Diet sangat berperan dalam tata laksana Inflammatory Bowel Disease (IBD). Diet memiliki pengaruh dalam pencegahan eksaserbasi dan manajemen jangka panjang penyakit ini, dengan potensi untuk mengurangi peradangan dan memodulasi sistem imun.
Inflammatory Bowel Disease (IBD), yang terutama terdiri dari Crohn's disease (CD) dan ulcerative colitis (UC), merupakan kondisi peradangan idiopatik pada saluran cerna. Malnutrisi kerap terjadi pada kedua jenis IBD tersebut. Malnutrisi terjadi karena beberapa faktor seperti penurunan asupan, peningkatan kebutuhan nutrisi, kehilangan nutrisi yang tinggi akibat gejala seperti diare, dan akibat interaksi obat.[1-3]
Hal tersering yang dilakukan pasien IBD untuk mengontrol penyakitnya adalah modifikasi diet. Sebagian besar dari modifikasi ini dilakukan dengan restriksi diet yang salah karena hanya berdasarkan pencarian oleh pasien sendiri dari berbagai sumber. Oleh karenanya, rekomendasi diet pada kasus IBD penting untuk diketahui.[1-3]
Sekilas Tentang Inflammatory Bowel Disease
Insidensi dan prevalensi IBD sebagai penyakit kronik dengan kekambuhan berulang meningkat, terutama di negara berkembang seperti Asia. Angka kejadian UC diketahui lebih tinggi dibandingkan CD di negara-negara Asia Tenggara. Di Indonesia, angka kejadian tahunan IBD adalah sebesar 0.77/100.000.[1,2]
Patofisiologi terjadinya IBD cukup kompleks dan multifaktorial, karena melibatkan genetik, lingkungan, dan komponen mikrobiota usus. Pada sebuah studi prospektif yang melibatkan 333 pasien dengan CD dan UC, prevalensi malnutrisi diketahui sebesar 16%. Malnutrisi terutama terjadi pada kasus aktif, riwayat pembedahan abdomen, serta kasus restriksi asupan yang sering dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya remisi.[1,2]
Rekomendasi Diet pada Inflammatory Bowel Disease
Melakukan skrining nutrisi adalah langkah penting sebelum memulai terapi nutrisi dalam kasus IBD. Skrining diperlukan untuk menghindari terjadinya malnutrisi. Skrining dilakukan oleh tenaga medis tidak hanya pada pasien IBD yang dirawat inap, namun juga secara berkala pada kunjungan follow-up di poliklinik.[2,4]
Pasien dewasa yang menderita IBD berisiko mengalami malnutrisi, terutama pada kasus CD daripada UC. Bahkan pada individu yang mengalami obesitas, penurunan massa bebas lemak sering terjadi setelah dilakukan pemeriksaan komposisi tubuh.[2,4]
Jalur Pemberian Nutrisi
Pemberian nutrisi enteral tetap diutamakan pada kasus IBD. Akan tetapi, ada beberapa kontraindikasi seperti obstruksi saluran cerna atau ileus, high output fistula, syok intestinal, dan perdarahan berat pada saluran cerna yang perlu diperhatikan.[4]
Nutrisi parenteral perlu dipertimbangkan saat pemberian nutrisi enteral saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien. Pertimbangan lainnya adalah ketika terdapat kesulitan anatomis saat pemasangan jalur enteral atau ada fistula.[4]
Penentuan Kebutuhan Energi
Standar emas perhitungan kebutuhan energi adalah menggunakan indirect calorimetry. Namun, karena pada dasarnya kebutuhan energi pasien IBD sama dengan populasi sehat, maka pemberian energi sebesar 30–35 kkal/kgBB/hari dapat dilakukan.[3]
Pada kondisi tertentu, seperti UC yang merupakan proses inflamasi akut dan menyebabkan hipermetabolisme, maka peningkatan kebutuhan energi dapat terjadi.[3]
Rekomendasi Makronutrien
Rekomendasi untuk makronutrien dalam diet pasien dengan IBD meliputi anjuran terkait karbohidrat, protein, dan asam lemak omega-3.
