanya episode infark miokard baru.
Hasil: dari September 2017 hingga Mei 2023, didapatkan 5.020 subjek (95,4% berasal dari Swedia). Median follow-up adalah 3,5 tahun (IQR: 2,2–4,7 tahun). Luaran primer terjadi pada 199 dari 2.508 subjek (7,9%) pada kelompok beta-blocker jangka panjang dan 208 dari 2.512 subjek (8,3%) pada kelompok tanpa beta-blocker (HR: 0,96; 95%IC: 0,79–1,16; p=0,64).
Pemberian beta-blocker tidak menyebabkan penurunan insiden kumulatif dari luaran sekunder (kematian dari semua penyebab, 3,9% pada kelompok beta-blocker dan 4,1% pada kelompok tanpa beta-blocker; kematian oleh penyebab kardiovaskular 1,5% vs 1,3%; hospitalisasi karena fibrilasi atrial 1,1% dan 1,4%; dan hospitalisasi karena gagal jantung 0,8% vs 0,9%).
Dalam hal keamanan, hospitalisasi karena bradikardia, blok atrioventrikular derajat 2 atau 3, hipotensi, sinkop, atau implantasi pacu jantung permanen terjadi pada 3,4% pasien di kelompok beta-blocker dan 3,2% pasien di kelompok tanpa beta-blocker. Hospitalisasi karena asma atau penyakit paru obstruktif kronis terjadi pada 0,6% vs. 0,6%, sedangkan hospitalisasi karena stroke terjadi pada 1,4% vs. 1,8% subjek.
Kesimpulan: pada pasien dengan infark miokard akut yang telah menjalani angiografi koroner awal dan memiliki ejeksi fraksi ≥50%, pemberian beta-blocker jangka panjang tidak menurunkan risiko kematian oleh sebab apa pun dan tidak mengurangi infark miokard baru bila dibandingkan tanpa beta-blocker.
Ulasan Alomedika
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di dunia. Salah satu tata laksana yang sering digunakan pada penyakit jantung koroner adalah pemberian beta-blocker yang telah banyak dipublikasikan. Namun, mayoritas publikasi tersebut dilakukan pada pasien dengan gagal jantung yang mempunyai ejeksi fraksi rendah.
Berbagai uji klinis juga melaporkan bahwa pemberian beta-blocker dapat menurunkan mortalitas sekitar 20% setelah infark miokard. Namun, mayoritas uji klinis tersebut dilakukan pada era di mana pasien yang mengalami infark miokard akut umumnya telah berada pada stadium terminal dan mengalami penurunan fungsi sistolik ventrikel kiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu uji klinis terbaru untuk mengetahui bagaimana efikasi beta-blocker pada pasien yang didiagnosis menderita infark miokard dengan modalitas diagnosis terkini.
Ulasan Metode Penelitian
Uji klinis ini merupakan uji klinis berbasis register, open-label, paralel, yang melibatkan 3 negara. Kriteria seleksi subjek adalah pasien yang memberikan persetujuan tertulis dalam 1–7 hari pasca serangan infark miokard akut. Pasien harus sudah menjalani angiografi koroner dan echocardiography dengan hasil fraksi ejeksi ≥50%. Randomisasi dilakukan 1:1 dengan bantuan blok dan laman digital. Analisis penelitian menggunakan analisis intention to treat.
Penelitian ini berlangsung selama kurang lebih 6 tahun dengan subjek sebanyak 5.020 pasien, yang mayoritas berasal dari Swedia. Median usia subjek penelitian adalah 65 tahun, dengan 22,5% pasien perempuan dan 35,2% mengalami infark miokard ST elevasi (STEMI). Faktor risiko yang paling sering didapatkan adalah hipertensi (46.2%), diabetes mellitus (7.1%), dan infark miokard sebelumnya (7.1%).
Gambaran angiografi koroner yang paling sering ditemukan adalah one-vessel disease (55,4%), two-vessel disease (27,0%), dan left-main atau three-vessel disease (16,6%).
