Adanya appendicitis akut pada kehamilan tentunya meningkatkan risiko timbulnya komplikasi, baik bagi ibu maupun janin. Manifestasi klinis dan modalitas pemeriksaan penunjang yang biasa digunakan dalam menegakan diagnosis appendicitis akut berbeda pada wanita hamil. Tidak hanya itu, efek dari tindakan bedah dan hasil intervensi yang diharapkan pun masih menjadi perdebatan.
Appendicitis akut pada kehamilan merupakan kondisi patologis non-ginekologis dan non-obstretrik dimana apendiks ibu hamil mengalami inflamasi dan infeksi yang membutuhkan penanganan segera. Angka kejadian appendicitis akut pada kehamilan bervariasi antara 1:1000 hingga 1:1500 kehamilan. Appendicitis akut pada ibu hamil dapat terjadi pada semua trimester kehamilan dengan insidensi tertinggi pada trimester kedua.[1-5]
Dampak Appendicitis Akut pada Kehamilan
Dampak appendicitis akut pada kehamilan berbeda dengan populasi non-hamil. Komplikasi perforasi serta berbagai bentuk komplikasi lain dari appendicitis akut lebih sering ditemukan pada wanita hamil, yakni mencapai 55% dibandingkan 4-19% pada populasi lain. Kemungkinan komplikasi pada janin meningkat mulai dari 1,5% pada ibu hamil dengan appendicitis tanpa komplikasi dan mencapai 36% pada appendicitis perforasi.
Hambatan terbesar pada ibu hamil yang mengalami appendicitis akut adalah ibu hamil yang masuk ke unit gawat darurat dengan keluhan nyeri perut akan memiliki diagnosis banding lebih luas dibandingkan pasien non-hamil. Gejala appendicitis akut, seperti mual muntah, nyeri perut bawah, atau nyeri inguinal, juga dapat dikaburkan oleh keluhan selama kehamilan.[1,2,4,5]
Dalam sebuah studi observasional, komplikasi appendicitis akut terjadi pada 6 dari 21 ibu hamil dengan appendicitis (28,6%). 3 pasien mengalami persalinan preterm dan 3 lainnya mengalami abortus.[1]
Diagnosis Appendicitis Akut pada Kehamilan
Dalam mendiagnosis appendicitis akut pada kehamilan, diagnosis banding yang perlu dipikirkan sangatlah luas saat pemeriksaan awal dilakukan. Gejala non-spesifik pada appendicitis, seperti nyeri inguinal, mual, dan muntah, secara alami akan ditemukan pada ibu hamil.
Perubahan anatomi saat kehamilan juga membuat sensitivitas diagnostik pada pemeriksaan fisik berkurang, terutama pada trimester ketiga. Hal ini disebabkan oleh terdorongnya apendiks oleh uterus yang membesar, membuat posisi apendiks tidak berada pada aksis normalnya. Jarak antara apendiks dengan dinding anterior abdomen juga bertambah.
Pada pasien hamil, uterus juga menghambat terjadinya kontak antara omentum dengan apendiks yang mengalami inflamasi. Akibatnya, sensitivitas dinding abdomen dan gejala defans muskular yang timbul akan berkurang. Kondisi-kondisi inilah yang menjadikan pemeriksaan appendicitis akut pada kehamilan sebuah tantangan tersendiri.[1,2,4]
Keluhan Pasien
Secara klasik, keluhan utama appendicitis biasanya adalah nyeri abdomen yang muncul di area periumbilikus dan bermigrasi ke kuadran kanan bawah seiring perkembangan inflamasi apendiks. Mual, muntah, dan demam merupakan keluhan tambahan yang sering muncul. Manifestasi atipikal dapat mencakup heartburn, kembung, dan ketidaknyamanan abdomen yang non-spesifik.