Karbohidrat
Hubungan asupan karbohidrat dengan gejala IBD masih kontroversial. Terdapat beberapa rekomendasi yang menyarankan specific carbohydrate diet (SCD) dan diet low fermentable oligosaccharides, disaccharides, monosaccharides, and polyols (low FODMAP) untuk mencegah remisi pada IBD.[2,5]
Hal ini didasarkan pada hipotesis bahwa karbohidrat kompleks yang berada dalam waktu lama di saluran cerna akan menghasilkan substrat untuk pertumbuhan bakteri proinflamasi. Substrat ini dapat meningkatkan permeabilitas usus.[2,5]
Diet SCD merekomendasikan untuk menghindari jenis grain, seperti gandum, barley, jagung, nasi, makanan kaleng dan susu. Namun, diet masih memberikan toleransi terhadap konsumsi buah, sayur, yoghurt, kacang dan keju padat, sehingga mampu menurunkan inflamasi usus dan memperbaiki fungsi barier saluran cerna.[2,5]
Sejalan dengan diet SCD, diet low FODMAP (LFD) juga mengeliminasi sejumlah makanan yang sulit dicerna dan difermentasi di usus, karena dapat memicu gejala seperti rasa kembung dan distres saluran cerna. Namun, penelitian meta analisis oleh Peng, et al. menunjukkan bahwa walaupun memberikan keuntungan pada perbaikan gejala saluran cerna dan kualitas hidup, LFD ternyata tidak memperbaiki konsistensi feses dan inflamasi mukosa saluran cerna.[2,5]
Protein
Pasien IBD akan mengalami turnover protein yang tinggi akibat berbagai faktor. Rekomendasi European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) untuk asupan protein pada kasus IBD aktif adalah 1,2–1,5 g/kgBB/hari pada dewasa. Sementara itu, rekomendasi pada kasus remisi adalah untuk memenuhi setidaknya 1 g/kgBB/hari.[3,4,6]
Penambahan asam amino jenis branched-chain amino acids (BCAA) berperan dalam sintesis protein serta berpartisipasi dalam jalur inflamasi, respon imun dan metabolisme. Namun, pada penelitian Papada et al. tidak ditemukan korelasi bermakna dari penambahan BCAA pada parameter inflamasi pasien UC. ESPEN juga tidak merekomendasikan penambahan substrat spesifik seperti glutamin pada pasien IBD aktif yang mendapatkan nutrisi enteral dan parenteral.[3,4,6]
Lemak
Sebuah penelitian kohort prospektif oleh Huang et al. yang melibatkan hampir 448.000 orang berusia 40–69 tahun menemukan bahwa mengonsumsi minyak ikan selama 8 tahun dapat mengurangi risiko IBD sebanyak 12%. Ini juga dapat mengurangi risiko UC sebanyak 15%, tetapi tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap risiko CD. Minyak ikan juga dikaitkan dengan penurunan kadar CRP dan peningkatan kadar albumin dalam darah.[7,8]
Namun, penelitian ini tidak mencantumkan dosis, durasi penggunaan, atau rasio Eicosapentaenoic Acid (EPA) dan Docosahexaenoic Acid (DHA) yang digunakan. Studi lain oleh Ajabnoor et al. menunjukkan bahwa suplementasi polyunsaturated fatty acids (PUFA) tidak efektif dalam mencegah atau mengobati IBD dalam jangka panjang.[7,8]
Minyak ikan mengandung omega-3 (n-3) yang memiliki sifat anti-inflamasi. EPA dalam minyak ikan dapat menghasilkan zat-zat yang mengurangi peradangan. N-3 juga dapat menghambat proses inflamasi dengan mengurangi aktivitas protein kinase C (PKC) dan menekan respons imun.[7]
Meskipun begitu, karena bukti yang terbatas, suplementasi n-3 tidak direkomendasikan sebagai terapi utama untuk IBD dalam kondisi remisi menurut ESPEN.[7]
Rekomendasi Mikronutrien
Selain skrining malnutrisi, ESPEN juga merekomendasikan pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui kadar mikronutrien dan trace element dalam tubuh. Pemeriksaan serum darah turut menunjukkan respon inflamasi. Ini dapat ditandai dengan adanya peningkatan ferritin dan copper namun folat, selenium dan zinc justru menurun. Suplementasi multivitamin harian dapat dilakukan walaupun tidak menjamin kecukupan dalam tubuh terutama untuk waktu jangka panjang.[3,4]
Anemia dianggap sebagai manifestasi ekstraintestinal IBD paling sering. Apabila tidak diatasi, anemia akan memperburuk kondisi UC dan CD. Bentuk utama anemia pada IBD adalah anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronis dan anemia campuran.[3,4]
Untuk pasien remisi atau penyakit ringan, pemeriksaan laboratorium untuk anemia harus dilakukan setiap enam sampai dua belas bulan. Sementara itu, pada pasien rawat jalan dengan penyakit aktif, pengukuran tersebut harus dilakukan setidaknya setiap tiga bulan.[3,4]
