Studi keamanan vaksin COVID-19 saat ini mulai mempelajari ada tidaknya peningkatan risiko abortus spontan pada ibu hamil yang menerima vaksin COVID-19. Hal ini tentu menjadi perhatian banyak pihak karena data keamanan vaksin COVID-19 pada ibu hamil sebelumnya sangat terbatas.
Sejak Agustus 2021, Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan surat edaran vaksinasi COVID-19 bagi ibu hamil, yang menetapkan usia gestasi 13 minggu sebagai batas syarat vaksin. Vaksin yang diperbolehkan yaitu jenis vaksin mRNA (Pfizer dan Moderna) dan vaksin inaktif (Sinovac). Namun, cukup banyak wanita hamil masih mempertanyakan keamanan vaksin COVID-19 bagi kehamilan.
Uji klinis acak terkontrol awal vaksin COVID-19 memang tidak mengikutsertakan wanita hamil. Namun, vaksin COVID-19 telah banyak diberikan pada ibu hamil di berbagai negara dan luarannya mulai banyak dilaporkan. Hingga tanggal 7 Juni 2021, vaksinasi COVID-19 telah diberikan pada >120.000 wanita hamil di Amerika Serikat dengan usia gestasi yang berbeda-beda. Data tidak menunjukkan efek samping yang berbahaya terhadap kehamilan.[1]
Sekilas tentang Pengaruh Infeksi COVID-19 terhadap Risiko Abortus
Suatu penelitian kasus kontrol yang dilakukan oleh Cosma et al menunjukan bahwa infeksi SARS-CoV-2 di trimester pertama kehamilan tidak menjadi faktor predisposisi abortus spontan. Penelitian ini dilakukan pada 225 ibu hamil di trimester pertama, yang terdiri dari grup abortus spontan (100 ibu) dan grup kontrol (125 ibu hamil yang datang ke rumah sakit untuk memeriksakan kehamilannya di trimester pertama).
Kedua grup menjalani pemeriksaan reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) dari sampel swab nasofaring dan menjalani pemeriksaan antibodi IgG dan IgM SARS-CoV-2 dari sampel darah. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan insiden kumulatif COVID-19 antara grup abortus (11%) dan grup kontrol (9,6%), p = 0,75.[2]
Studi tentang Vaksinasi COVID-19 pada Ibu Hamil dan Risiko Abortus Spontan
Mengingat kendala etik yang tidak memungkinkan ibu hamil untuk ikut serta dalam uji klinis vaksin COVID-19, berbagai studi yang ada mencoba mempelajari ibu hamil yang telah menerima vaksin COVID-19 secara retrospektif.
Studi Shimabukuro et al
Pada 14 Desember 2020 hingga 28 Februari 2021, Shimabukuro et al melakukan survei data ibu hamil yang mendapat vaksin COVID-19 tipe mRNA melalui sistem surveilans “v-safe after vaccination health checker”, the v-safe pregnancy registry, dan Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS).
Dari 3.958 ibu hamil yang terdaftar di the v-safe pregnancy registry, 92 orang (2,3%) menerima vaksin dosis pertama di periode prakonsepsi, 1.132 orang (28,6%) menerima vaksin di trimester pertama, 1.714 orang (43,3%) menerima vaksin di trimester kedua, dan 1.019 orang (25,7%) menerima vaksin di trimester ketiga.
Dari 3.958 ibu hamil tersebut, sebanyak 827 kehamilan telah selesai, dengan kelahiran hidup (86,1%), abortus spontan (12,6%), stillbirth (0,1%), dan luaran lain seperti abortus yang diinduksi atau kehamilan ektopik (1,2%). Angka adverse events ini tidak berbeda bermakna dengan ibu hamil yang dipelajari sebelum pandemi COVID-19.[3]
Studi Zauche et al
Pada Desember 2020 hingga Juli 2021, Zauche et al juga melakukan survei data ibu hamil yang terdaftar di v-safe pregnancy registry dan yang sudah diberikan minimal 1 dosis vaksin mRNA COVID-19 di periode prakonsepsi atau di usia gestasi <20 minggu.
Survei ini menemukan bahwa di antara 2.456 ibu hamil yang menerima vaksin mRNA COVID-19 pada periode prakonsepsi atau usia gestasi <20 minggu, risiko kumulatif abortus spontan pada usia 6–19 minggu kehamilan adalah 14,1%. Angka ini dinilai tidak berbeda dengan kejadian abortus spontan pada umumnya, yaitu 11–16%.[4]
Studi Kharbanda et al
Suatu studi kasus kontrol untuk menganalisis risiko abortus spontan pada penerima vaksin mRNA COVID-19 dilakukan oleh Kharbanda et al. Mereka membuat algoritme periode usia kehamilan dari catatan kesehatan elektronik dari 8 sistem kesehatan di Amerika Serikat. Data vaksin COVID-19 diambil dari catatan kesehatan elektronik dan sistem informasi imunisasi negara bagian.
Kharbanda et al membandingkan angka vaksinasi COVID-19 dalam 28 hari sebelum abortus spontan dan angka vaksinasi COVID-19 dalam 28 hari sebelum index date untuk kehamilan yang sedang berlangsung. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan angka vaksinasi COVID-19 yang bermakna antara grup abortus (8,6%) dan grup kehamilan yang masih berlangsung (8%).
Studi ini berkesimpulan bahwa pada grup abortus spontan, tidak ada peningkatan odds of exposure terhadap vaksin COVID-19 dalam 28 hari sebelumnya bila dibandingkan dengan grup kehamilan yang masih berlangsung (OR 1,02; 95% CI, 0,96–1,08).[5]
Kesimpulan
Wanita hamil belum dapat diikutsertakan dalam uji klinis prospektif vaksinasi COVID-19, sehingga data profil keamanan vaksin COVID-19 terhadap ibu hamil saat ini berasal dari survei dan studi retrospektif.
Bukti dari studi yang ada saat ini tidak menunjukkan peningkatan risiko abortus spontan akibat vaksin COVID-19 yang diberikan pada periode prakonsepsi maupun trimester pertama kehamilan. Temuan ini dapat dokter jadikan acuan saat mengedukasi calon penerima vaksin COVID-19 yang sedang hamil atau yang sedang berencana hamil, agar calon penerima vaksin dapat membuat informed decision.