Kemoprofilaksis jangka panjang untuk malaria masih sering mendapatkan pertanyaan terkait berapa lama durasi profilaksis yang diperbolehkan untuk setiap jenis regimen dan bagaimana cara memilih regimen yang tepat. Malaria merupakan infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium, yang dapat ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Infeksi ini dapat menyebabkan kondisi akut yang mengancam jiwa.[1,2]
Hingga saat ini, malaria masih endemik di banyak wilayah, termasuk di Afrika, Amerika Selatan, dan beberapa bagian Asia. Sekitar 40% populasi dunia tinggal atau berkunjung ke daerah endemik malaria setiap tahunnya. Semua individu yang bepergian ke wilayah endemik harus diberi penjelasan tentang risiko penularan malaria, langkah-langkah pencegahan gigitan nyamuk, serta pentingnya kemoprofilaksis.[1,2]
Seleksi Kemoprofilaksis Malaria
Kemoprofilaksis malaria bekerja dengan target spesifik terhadap setiap tahap siklus hidup Plasmodium, termasuk schizont di liver dan darah, serta hipnozoit. Pemilihan kemoprofilaksis bersifat individual dan harus disesuaikan dengan tujuan perjalanan dan kondisi medis. Dalam memilih kemoprofilaksis, tenaga medis harus mempertimbangkan komorbiditas pasien, alergi terhadap obat, detail rencana perjalanan, aktivitas yang akan dilakukan, durasi tinggal di wilayah endemik, dan biaya obat.[2-4]
Penelitian tentang spesies Plasmodium yang endemik di daerah tujuan, pola resistensi, musiman, serta intensitas penularan juga perlu dilakukan. Info terkait spesies, daerah endemik, dan pola resistensi dapat diakses secara langsung melalui United States Centers for Disease Control and Prevention (CDC) publication "Health Information for International Travel".[2-4]
Tabel 1. Rekomendasi Kemoprofilaksis Berdasarkan Insiden dan Pola Resistensi
Insiden Malaria | Rekomendasi Kemoprofilaksis |
Kasus malaria sporadik | Tidak diperlukan kemoprofilaksis |
P. falciparum yang resisten chloroquine | Atovaquone-proguanil, meflokuin, doksisiklin, dan tafenoquine |
P. falciparum yang sensitif chloroquine | Klorokuin, atovaquone-proguanil, meflokuin, doksisiklin, dan tafenoquine |
P. falciparum yang resisten chloroquine dan mefloquine | Atovaquone-proguanil, doksisiklin, atau tafenoquine |
P. vivax | Primakuin atau tafenoquine bila tidak ada defisiensi enzim G6PD. Klorokuin, atovaquone-proguanil, meflokuin, dan doksisiklin dapat dipertimbangkan |
Sumber: Tan KR. 2024.
Pertimbangan untuk Setiap Regimen Kemoprofilaksis Malaria
Setiap regimen kemoprofilaksis malaria memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri yang perlu dipertimbangkan.
Atovaquone-Proguanil
Atovaquone-proguanil adalah kombinasi obat yang bekerja sinergis, dengan target schizont liver dan darah, serta efektif terhadap P. falciparum yang sensitif dan resisten terhadap klorokuin. Regimen ini memiliki efikasi 96–100% terhadap P. falciparum. Akan tetapi, atovaquone-proguanil tidak mencegah pembentukan hipnozoit oleh P. vivax atau P. ovale, sehingga pada daerah dengan tingkat infeksi tinggi oleh spesies ini, mungkin diperlukan terapi antirelaps dengan primakuin untuk mereka yang tinggal lama.
