Kekurangan nutrisi merupakan salah satu faktor risiko utama tuberkulosis. Pada tahun 2022, WHO memperkirakan terdapat sekitar 2,2 juta episode tuberkulosis yang berkaitan dengan kekurangan nutrisi. Selain itu, kekurangan nutrisi juga telah dikaitkan dengan peningkatan derajat keparahan dan kematian pada kasus tuberkulosis.[1-3]
Tuberkulosis merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia, diperkirakan 2 miliar orang atau setara 25% populasi global telah terinfeksi bakteri tuberkulosis. Menurut WHO dalam Global Tuberculosis Report, saat ini Indonesia berada di peringkat kedua dunia sebagai penyumbang penderita tuberkulosis terbanyak, dengan estimasi kejadian sebesar 969.000 kasus atau 354 per 100.000 penduduk dan mortalitas 144.000 atau 52 per 100.000 penduduk.[3,4]
Indonesia berkomitmen untuk menurunkan insiden tuberkulosis menjadi 65 per 100.000 penduduk pada tahun 2030. Upaya penanggulangan saat ini diarahkan untuk mempercepat eliminasi tuberkulosis pada tahun 2030, serta mengakhiri epidemi tuberkulosis di tahun 2050. Sasaran populasi adalah semua orang terduga tuberkulosis, sedangkan intervensi difokuskan pada populasi berisiko tinggi, termasuk individu dengan malnutrisi.[4]
Hubungan Antara Tuberkulosis dan Gizi Kurang
Hubungan dua arah antara tuberkulosis dan status gizi sudah banyak diketahui. Kekurangan gizi merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit tuberkulosis, sedangkan tuberkulosis akan menyebabkan penurunan berat badan. Meskipun dukungan nutrisi diakui sebagai intervensi penting dalam program tuberkulosis, dukungan nutrisi jarang mendapat prioritas tindakan yang sepadan.[1]
Selain itu, kekurangan pangan dalam rumah tangga merupakan kontributor signifikan terhadap ketidakpatuhan pengobatan tuberkulosis di negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Bagi orang yang mengalami kekurangan pangan, sulit untuk menyelesaikan pengobatan tuberkulosis dalam jangka waktu lama, misalnya minimal 6 bulan.
Adanya kekurangan pangan yang menyebabkan kekurangan gizi juga dikaitkan dengan semakin parahnya penyakit, hasil pengobatan yang buruk, dan meningkatnya angka kematian. Oleh karena itu, memberikan dukungan nutrisi kepada pasien dan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan terhadap rencana pengobatan dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap potensi beban keuangan yang sangat besar yang disebabkan oleh tuberkulosis.[2]
Kekurangan Gizi dan Indeks Massa Tubuh yang Rendah Pada Orang Dewasa, Meningkatkan Risiko Tuberkulosis Dua Kali Lipat
Kurang gizi, adalah kekurangan asupan nutrisi penting yang diakibatkan oleh kurangnya asupan makanan atau pola makan tidak seimbang yang tidak menyediakan kalori, makronutrien, atau mikronutrien yang diperlukan dalam jumlah yang cukup. Kekurangan gizi dapat diukur dengan menggunakan indeks massa tubuh (IMT).[3]
Risiko perkembangan penyakit tuberkulosis paling tinggi segera setelah infeksi dan bergantung pada faktor risiko pejamu. Meskipun infeksi HIV merupakan faktor risiko individu yang paling kuat, kekurangan gizi merupakan penyebab proporsi kasus global yang lebih tinggi. Menurut tinjauan sistematik yang mencakup 2,6 juta pasien, terdapat hubungan log-linear yang konsisten antara IMT pramorbid dan kejadian tuberkulosis. Untuk setiap kenaikan IMT 1 kg/m2, kejadian tuberkulosis berkurang sebesar 13,8%.[1,2,5]
Dalam tinjauan Cochrane (2024) yang mengevaluasi kaitan kekurangan gizi dengan tuberkulosis, diikutkan data dari 51 kohort dengan total 27 juta partisipan. Dari analisis, didapatkan adanya peningkatan risiko tuberkulosis 2 kali lipat pada pasien yang kurang gizi.[3]
Strategi Perbaikan Gizi pada Populasi Berisiko dapat Menurunkan Risiko Tuberkulosis
Peran nutrisi dalam pandemi tuberkulosis menyoroti pentingnya mengatasi kekurangan gizi untuk memerangi penyebarannya. Malnutrisi yang berhubungan dengan tuberkulosis dapat memperburuk prognosis, meningkatkan keparahan penyakit, membuat pengobatan menjadi kurang efektif, dan meningkatkan risiko kambuh.