Zat Besi
Suplementasi zat besi direkomendasikan pada semua pasien IBD yang mengalami anemia defisiensi besi untuk memperbaiki anemia dan menormalkan simpanan zat besi. Zat besi oral merupakan pengobatan lini pertama pada pasien anemia ringan dengan klinis IBD tidak aktif.[3,4]
Sementara itu, zat besi intravena adalah pengobatan lini pertama pada pasien IBD aktif secara klinis, riwayat intoleransi terhadap zat besi oral, kadar hemoglobin di bawah 100 g/L, serta yang membutuhkan agen perangsang eritropoiesis.[3,4]
Vitamin D
ESPEN merekomendasikan monitoring kadar serum D-25(OH) terutama pada IBD aktif yang mendapatkan terapi kortikosteroid. Walaupun tidak ada standar emas yang menunjukkan kadar adekuat vitamin D pada pasien IBD, nilai >75 nmol/L dianggap lebih menguntungkan dalam proses inflamasi dan perbaikan gejala apabila dibandingkan dengan <50 nmol/L.[3,4,9]
Suplementasi vitamin D dan kalsium disarankan untuk mencegah osteopenia dan osteoporosis pada pasien IBD. Sebagai pedoman praktis, kadar 25(OH)-D akan meningkat sekitar 1 nmol/L setiap suplementasi vitamin D3 harian sebesar 40 IU.[3,4,9]
Selain dari efek klasik pada mineralisasi tulang, vitamin D juga memiliki fungsi imunologi. Vitamin D memengaruhi proliferasi dan diferensiasi sel, berperan dalam imunomodulasi, dan berperan dalam mikrobioma usus. Defisiensi vitamin D bahkan terbukti berhubungan dengan anemia yang banyak dialami pasien IBD.[3,4,9]
Rekomendasi untuk Modulasi Mikrobiota Usus
Mikrobiota usus memengaruhi faktor-faktor seperti proliferasi bakteri patogen, stimulasi sistem imun, regulasi penyerapan nutrisi, dan sintesis senyawa penting untuk mukosa kolon, sehingga memiliki peran yang krusial.[3,10]
Di dalam usus, fungsi mikrobiota melibatkan fermentasi asam amino dan sakarida, menghasilkan short-chain fatty acids (SCFA) seperti butirat dan propionat, yang memiliki peran kunci dalam menjaga kesehatan mukosa dan memproduksi interleukin anti-inflamasi.[3,10]
IBD terkait dengan dysbiosis, yang ditandai oleh perubahan komposisi mikroba, penurunan keragaman, dan perubahan pada spesies bakteri tertentu. Probiotik, yang mengandung bakteri hidup, diduga memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan usus, memodulasi permeabilitas mukosa, memperkuat sistem imun tubuh, dan bersaing dengan bakteri patogen.[3,10]
Meskipun beberapa penelitian menunjukkan efektivitas probiotik dalam mencegah kekambuhan UC yang tidak aktif, manfaat jangka panjang dari probiotik mungkin terbatas tanpa modifikasi diet secara keseluruhan.[3,10]
Komposisi makanan secara signifikan berdampak pada keseimbangan mikrobiota, dan intervensi seperti diet tinggi serat terbukti menjanjikan dalam perbaikan energy expenditure dan memodulasi mikrobioma usus. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk mendalami interaksi kompleks antara diet, probiotik, dan mikrobiota dan peran keduanya dalam mencegah dan mengelola IBD.[3,10]
Bukti yang ada terkait penggunaan prebiotik, yang diduga dapat bermanfaat dalam mempromosikan bakteri tertentu dan/atau produksi metabolit spesifik oleh bakteri tertentu, juga masih terbatas. Oleh karena itu, belum ada rekomendasi tertentu terkait penggunaan probiotik dan prebiotik sebagai suplementasi untuk pasien dengan IBD.[3]
Kesimpulan
Dengan meningkatnya jumlah kasus Inflammatory Bowel Disease (IBD), semakin banyak pasien mencari informasi tentang rekomendasi diet yang sesuai. Walaupun tidak terdapat diet khusus IBD, penting bagi tenaga medis untuk memberikan edukasi nutrisi untuk menghindari restriksi asupan yang dapat mencetuskan malnutrisi.
Pemilihan karbohidrat dapat disesuaikan dengan gejala klinis. Sementara itu, kebutuhan protein sebesar 1,2–1,5 g/kgBB/hari pada kasus aktif dan 1 g/kgBB/hari pada kasus remisi sangat dianjurkan oleh ESPEN. Selain skrining status nutrisi, pemeriksaan kadar vitamin dan trace element juga perlu dilakukan sebagai dasar suplementasi.
Saat ini, bukti yang ada terkait manfaat pemberian probiotik dan prebiotik untuk modulasi mikrobiota terbatas, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan belum direkomendasikan untuk diberikan sebagai suplementasi.