Obat ini diminum 1 tablet setiap hari pada waktu yang sama, bersamaan dengan makanan, dimulai 1–2 hari sebelum paparan, selama paparan, dan 1 minggu setelah pulang dari daerah endemis. Obat ini umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping bisa mencakup gangguan pencernaan, insomnia, sakit kepala, ruam, dan sariawan. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan klirens kreatinin <30 mL per menit, ibu hamil, bayi dengan berat <5 kg, atau wanita menyusui bayi dengan berat <5 kg karena data keamanan yang tidak memadai.[2-4]
Atovaquone-proguanil relatif mahal bila dibandingkan dengan regimen lainnya, namun memiliki waktu paruh lebih lama, sehingga lebih fleksibel bila pelancong melewatkan satu dosis.[2-4]
Klorokuin
Klorokuin dapat digunakan sebagai profilaksis bagi individu yang bepergian ke daerah malaria tanpa resistensi klorokuin (daerah Karibia, Amerika Tengah di sebelah barat Terusan Panama, dan beberapa bagian Timur Tengah), dengan target schizont pada darah. Obat ini efektif melawan semua spesies Plasmodium pada manusia, kecuali untuk strain P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan beberapa strain P. vivax yang resisten di Oceania dan Asia.[2-5]
Klorokuin tidak mencegah perkembangan hipnozoit, bentuk dorman dari P. vivax atau P. ovale. Oleh karena itu, bagi mereka yang terpapar dalam waktu lama di daerah dengan tingkat infeksi tinggi oleh spesies ini, terapi antirelaps dengan primakuin mungkin perlu untuk mencegah kambuh. Obat ini diminum sekali seminggu, dimulai 1 minggu sebelum paparan, selama berada di daerah endemis malaria, dan dilanjutkan sekali seminggu selama 4 minggu setelah paparan.[2-5]
Meskipun memiliki rasa pahit, klorokuin umumnya ditoleransi dengan baik, dengan efek samping ringan seperti gangguan pencernaan, pusing, penglihatan kabur, dan sakit kepala. Masalah pencernaan dapat dikurangi dengan mengonsumsi obat ini bersama makanan. Obat ini bisa digunakan selama kehamilan dan menyusui. Klorokuin bukan pilihan yang baik untuk pelancong di menit-menit terakhir karena obat perlu dimulai 1-2 minggu sebelum perjalanan.[2-5]
Doksisiklin
Doksisiklin efektif melawan P. falciparum yang sensitif dan resisten terhadap klorokuin, dengan target utama schizont pada darah. Doksisiklin tidak mencegah perkembangan hipnozoit dari P. vivax atau P. ovale, sehingga bagi mereka yang terpapar lama di daerah dengan tingkat infeksi tinggi oleh spesies ini, terapi antirelaps dengan primakuin mungkin diperlukan untuk mencegah kekambuhan.[2-4]
Obat ini harus diminum setiap hari mulai 1–2 hari sebelum paparan, selama paparan, dan dilanjutkan selama 4 minggu setelah paparan. Doksisiklin hampir sepenuhnya diserap di duodenum dengan bioavailabilitas mencapai 95% dan pemberian bersamaan makanan dapat mengurangi penyerapan hingga 20%. Kepatuhan terhadap regimen harian ini sangat penting, sebab waktu paruh obat pendek. Ketidakpatuhan (meskipun hanya beberapa hari maupun satu dosis) dapat menyebabkan kegagalan.[2-4]
Obat ini biasanya ditoleransi dengan baik, meskipun dapat menyebabkan gangguan pencernaan, infeksi jamur vagina, dan fotosensitivitas. Obat ini dapat menyebabkan esofagitis, oleh karena itu sebaiknya diminum dengan cukup air dalam posisi tegak dan tidak tepat sebelum tidur. Doksisiklin dikontraindikasikan untuk wanita hamil dan menyusui, serta anak-anak di bawah usia 8 tahun.[2-4]
Meflokuin
Meflokuin efektif untuk mencegah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum yang sensitif dan resisten terhadap klorokuin, dengan target schizont darah. Meflokuin tidak mencegah perkembangan hipnozoit dari P. vivax atau P. ovale, sehingga terapi antirelaps dengan primakuin mungkin diperlukan untuk mencegah kambuh bagi mereka yang terpapar lama di daerah dengan infeksi tinggi.[2-5]
Meflokuin diminum setiap minggu, dimulai setidaknya 2 minggu sebelum paparan, selama paparan, dan 4 minggu setelahnya. Meskipun sebagian besar efek sampingnya ringan dan tidak memerlukan penghentian obat, sekitar 5% pelancong mengalami efek samping neuropsikiatrik yang memerlukan penghentian meflokuin, seperti kecemasan, depresi, mimpi buruk, dan pusing.[2-5]
