Chronic fatigue syndrome (CFS) memiliki gejala yang tidak spesifik dan sering dikaitkan dengan masalah psikiatri. CFS didefinisikan sebagai kondisi lelah persisten dan rekuren dengan durasi ≥ 6 bulan. CFS ditandai dengan rasa tidak nyaman setelah melakukan aktivitas, tidak dapat dijelaskan oleh kondisi organik lain, dan diikuti setidaknya satu dari beberapa gejala berupa gangguan siklus tidur-bangun, disfungsi kognitif, serta nyeri otot dan atau sendi.[1,2]
CFS sendiri masih menjadi suatu kontroversi di kalangan klinisi, apakah CFS suatu penyakit tersendiri atau hanya kumpulan gejala.
Kriteria Diagnosis Chronic Fatigue Syndrome
Perlu diingat bahwa pasien dengan kondisi medis tertentu (yang sudah tegak diagnosisnya), atau individu yang memiliki kondisi manik-depresi, schizophrenia, gangguan makan, penyalahgunaan zat, atau gangguan mental organik, tidak bisa dianggap memiliki chronic fatigue syndrome (CFS).
Kriteria diagnosis chronic fatigue syndrome (CFS) yang sering digunakan adalah kriteria oleh Institute of Medicine (IOM). Kriteria ini tidak dibuat untuk kepentingan klinis, melainkan untuk kepentingan penelitian. Diagnosis CFS ditegakkan apabila ditemukan 3 gejala wajib ditambah dengan 1 atau 2 gejala klinis tambahan.
Tiga Gejala Wajib
Gejala 1: Penurunan atau gangguan bermakna dalam menjalankan aktivitas yang mudah dilakukan sebelum onset sakit (dalam pekerjaan, pendidikan, kehidupan sosial, dan kehidupan pribadi) yang:
- Terjadi selama 6 bulan
- Disertai dengan kelelahan yang seringkali berat, new onset, tidak disebabkan oleh aktivitas yang berat, dan tidak membaik dengan istirahat
Gejala 2: Post-exertional malaise (PEM) yang memburuk setelah aktivitas fisik, mental, atau emosional yang berat, dan sebelumnya tidak menyebabkan gangguan.
Gejala 3: Tidur yang tidak berkualitas yang tidak membaik atau berkurang dengan tidur yang cukup walaupun tidak terdapat gangguan tidur apapun.
Gejala Tambahan
3 gejala wajib di atas ditambah dengan 1 atau 2 gejala klinis berikut:
- Gangguan kognitif: pasien memiliki masalah dalam proses pikir, memori, fungsi eksekutif, dan pengolahan informasi, serta defisit pemusatan perhatian dan gangguan fungsi motorik. Gejala dapat dipicu oleh aktivitas, postur tegap dalam waktu lama, stres, dan dapat mempengaruhi kemampuan pasien dalam bekerja atau sekolah.
- Intoleransi ortostatik: gejala pasien memburuk saat diminta mempertahankan posisi tubuh tegap. Hal ini diukur secara objektif dengan peningkatan denyut nadi dan abnormalitas tekanan darah. Gejala ortostatik dapat meliputi rasa melayang, pingsan, nyeri kepala, ataupun mual. Gejala bisa membaik dengan berbaring.[7]
Aspek Psikiatri Chronic Fatigue Syndrome (CFS)
Beberapa aspek psikiatri dalam chronic fatigue syndrome (CFS) antara lain melibatkan ketidakseimbangan neurotransmiter, faktor sosial, dan gangguan kognitif.
Ketidakseimbangan Neurotransmiter
Hampir setengah kasus chronic fatigue syndrome (CFS) diikuti dengan gejala depresi. Hal ini diduga disebabkan adanya perubahan atau ketidakseimbangan neurotransmitter utama seperti dopamine dan norepinefrin. Defisit dopamine pada pasien CFS menimbulkan perasaan tidak berharga dan tidak mampu merasakan kesenangan dalam hidup. Apabila defisit dopamine memberat dan mempengaruhi kerja neurotransmitter lain sebagai suatu sistem yang berkesinambungan, maka bisa timbul gejala psikotik.
