Penanganan perdarahan subgaleal atau hematoma subgaleal pada neonatus meliputi resusitasi, penggantian darah yang hilang, dan monitoring ketat dalam unit perawatan intensif neonatus atau NICU. Tindakan bedah untuk evakuasi hematoma umumnya jarang dilakukan dan hanya dipertimbangkan bila terapi konservatif tidak berhasil dan kondisi klinis pasien terus memburuk.[1,2]
Istilah perdarahan subgaleal atau subgaleal haemorrhage (SGH) pertama dikemukakan pada tahun 1819 oleh Naegele sebagai “sefalhematoma palsu”. SGH lalu didefinisikan sebagai perdarahan akibat ruptur vena emisari di ruang potensial antara periosteum tengkorak dan aponeurosis galeal (epicranial aponeurosis). Ruang tersebut merupakan jaringan areolar yang longgar.[1-3,5]
Perdarahan subgaleal merupakan kegawatdaruratan yang harus dapat dibedakan dari sefalhematoma dan caput succedaneum. Pada sefalhematoma, darah berakumulasi di antara tulang tengkorak dan periosteumnya, sehingga terbatas sesuai margin tulang dan tidak bisa meluas melewati sutura. Hal ini berbeda dengan SGH yang bisa meluas melewati sutura, sehingga tampak sebagai suatu swelling masif dan difus pada kepala neonatus. Swelling ini teraba fluktuatif dan bisa tampak ada pitting edema.[1-3,5]
Caput succedaneum merupakan akumulasi cairan serosanguinous di lapisan subkutan scalp. Tampilan klinisnya mungkin menyerupai SGH di awal, tetapi caput succedaneum cenderung mengalami resolusi secara cepat. Hal ini berbeda dengan SGH yang dapat mengalami progresi. Swelling pada SGH dapat meluas dan menyebabkan daun telinga mengalami elevasi dan displacement serta menyebabkan kelopak mata puffy.[1-3,5]
Tabel 1. Perbedaan Berbagai Perdarahan Ekstrakranial pada Neonatus
Karakteristik | Caput succedaneum | Sefalhematoma | Perdarahan subgaleal |
Lokasi | Area kontak; dapat meluas hingga melewati sutura | Umumnya berada di tulang parietal; tidak melewati sutura | Pada aponeurosis epicranial; dapat meluas hingga orbital ataupun tengkuk leher |
Penemuan Klinis | Batas tampak samar; terdapat edema pitting yang dapat bergeser mengikuti gravitasi | Batas tegas; umumnya padat, lebih berfluktuasi setelah 48 jam | Padat hingga fluktuasi; batas tidak jelas; bisa ada krepitasi atau gelombang cairan |
Onset | Saat lahir, ukuran maksimal; membaik dalam 48-72 jam | Membesar setelah lahir selama 12-24 jam; resolusi setelah 2-3 minggu | Progresif setelah lahir; mengalami resolusi setelah 2-3 minggu |
Volume perdarahan | Minimal | Jarang memberat | Dapat masif, khususnya bila berkaitan dengan koagulopati |
Sumber: Davis DJ, 2001.
Monitoring Neonatus yang Berisiko Mengalami Perdarahan Subgaleal
Prevalensi perdarahan subgaleal adalah 0,5–1,5 per 1.000 kelahiran pada neonatus dan pada beberapa anak berusia lebih tua. Pada neonatus, SGH paling sering terjadi setelah persalinan dengan bantuan vakum, sehingga persalinan dengan vakum menjadi faktor risiko utama dan neonatus dari persalinan ini perlu diawasi ketat. Namun, SGH juga dapat terjadi setelah persalinan dengan forsep maupun persalinan normal atau sectio caesarea.[1-3]
Neonatus yang lahir dengan bantuan vakum selama >20 menit, ukuran cup vakum tidak tepat, traksi vakum ≥3 kali, dan usia gestasi <36 minggu terutama berisiko tinggi SGH dan perlu sangat diwaspadai.[5]
Kejadian SGH merupakan kegawatdaruratan medis yang memiliki potensi luaran buruk berupa hipotensi, anemia, koagulopati, dan hiperbilirubinemia. Kematian dapat terjadi (12–25%) akibat syok hipovolemik dengan 20–40% volume darah neonatus berpindah ke ruang subgaleal. Oleh sebab itu, SGH harus dikenali dengan segera secara klinis berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan dan tidak boleh ditunda terapinya demi menunggu pemeriksaan penunjang.[1-4]
Tata Laksana Kegawatdaruratan untuk Neonatus dengan Perdarahan Subgaleal
Kunci penanganan SGH dalam NICU adalah evaluasi ketat ABC (airway, breathing, and circulation). Pantau laju napas dan pulse oximetry secara kontinu, serta pertimbangkan respiratory support atau intubasi dan ventilasi sesuai kondisi. Akses intravena juga perlu dipasang dan disertai pemantauan kontinu tekanan darah, heart rate, serta output urine.[4-7]