Ibu hamil lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami appendicitis dengan presentasi klasik. Tetapi gejala appendicitis yang paling umum, yaitu nyeri di kuadran kanan bawah, terjadi di dekat titik McBurney pada sebagian besar wanita hamil terlepas dari tahap kehamilan. Karena lokasi apendiks bermigrasi beberapa sentimeter ke arah kepala seiring peningkatan volume uterus, pada trimester ketiga keluhan nyeri mungkin terletak di pinggang atau kuadran kanan atas.[5]
Temuan Pemeriksa2an Fisik
Temuan pemeriksaan fisik utama pada appendicitis biasanya berupa demam dan nyeri tekan kuadran kanan bawah. Jika pasien sudah mengalami perforasi, maka dapat ditemukan juga defans muskular. Digital examination pada rektum atau vagina biasanya menginduksi nyeri yang lebih hebat dibandingkan palpasi abdomen.
Sensitivitas palpasi McBurney bisa menurun selama kehamilan karena uterus ibu hamil mengangkat dan meregangkan dinding perut anterior dan meningkatkan jarak ke apendiks yang meradang. Karena kontak langsung antara area peradangan dan peritoneum parietal dicegah, nyeri atau defans mungkin tidak terlalu terjadi saat palpasi. Uterus pada ibu hamil juga dapat mencegah kontak antara omentum dan apendiks yang meningkatkan kemungkinan peritonitis difus.[5]
Tabel 1. Tanda dan Gejala Appendicitis pada Ibu Hamil
Gejala Klinis | Persentase |
Nyeri perut | 95% |
Kuadran kanan bawah Kuadran kanan atas | 75% |
20% | |
Mual | 85% |
Muntah | 70% |
Anoreksia | 65% |
Disuria | 8% |
Tanda Klinis | Persentase |
Nyeri tekan kuadran kanan bawah | 85% |
Nyeri lepas | 80% |
Defans muskular | 50% |
Sensitivitas rektum | 45% |
Nyeri tekan kuadran kanan atas | 20% |
Sumber: Franca Neto AH, et al. 2015.[5]
Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis fisiologis yang terjadi selama masa kehamilan dapat membuat hasil pemeriksaan laboratorium menjadi kendala dalam diagnosis appendicitis. Risiko perforasi dilaporkan meningkat ketika hitung leukosit pada ibu hamil dengan appendicitis akut mencapai di atas 16.000/mm3. Hasil hitung leukosit yang normal juga tidak bisa mengeliminasi kemungkinan terjadinya appendicitis akut.[1,2,5]
Perlu diingat bahwa appendicitis akut adalah diagnosis histologi. Diagnosis klinis harus dicurigai kuat pada ibu hamil dengan temuan klasik, seperti nyeri perut yang berpindah ke kuadran kanan bawah, nyeri tekan di kuadran kanan bawah, mual muntah, demam, dan leukositosis dengan shift to the left. Pada pasien dengan presentasi atipikal, yang sering terjadi selama kehamilan, pemeriksaan pencitraan sebaiknya dilakukan.[5]
Pemeriksaan Radiologi:
Tujuan utama pemeriksaan pencitraan dalam diagnosis appendicitis selama kehamilan adalah untuk mengurangi penundaan intervensi bedah karena ketidakpastian diagnostik. Tujuan kedua adalah untuk mengurangi angka tindakan appendectomy yang tidak perlu. USG merupakan modalitas yang direkomendasikan untuk mengevaluasi apendiks dan menentukan kemungkinan penyebab nyeri perut lain seperti kista atau torsi ovarium, mioma, nefrolitiasis, dan kolesistitis.[5]
Menurut The American College of Radiology (ACR), pasien dengan hasil USG negatif dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MRI sebab pemeriksaan ini tidak memberi risiko radiasi pada janin dan memiliki sensitivitas 91,8% dan spesifisitas 97,7%. Akan tetapi, ACR tidak merekomendasikan MRI dengan kontras dilakukan secara rutin pada ibu hamil.