Efek samping yang lebih serius seperti kejang dan psikosis jarang terjadi tetapi mungkin muncul pada sekitar 1 dari 10.000 pelancong. Kontraindikasi meliputi hipersensitivitas terhadap obat, riwayat kejang, atau gangguan psikiatrik berat. Oleh karena efek sampingnya, FDA mengeluarkan peringatan black box pada tahun 2013 tentang risiko efek samping neuropsikiatri meflokuin.[2-5]
Obat ini merupakan agen kemoprofilaksis yang ideal untuk pelancong jangka panjang, anak-anak, dan dapat digunakan pada semua trimester kehamilan. Namun, karena risiko toksisitasnya, obat ini hanya dicadangkan jika agen lain dikontraindikasikan dan untuk daerah-daerah dengan risiko tinggi P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin. Obat ini tidak direkomendasikan untuk orang dengan kelainan konduksi jantung dan tidak untuk pelancong di menit-menit terakhir karena obat perlu dimulai 2 minggu sebelum perjalanan.[2-5]
Primakuin
Primakuin efektif melawan berbagai tahap parasit malaria, termasuk hipnozoit, schizont jaringan, gametosit, dan tahap darah aseksual dari P. vivax. Obat ini dapat mencegah kekambuhan yang disebabkan oleh bentuk hipnozoit P. vivax dan P. ovale, serta memiliki aktivitas melawan gametosit P. falciparum.[2-4]
Profilaksis utama primakuin cocok untuk pelancong yang bepergian ke wilayah di mana spesies endemik utamanya adalah P. vivax, seperti Meksiko dan Amerika Tengah. Primakuin diminum setiap hari mulai 1–2 hari sebelum paparan, selama paparan, dan selama 7 hari setelah paparan. Primakuin dapat digunakan sebagai terapi antirelaps presumptif (PART) di mana obat ini diberikan setiap hari selama 14 hari setelah kembali dari daerah endemis P. vivax atau P. ovale.[2-4]
Pemberian meflokuin harus tumpang tindih dengan obat yang menargetkan schizont darah dan oleh karena itu ketika klorokuin, doksisiklin, atau meflokuin digunakan untuk profilaksis primer, primakuin biasanya diminum selama 2 minggu terakhir profilaksis pascapajanan. Bila atovaquone-proguanil sebelumnya digunakan sebagai profilaksis primer, maka primakuin dapat diberikan bersamaan dengan 7 hari terakhir dari obat pencegahan primer dan dilanjutkan selama 7 hari tambahan.[2-4]
Profilaksis terminal dengan primakuin (atau tafenoquine) sangat penting terutama bagi pelancong jangka panjang yang baru saja kembali dari daerah endemis tinggi penularan P. vivax di Kepulauan Pasifik (seperti Papua Nugini, Vanuatu, dan Kepulauan Solomon) atau di antara mereka yang baru saja kembali dari negara-negara di kawasan Horn of Africa.[2-4]
Obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik pada individu dengan defisiensi G6PD, sehingga kadar G6PD harus diperiksa sebelum pemberian obat ini. Primakuin juga dapat menyebabkan gangguan pencernaan, namun dapat diatasi dengan dikonsumsi bersama makanan. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan dan wanita menyusui dengan bayi yang status G6PD-nya tidak diketahui.[2-4]
Tafenoquine
Tafenoquine adalah obat 8-aminoquinoline yang mirip dengan primakuin dan aktif terhadap semua tahap spesies Plasmodium, termasuk hipnozoit dari parasit P. vivax yang bertanggung jawab atas kambuhnya malaria. Obat ini memiliki waktu paruh yang panjang, sekitar 2 minggu, yang memungkinkan dosis lebih sedikit dibandingkan primakuin, dan menunjukkan hasil profilaksis yang serupa dengan meflokuin.[2-5]
Tafenoquine telah disetujui oleh FDA untuk pencegahan infeksi semua spesies parasit malaria pada individu berusia ≥18 tahun, serta untuk penyembuhan radikal infeksi P. vivax pada individu berusia ≥16 tahun yang diobati dengan klorokuin. Penggunaan profilaksis tafenoquine dibatasi hingga 6 bulan.[2-5]
Regimen profilaksis tafenoquine terdiri dari 200 mg per hari, dimulai 3 hari sebelum paparan, dilanjutkan setiap minggu selama paparan, dan satu kali setelah pulang dari daerah endemis. Dosis terakhir harus diminum 7 hari setelah dosis pemeliharaan terakhir saat di daerah endemis.[2-5]