Ketidakstabilan norepinefrin menjadikan pasien CFS mudah cemas, memiliki gangguan konsentrasi, dan memiliki keluhan fisik (seperti palpitasi). Ketidakseimbangan neurotransmitter tersebut membuat gejala CFS sering tumpang tindih dengan gejala psikiatrik. Tidak jarang pasien CFS datang dengan keluhan sulit konsentrasi dan kehilangan memori. Pasien juga bisa mengeluhkan kesadaran berkabut diikuti perlambatan proses pikir, persepsi, judgment, dan kognisi yang lebih ringan dibandingkan delirium.
Gangguan lain yang bisa muncul adalah mood swings, irritable, sedih yang tanpa alasan, pikiran terasa kosong, dan kesulitan mengatur isi pikir. Pada beberapa kasus, dapat pula terjadi gangguan kepribadian yang mengarah pada kepribadian cemas, sehingga dapat memicu serangan panik dan kecemasan yang berat.[8-11]
Keterlibatan Faktor Sosial
Faktor sosial sering menjadi sorotan dalam beberapa studi mengenai chronic fatigue syndrome (CFS). Faktor sosial yang dianggap mempengaruhi pasien CFS antara lain kesejahteraan, kesehatan, ekonomi, status sosial, dan jenis kelamin.
Kesejahteraan dan kesehatan mempengaruhi penerimaan yang lebih kuat dan mendalam pada diri pasien. Tanpa adanya penerimaan terkait keluhan yang dialami, performa subjective well-being dan psychological well-being akan tetap terganggu selama keluhan CFS masih dirasakan.[12]
Sebuah kohort di Amerika Serikat melaporkan hampir setengah pasien dengan CFS tidak mampu bekerja. Senada dengan ini, studi lain menemukan bahwa CFS akan meningkatkan kebutuhan biaya kesehatan secara substansial, dan menurunkan pendapatan pasien. Faktor ekonomi rendah diiringi tuntutan sosial tinggi dapat membuat seseorang memiliki performa sosial yang lebih rendah.[13,14]
Selain itu, jenis kelamin juga mempengaruhi perbedaan keluhan yang disampaikan pasien. Mimpi buruk, insomnia, hipersensitivitas terhadap bau, dan disfungsi seksual lebih banyak ditemukan pada pasien wanita dibandingkan pria.[15]
Gangguan Kognitif
Gangguan kognitif juga dapat timbul pada pasien dengan chronic fatigue syndrome (CFS). Gangguan kognitif ini dapat mengaburkan diagnosis CFS dengan dementia atau gangguan kognitif akibat penyakit jiwa lainnya. Gangguan kognitif yang bisa ditemukan pada CFS antara lain:
- Kesulitan mengingat kata dan kalimat yang sering digunakan sebelumnya.
- Munculnya keterlambatan mengingat objek.
- Disorientasi tempat, waktu, orang, situasi : ketidakmampuan mengenali situasi yang sudah dikenal sebelumnya, mudah tersesat.
- Masalah ketika melakukan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi atau memiliki banyak item dalam satu waktu.
- Kesulitan melakukan perhitungan sederhana[16,17]
Peran Dokter Umum dalam Chronic Fatigue Syndrome
Sebagai klinisi yang berhubungan langsung dan bertemu pertama kali dengan pasien, dokter umum diharapkan mampu melakukan penapisan gejala sehingga dapat melakukan rujukan apabila dibutuhkan.
Terkait keterlibatan gejala tidak spesifik dan aspek psikiatri, dokter umum dapat memberikan andil awal berupa kemampuan mendengar yang penuh empati. Dokter umum juga diharapkan mampu mengidentifikasi apakah keluhan disebabkan oleh CFS ataukah ada stressor dominan lain yang kemungkinan menyebabkan penyakit psikiatrik, serta segera merujuk ke psikiater jika diperlukan.