Asupan nutrisi yang cukup akan mendukung dan meningkatkan kepatuhan dan hasil pengobatan pada pasien tuberkulosis. Dukungan suplementasi nutrisi selama strategi pengobatan yang diamati secara langsung atau Directly Observed Treatment Strategy (DOTS) juga telah dikaitkan dengan respons pengobatan yang lebih baik.[6]
Sebuah studi model menemukan bahwa penurunan prevalensi kekurangan gizi bahkan sedikit saja akan menghasilkan pengurangan 4,8 juta kasus tuberkulosis dan 1,6 juta kematian terkait tuberkulosis selama 20 tahun di India. Model lain juga menunjukkan hasil serupa, yang mana mitigasi kekurangan gizi dapat menghasilkan penurunan prevalensi tuberkulosis hingga sebesar 23% di Asia Tenggara pada tahun 2035.[5]
Temuan pada Tinjauan Ilmiah dan Potensi Strategi Kesehatan Masyarakat yang Dapat Diterapkan Untuk Memperbaiki Angka Kejadian Tuberkulosis
Seperti telah disebutkan di atas, tinjauan Cochrane yang mencakup 51 penelitian dengan lebih dari 27 juta peserta dari 6 wilayah WHO menunjukkan bahwa pasien, baik dewasa maupun anak, yang kekurangan nutrisi berisiko 2 kali lebih tinggi terkena tuberkulosis. Sebanyak 16 penelitian yang dievaluasi merupakan studi berbasis populasi besar, dan 25 penelitian berfokus pada orang yang hidup dengan HIV. Sebagian besar penelitian dilakukan pada orang dewasa, 4 pada anak, dan 3 pada anak dan orang dewasa.
Dari tinjauan tersebut dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang ditujukan untuk menurunkan angka kekurangan gizi merupakan bagian penting dari upaya untuk mengakhiri epidemi tuberkulosis. Apalagi, dunia bebas tuberkulosis merupakan target WHO dan PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan.[3]
Strategi Penanggulangan
Strategi mengakhiri tuberkulosis pada tahun 2030 yang telah dirumuskan mencakup penilaian gizi, konseling, pengelolaan malnutrisi, suplementasi mikronutrien, dan investigasi kontak. Program pemberian makanan tambahan berbasis komunitas merupakan salah satu pendekatan yang telah dijalankan di Indonesia melalui Posyandu yang ada di setiap Puskesmas.
Sebuah tinjauan pada tahun 2018 menunjukkan bahwa intervensi nutrisi yang dirancang untuk populasi yang kekurangan pangan dan rentan, termasuk mereka yang mengidap HIV dan tuberkulosis, dapat memberikan manfaat yang cukup signifikan. Di Timor Leste, survei pada tahun 2017 mengungkapkan bahwa 83% pasien tuberkulosis mengalami pengeluaran besar terkait diagnosis dan perawatan, sebagian besar untuk suplementasi nutrisi. Hal ini mendorong negara tersebut mengintegrasikan program tuberkulosis dengan program dukungan nutrisi.
Rencana nasional untuk pemberantasan tuberkulosis di India juga menekankan pentingnya dukungan nutrisi sebagai bagian dari pengendalian tuberkulosis. Pada strategi ini, skrining gejala dan investigasi tuberkulosis dilakukan pada setiap kunjungan kesehatan anak serta pemeriksaan pra dan pasca melahirkan. Selain itu, semua pasien tuberkulosis dan HIV di India dijamin mendapatkan dukungan nutrisi melalui sistem distribusi publik.[1,3,7]
Kesimpulan
Kekurangan gizi dan tuberkulosis digambarkan sebagai "hubungan erat yang sering diabaikan". Namun, hubungan ini tidak bisa lagi diabaikan karena pengendalian tuberkulosis di negara-negara dengan sumber daya rendah dan kekurangan pangan akan bergantung pada perbaikan gizi, termasuk di Indonesia.
Saat program dukungan nutrisi diterapkan, penting untuk melakukan penelitian dengan pendekatan baru dan inovatif guna meningkatkan efikasi dan efisiensi intervensi. Hal ini, bersama dengan pengalaman program dan analisis operasional yang mendalam, akan sangat berguna dalam mengidentifikasi lebih banyak peluang untuk memperkuat upaya pemberantasan tuberkulosis melalui penanganan masalah gizi.