Jika kontras diperlukan, ACR tidak merekomendasikan penggunaan kontras gadolinium karena kontras ini dapat menembus sawar plasenta. Pemeriksaan CT Scan dapat dilakukan pada kondisi MRI tidak tersedia.[1,2,4,5]
Appendicitis Akut Selama Persalinan
Diagnosis appendicitis akut pada pasien selama persalinan sangat sulit dan mungkin tidak dapat dilakukan. Persalinan dapat mengaburkan nyeri yang berkaitan dengan appendicitis akut. Adanya gejala yang menetap atau berkembang setelah persalinan perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan fisik dan radiologi untuk mengidentifikasi appendicitis atau kemungkinan komplikasi lain.[5]
Manajemen Appendicitis Akut pada Kehamilan
Terapi standar appendicitis akut pada kehamilan adalah dengan tindakan pembedahan appendectomy atau pemberian antibiotik. Meski demikian, pemberian antibiotik tidak menjadi pilihan karena adanya risiko appendicitis rekuren. Dengan demikian, operasi appendectomy menjadi pilihan utama. Perlu diperhatikan bahwa manipulasi pelvis intraoperatif yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya persalinan preterm.[1,2,4,5]
Laparoskopi vs Pembedahan Terbuka
Pada berbagai studi yang telah dilakukan, tindakan bedah konvensional dan laparoskopi memberikan berbagai hasil yang berbeda. Laparoskopi appendectomy dinilai sebagai tindakan yang lebih dipilih pada ibu hamil, tapi beberapa studi menunjukan angka kematian janin pada tindakan laparoskopi justru lebih tinggi.[1,2,5]
Dalam sebuah studi observasional yang melibatkan 21 ibu hamil dengan appendicitis akut, angka komplikasi didapatkan sebesar 35,7% pada kelompok laparoskopi (5 dari 14 pasien) dan 14,3% pada kelompok operasi konvensional atau bedah terbuka (1 dari 7 pasien). Tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara jenis tindakan bedah yang dipilih dengan komplikasi yang terjadi. Angka kematian janin adalah sebesar 14,3% dan semuanya ditemukan pada kelompok laparoskopi.[1]
Keputusan untuk menggunakan pendekatan laparoskopi harus mempertimbangkan keterampilan dan pengalaman ahli bedah, serta faktor klinis seperti ukuran rahim ibu. Modifikasi teknik laparoskopi mungkin diperlukan selama kehamilan, misalnya posisi dekubitus sedikit ke kiri pada kehamilan lanjut, menghindari penggunaan instrumen serviks, dan membatasi tingkat tekanan intraabdominal ≤ 12 mmHg.
Jika kemungkinan diagnosis appendicitis cukup tinggi, appendectomy terbuka dengan sayatan transversal di titik McBurney atau pada lokasi nyeri maksimum dapat dilakukan. Jika kemungkinan diagnosis lebih rendah, sayatan vertikal midline umbilikal dapat dilakukan karena memungkinkan paparan abdomen yang baik untuk diagnosis dan terapi berbagai kondisi bedah yang menyerupai appendicitis. Sayatan vertikal juga dapat bermanfaat jika sectio caesarea diperlukan.[5]
Waktu yang Tepat untuk Melakukan Pembedahan
Waktu yang dinilai tepat untuk melakukan appendectomy pada populasi secara umum adalah antara 24 hingga 36 jam sejak onset gejala, atau sekitar 10 hingga 24 jam setelah pasien masuk rumah sakit. Diketahui pelaksanaan appendectomy pada 24 jam pertama sejak pasien masuk dapat menurunkan risiko kejadian perforasi atau efek samping lainnya.[1,2,5]
Pada studi observasional yang melibatkan 21 ibu hamil dengan appendicitis akut, terdapat kasus dimana operasi dilakukan 5 jam sejak pasien masuk ke rumah sakit dan pasien tetap mengalami perforasi. Berdasarkan observasi ini, diduga alasan meningkatnya kejadian komplikasi appendicitis pada kehamilan bukan hanya karena terlambatnya diagnosis atau lamanya mendapat terapi, tetapi perubahan fisiologis yang dialami oleh wanita hamil juga berkontribusi.[1]
Kesimpulan
Pada kehamilan, terjadi perubahan anatomi dan fisiologis yang mempersulit diagnosis dan penanganan appendicitis. Ibu hamil memiliki kemungkinan lebih kecil menunjukkan tanda dan gejala klinis tipikal, sehingga keterampilan dan kecurigaan klinis yang kuat dari dokter sangat diperlukan.
USG dan MRI abdomen tanpa kontras gadolinium dapat menjadi modalitas pencitraan yang mengonfirmasi ataupun mengeksklusi diagnosis. Tindakan bedah perlu dipertimbangkan matang-matang, apakah akan menggunakan bedah terbuka atau laparoskopi berhubung keduanya memiliki kelebihan dan risiko masing-masing.