Ekspansi volume dapat dilakukan dengan cairan normal saline 10–20 mL/kg jika ada takikardia dengan heart rate >160 kali/menit, capillary refill >3 detik, tekanan darah <40 mmHg pada neonatus aterm, dan asidosis (pH <7,3). Pemberian inotropik juga dapat diperlukan. Bila ada asidosis, lakukan koreksi dengan bikarbonat. Selain itu, perhatikan juga kadar elektrolit dan glukosa darah pasien serta lakukan koreksi sesuai kondisi.[5]
Lakukan tes profil koagulasi dan tes kadar hemoglobin, yang dapat diulang setiap 4–8 jam. Berikan transfusi RBC (red blood cell) jika hemoglobin <14 g/dL (140 g/L) atau jika ada hipovolemia parah terlepas dari kadar hemoglobin, yakni sebanyak 15 mL/kg dalam 10 menit atau lebih cepat jika perlu. Periksa status injeksi vitamin K sebelumnya dan berikan bila belum dilakukan.[5]
Bila hipovolemia dan instabilitas hemodinamik tetap terjadi, aktivasi massive transfusion protocol (MTP). Penilaian laboratorium perlu disesuaikan dengan penilaian klinis. Bila stabilitas klinis sudah tercapai berdasarkan penilaian klinisi, transfusi dapat dihentikan meskipun profil koagulasi belum sepenuhnya kembali normal.[5]
Penggunaan pressure bandage umumnya sudah tidak direkomendasikan untuk SGH. Pencitraan radiologis sebaiknya dilakukan setelah kondisi stabil dan bukan dilakukan di awal untuk diagnosis karena bisa menunda tata laksana. Pencitraan seperti CT scan atau MRI kepala dapat dipertimbangkan setelah stabil untuk identifikasi komorbiditas, seperti fraktur tengkorak, ruptur sinus sagittal, atau robekan dura.[2,5,7,8]
Tindakan Bedah untuk Neonatus dengan Perdarahan Subgaleal
Tata laksana SGH umumnya hanya bersifat konservatif. Pada sebagian besar kasus, lesi akan menghilang secara spontan dalam beberapa minggu tanpa konsekuensi serius maupun konsekuensi jangka panjang jika kegawatdaruratan telah diatasi. Oleh sebab itu, saat ini belum ada konsensus mengenai indikasi bedah untuk neonatus yang mengalami perdarahan subgaleal. Bedah masih dilakukan berdasarkan penilaian kasus secara individual.[4-7]
Tata laksana konservatif lebih diutamakan karena infeksi melalui vena emisari ke sinus dural mungkin terjadi akibat intervensi yang lebih invasif. Namun, pada kasus tertentu, misalnya ukuran hematoma yang terus membesar dan ada perburukan klinis meskipun sudah terapi konservatif, tindakan bedah bisa dipertimbangkan.[1,4]
Pada suatu laporan kasus, seorang pasien mengalami hipotensi, anemia, koagulopati, dan hiperbilirubinemia akibat SGH. Setelah beberapa minggu, terapi konservatif gagal mengatasi hiperbilirubinemia, sehingga tindakan bedah untuk evakuasi hematoma dilakukan dan hiperbilirubinemia bisa membaik.[4]
Kesimpulan
Perdarahan subgaleal (SGH) pada neonatus merupakan suatu kegawatdaruratan yang berisiko menyebabkan hipovolemia parah, anemia, koagulopati, dan kematian akibat perpindahan 20–40% volume darah neonatus ke ruang subgaleal. Perdarahan ini ditandai dengan adanya swelling difus di kepala neonatus yang tidak terbatasi sutura dan dapat teraba fluktuatif dengan pitting edema.
Neonatus yang terutama berisiko tinggi mengalami perdarahan subgaleal adalah yang menjalani kelahiran yang dibantu vakum. Neonatus yang berisiko SGH memerlukan monitoring ketat dan intervensi segera bila SGH terjadi. Terapi tidak boleh ditunda demi menunggu hasil pemeriksaan pencitraan.
Terapi konservatif mencakup resusitasi dan transfusi darah, sesuai kondisi klinis, tanda vital, dan hasil pemeriksaan darah. Koreksi elektrolit, asidosis, dan glukosa darah juga dilakukan bila perlu. Terapi konservatif menjadi pilihan utama karena mayoritas lesi SGH dapat menghilang secara spontan dalam beberapa minggu. Namun, pada kasus tertentu, pasien tidak merespons terapi konservatif dan terus mengalami perburukan klinis, sehingga tindakan bedah untuk evakuasi hematoma dapat dipertimbangkan.