Tafenoquine harus dikonsumsi dengan makanan untuk mencegah gangguan pada pencernaan. Obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik yang parah pada individu dengan defisiensi G6PD, sehingga tes G6PD kuantitatif harus dilakukan. Tafenoquine dikontraindikasikan pada kehamilan karena status G6PD janin tidak diketahui, serta pada wanita yang menyusui bayi dengan status G6PD yang tidak diketahui atau defisien. Efek samping yang umum termasuk pusing, mual, muntah, sakit kepala, dan penurunan hemoglobin.[2-5]
Karena obat ini memiliki waktu paruh yang cukup panjang hingga 17 hari, efek samping dapat muncul tertunda. Obat ini dapat menjadi pilihan untuk pelancong di menit-menit terakhir dapat dimulai 3 hari sebelum bepergian ke daerah endemis.[2-5]
Penggunaan Kemoprofilaksis Malaria Jangka Panjang
Regimen yang paling sering diresepkan di antaranya atovaquone-proguanil, doksisiklin, dan meflokuin. Pemberian obat antimalaria secara berkelanjutan bertujuan untuk mencegah infeksi malaria. Hingga saat ini tidak ada bukti toksisitas penggunaan obat profilaksis jangka panjang. Studi menunjukkan penggunaan atovaquone-proguanil hingga durasi 34 minggu dapat ditoleransi dengan baik, dengan diare sebagai efek samping utama.[2-4]
Klorokuin memiliki catatan keamanan yang baik untuk jangka panjang. Namun, untuk penggunaan jangka panjang yang >5 tahun, pemeriksaan mata awal dengan tindak lanjut dua kali setahun dianjurkan untuk menyaring potensi toksisitas klorokuin terhadap retina. Meflokuin menunjukkan keamanan yang baik dalam jangka panjang, dengan perhatian khusus terhadap efek samping neuropsikiatrik yang umumnya muncul di awal pemberian.[2-4]
Doksisiklin ditoleransi dengan baik dalam studi yang melibatkan personel militer di area Kamboja (1 tahun) dan area Somalia (4 bulan), serta sukarelawan Korps Perdamaian Amerika Serikat (19 bulan), dengan efek samping paling umum berupa gangguan gastrointestinal dan fotosensitivitas. FDA menyetujui penggunaan doksisiklin hingga 4 bulan, meskipun studi menunjukkan toleransi untuk durasi yang lebih lama.[2-4]
Pemakaian primakuin hingga 52 minggu dilaporkan aman dengan methemoglobinemia ringan yang tidak signifikan secara klinis sebagai efek samping yang paling umum. Tafenoquine telah disetujui untuk profilaksis malaria hingga 6 bulan, dengan data keamanan terbatas untuk penggunaan hingga 1 tahun. Studi menunjukkan bahwa semua regimen memiliki efikasi yang hampir sama efektif, tetapi atovaquone-proguanil dan doksisiklin memberikan efek samping lebih sedikit.[2-4]
Kesimpulan
Malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang bisa ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Kondisi ini dapat mengancam jiwa, sehingga kemoprofilaksis kerap disarankan pada orang yang akan bepergian ke daerah endemis, terutama yang akan tinggal di daerah tersebut dalam waktu cukup lama.
Dari sisi keamanan, hingga saat ini tidak terdapat bukti toksisitas penggunaan obat profilaksis jangka panjang, yang durasinya bervariasi sesuai jenis regimen yang dipilih. Untuk kemoprofilaksis malaria jangka panjang, pilihan obat yang direkomendasikan termasuk atovaquone-proguanil, klorokuin, doksisiklin, meflokuin, primakuin, dan tafenoquine. Atovaquone-proguanil dan doksisiklin memiliki efikasi tinggi dengan efek samping yang relatif lebih rendah, sedangkan meflokuin sering dikaitkan dengan efek samping neuropsikiatrik.
Klorokuin masih efektif di daerah tanpa resistensi tetapi tidak mengatasi hipnozoit. Primakuin dan tafenoquine efektif mencegah relaps, dengan tafenoquine menawarkan regimen dosis lebih sederhana tetapi memiliki risiko efek samping yang lebih besar pada individu dengan defisiensi G6PD.
Semua obat harus disesuaikan dengan kondisi medis pasien, durasi paparan, dan pola resistensi lokal. Penggunaan obat jangka panjang umumnya aman, tetapi pemantauan ketat terhadap efek samping dan resistensi tetap penting dilakukan.