Dokter bisa mengarahkan sesi anamnesis dengan muatan penggalian status mental, bagaimana pola kepribadian pasien, coping stressor, kecenderungan defense ego, psikopatologi, dan kemungkinan gangguan psikiatrik yang muncul.
Penggalian proses pikir dapat mengarah pada proses dan isi pikir pasien. Apabila dokter menemukan keadaan patologis dalam proses pikir, maka perlu diberikan catatan tersendiri supaya dapat dilakukan koreksi. Dokter perlu mewaspadai ketika pasien mulai mengeluhkan pemikiran yang mengarah pada suatu distorsi kognitif, seperti:
- “Saya sakit tapi kenapa tidak pernah bisa sembuh, selalu merasa lelah, tidak pernah senang dan fresh dalam menjalani hidup”
- “Rasanya seperti semua habis, hilang, tidak berguna, meski saya masih bisa melihat apa yang terjadi”
- “Saya tidak bisa hidup seperti ini, mungkin benar capek ini kutukan atau lebih baik mati”
Contoh pikiran tersebut perlu diwaspadai karena bermakna adanya pandangan negatif pada semua atau beberapa aspek kehidupan dan sudah menjadi indikasi rujuk.[18,19]
Tata Laksana
Dokter umum dapat menyarankan pemberian obat sesuai kondisi klinis yang dihadapi, namun harus disertai tujuan pemberian yang dapat diukur dalam jangka waktu tertentu.[20] Saran lain, seperti program diet dan olahraga, juga perlu disesuaikan dengan profil pasien.[21]
Saat melakukan kontrak terapeutik awal, dokter perlu memiliki skema kemajuan terapi yang disepakati dan diusahakan bersama-sama oleh dokter dan pasien. Hal ini untuk menghindari kejenuhan dokter dan pasien dalam menghadapi gejala CFS yang tidak jarang menimbulkan frustasi pada kedua belah pihak. Skema kemajuan terapi dapat berupa catatan, apa yang didapatkan dari dokter di awal pertemuan, tahapan apa yang ingin dicapai, usaha apa yang perlu dilakukan, dan kapan pemantauan dilakukan.
Modifikasi bentuk skema kemajuan terapi dapat berupa buku harian, catatan perkembangan, kondisi di hari atau tanggal tertentu, dan harapan ke depan. Beberapa item tambahan yang perlu dievaluasi oleh dokter dan pasien antara lain:
- Apa gejala yang saat ini masih dirasakan?
- Berapa lama dan sering gejala tersebut muncul?
- Adakah pengalaman yang menimbulkan trauma?
- Apakah pemberian terapi obat dirasakan memberikan manfaat?
- Dalam berapa kali pertemuan dan berapa lama penggunaan obat dirasakan memberikan manfaat?
Dokter sebaiknya menjelaskan pada pasien bahwa ia tetap bisa memiliki pola pekerjaan harian seperti sebelumnya, meski tidak bisa dipaksakan penuh seperti sebelum memiliki gejala CFS. Ketakutan pasien untuk melakukan aktivitas dan tingkah laku menghindar dari kegiatan tertentu dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan terapi CFS.[22]
Kesimpulan
Chronic fatigue syndrome (CFS) memiliki gejala yang tidak spesifik dan sering dikaitkan dengan masalah psikiatri. Adanya ketidakseimbangan neurotransmiter membuat gejala CFS sering tumpang tindih dengan gejala psikiatrik, seperti gangguan konsentrasi dan memori, sedih tanpa alasan, kesadaran berkabut, dan perlambatan proses pikir.
Pasien dengan CFS bisa memiliki kemampuan ekonomi yang menurun dan kebutuhan biaya kesehatan yang meningkat. Selain itu, pasien CFS juga bisa memiliki penerimaan yang rendah terhadap gejala yang dialaminya, sehingga hasil subjective well-being dan psychological well-being akan terganggu. CFS juga mempengaruhi performa sosial pasien. Pasien CFS bisa datang dengan keluhan kognitif yang menyerupai dementia atau penyakit psikiatrik lainnya.