Subjek mendapatkan terapi standar berupa aspirin, blocker reseptor P2Y12, blocker RAAS, dan statin. Subjek dalam kelompok beta-blocker juga mendapatkan metoprolol minimal 100 mg/hari atau bisoprolol minimal 5 mg/hari. Sekitar 87,4% pasien menjalani follow-up dalam 6-10 minggu dan 84,8% menjalani follow-up dalam 11-13 bulan.
Ulasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jika membandingkan grup yang mendapatkan terapi beta-blocker dan grup yang tidak mendapatkan terapi beta-blocker, tidak ada perbedaan bermakna dalam hal kematian akibat semua sebab maupun terjadinya infark miokard baru.
Pemberian beta-blocker tidak menurunkan risiko terjadinya kematian karena penyebab spesifik seperti infark miokard, penyakit kardiovaskular, maupun hospitalisasi karena fibrilasi atrial maupun gagal jantung. Lebih lanjut, tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal profil keamanan kedua kelompok perlakuan.
Kelebihan Penelitian
Penelitian ini merupakan uji klinis acak multisenter yang prospektif. Pengacakan subjek dalam penelitian ini bertujuan untuk mengurangi risiko bias. Selain itu, kondisi baseline subjek juga telah diusahakan homogen oleh peneliti. Peneliti hanya mengikutsertakan subjek dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri minimal 50%.
Beta-blocker yang dipilih dalam uji klinis ini (metoprolol dan bisoprolol) juga merupakan beta-blocker yang memiliki dokumentasi terbaik untuk terapi jangka panjang. Selain itu, peneliti mewajibkan strategi invasif dini agar mencerminkan strategi terapi kontemporer. Dosis beta-blocker yang digunakan di sini juga lebih rendah daripada studi sebelumnya, tetapi telah mencerminkan terapi beta-blocker dalam praktik klinis saat ini.
Luaran yang dinilai juga merupakan luaran yang bermakna secara klinis, yaitu kematian dan episode infark miokard baru. Selain itu, studi ini juga telah membandingkan aspek keamanan pada kedua kelompok.
Kekurangan Penelitian
Penelitian ini bersifat open-label tanpa blinding, sehingga ada kemungkinan bias. Selain itu, luaran keamanan yang dinilai hanya berhubungan dengan hospitalisasi. Beberapa subjek dalam grup tanpa beta-blocker (±14%) juga dilaporkan mulai menggunakan beta-blocker setelah follow-up 1 tahun. Peneliti tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa hasil null yang didapatkan disebabkan oleh crossover tersebut.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Hasil penelitian ini dapat dipertimbangkan sebagai dasar tidak diberikannya obat-obat beta-blocker jangka panjang pada pasien infark miokard yang telah menjalani angiografi koroner awal dan memiliki ejeksi fraksi ≥50%. Pemberian terapi beta-blocker jangka panjang pada populasi pasien tersebut terbukti tidak menurunkan risiko kematian oleh segala sebab dan tidak mengurangi kejadian infark miokard baru apabila dibandingkan dengan terapi tanpa beta-blocker.
Namun, klinisi tetap perlu berhati-hati dalam memutuskan hal ini pada kasus di mana fraksi ejeksi ventrikel kiri berada di mid-range (40–49%). Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian beta-blocker mungkin bermanfaat pada pasien dengan fraksi ejeksi mid-range tersebut. Studi klinis lebih lanjut akan diperlukan untuk konfirmasi.
Perlu dipertimbangkan juga bahwa subjek uji klinis ini mayoritas mengalami one-vessel disease. Studi lebih spesifik untuk mempelajari efek beta-blocker pada populasi dengan keterlibatan >1 pembuluh darah diperlukan. Jika memang berbagai studi lebih lanjut melaporkan hasil yang sama dengan studi ini, maka hasil tersebut menggembirakan mengingat berkurangnya jumlah obat yang perlu digunakan oleh pasien. Hal tersebut mengurangi risiko efek samping obat dan meningkatkan kepatuhan pasien berobat.