Meski sering digunakan untuk meredakan batuk pada anak, antitusif memiliki bahaya efek samping yang lebih tinggi daripada keuntungan terapeutik yang didapat. Basis bukti klinis terkait kebanyakan obat antitusif ini cukup lemah dan beberapa bahkan memiliki potensi bahaya.
Rata-rata anak mengalami infeksi saluran napas karena infeksi virus dengan gejala batuk-pilek 6 hingga 10 kali dalam setahun dengan durasi sampai 14 hari. Obat batuk termasuk antitusif, terutama yang dijual bebas, sangat sering digunakan pada anak. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa basis bukti ilmiah terkait efikasi beberapa jenis antitusif masih sangat lemah dan telah terdapat laporan efek samping serius.[1,2,12]
Efikasi Pemberian Antitusif pada Anak
Efikasi pemberian antitusif pada anak selama ini didasarkan pada data ekstrapolasi yang melibatkan studi pada orang dewasa. Gagasan ini telah banyak diragukan dan bukti ilmiah terbatas yang tersedia tidak mendukung penggunaan antitusif pada anak.[1]
Tinjauan Cochrane terbaru mengenai manfaat penggunaan obat antitusif OTC (over the counter) pada kasus batuk akut anak dan dewasa dipublikasikan pada akhir tahun 2014. Studi ini menganalisis 29 uji klinis acak terkontrol yang membandingkan antitusif oral OTC dengan plasebo, di mana 10 uji klinis yang dianalisis dilakukan pada anak. Total sampel adalah sebesar 4835 orang, dengan 1036 di antaranya adalah pasien pediatrik.
Berdasarkan analisis uji klinis yang dilakukan pada anak, antitusif (3 studi), antihistamin (3 studi), antihistamin-dekongestan (2 studi), dan antitusif yang dikombinasikan dengan bronkodilator (1 studi) ditemukan tidak lebih efektif daripada plasebo. Tinjauan ini menunjukan bahwa belum ada cukup bukti ilmiah untuk mendukung efikasi obat antitusif yang dijual bebas.
Peneliti Cochrane juga menyatakan bahwa kebanyakan studi yang dianalisis menunjukan keamanan obat yang baik, dengan efek samping minimal. Akan tetapi, penggunaan pada anak tetap harus berhati-hati karena telah ada laporan efek samping dari mual, muntah, dan nyeri abdomen, sampai dengan efek samping serius pada populasi ini, seperti pemanjangan interval QT dan aritmia pada penggunaan clobutinol.[3,4,12]
Bahaya Pemberian Antitusif pada Anak
Beberapa komposisi antitusif yang sering dijumpai diantaranya adalah codeine, dekstrometorfan, ambroxol, N-acetylcysteine, dan diphenhydramine. Antitusif umumnya digunakan untuk meredakan batuk akibat common cold, bronkitis, dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Pemberian antitusif, terutama yang dijual bebas, berisiko kesalahan penggunaan atau ingestion misuse, peningkatan kejadian efek samping, hingga peningkatan risiko mortalitas.[1,5,14]
Kesalahan Penggunaan
Kesalahan penggunaan akibat pemberian obat antitusif pada anak dapat berupa kekurangan dosis, kelebihan dosis, atau anak tidak sengaja terminum obat. Hal ini dapat menyebabkan efek samping yang tidak perlu, toksisitas, hingga kematian.[5,6,14]
Kesalahan penggunaan juga bisa terjadi ketika obat yang dijual bebas digunakan lebih dari satu tanpa orang tua menyadari bahwa kedua obat tersebut memiliki bahan aktif yang sama. Antitusif juga sering disalahgunakan untuk memberikan efek sedasi pada anak, misalnya oleh pengasuh atau oknum di tempat penitipan anak.[5,14]
Peningkatan Kejadian Efek Samping
Penggunaan antitusif memaparkan pasien pada bahan aktif dari obat yang tentunya akan meningkatkan risiko timbulnya efek samping. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh antitusif antara lain bingung, gangguan bicara, nistagmus, distonia, halusinasi, takikardia, sindrom serotonin, kejang, hingga depresi napas.
Depresi napas merupakan efek samping berbahaya yang dapat ditimbulkan oleh obat antitusif golongan opioid, seperti codeine. Maka dari itu, penggunaannya tidak disarankan pada individu berusia <12 tahun.[1,2,12,13]
Dalam sebuah studi yang mengevaluasi 4.202 kasus terkait efek samping antitusif, ditemukan bahwa sekitar 67% disebabkan oleh obat tidak sengaja terminum oleh anak dan 13% akibat kesalahan dalam penggunaan obat misalnya jenis atau dosis obat. Efek samping yang paling banyak ditemukan adalah takikardia, somnolen, halusinasi, ataksia, midriasis, dan agitasi. Sebanyak 20 kasus (0,6%) berujung pada kematian, dimana mayoritas terjadi pada anak berusia <2 tahun.[6]
Risiko Fatalitas dan Kematian
Dart et al. melakukan studi untuk mengevaluasi berbagai kasus fatal pediatrik yang dikaitkan dengan penggunaan antitusif. Dalam studi ini, evaluasi dilakukan pada kasus fatal yang melibatkan 189 anak berusia <12 tahun. Hasil analisis menunjukan bahwa 118 kasus dianggap terbukti, mungkin berkaitan, atau sangat mungkin berkaitan dengan penggunaan obat antitusif, dimana 103 di antaranya adalah obat antitusif yang dijual bebas.
Studi ini melaporkan bahwa kasus overdosis mencapai 88 anak yang dievaluasi. Faktor yang berkontribusi dalam peningkatan fatalitas akibat konsumsi obat antitusif adalah usia <2 tahun, penggunaan obat antitusif dengan tujuan sedasi anak, penggunaan di tempat penitipan anak, penggunaan 2 obat dengan bahan aktif yang sama, penggunaan tanpa alat ukur dosis, dan penggunaan obat yang seharusnya untuk pasien dewasa.[5,13]
Madu Sebagai Alternatif Pengobatan Batuk pada Anak
Infeksi saluran napas pada anak paling sering disebabkan oleh virus, sehingga umumnya gejala batuk-pilek akan membaik dengan sendirinya. Penggunaan obat-obatan seperti antitusif ataupun antibiotik jarang diperlukan. The American College of Chest Physicians dan FDA bahkan sudah tidak merekomendasikan penggunaan antitusif OTC pada anak yang mengalami batuk karena common cold.[8,9,12]
Penggunaan madu untuk batuk saat ini banyak direkomendasikan. Tinjauan Cochrane tahun 2018 terkait efikasi madu dalam meredakan batuk pada anak telah mengindikasikan madu alternatif merupakan alternatif potensial dalam tata laksana batuk.
Tinjauan ini mengevaluasi 6 uji klinis acak terkontrol dengan total sampel 899 anak. Hasil analisis menunjukan bahwa madu memiliki efikasi yang lebih baik dalam meredakan gejala batuk dibandingkan diphenhydramine, plasebo, atau tanpa pengobatan. Madu terbukti mampu mengurangi durasi batuk lebih baik dibandingkan plasebo dan salbutamol.
Selain itu, madu juga tidak memberikan risiko efek samping yang bermakna dibandingkan obat-obatan yang sering digunakan untuk meredakan batuk, seperti dekstrometorfan, diphenhydramine, ataupun salbutamol.[10,12–14]
Meskipun begitu, perlu diketahui ada risiko botulisme akibat penggunaan madu. Meskipun risiko ini sangat jarang, kejadian botulisme telah dilaporkan akibat konsumsi madu pada anak berusia kurang dari 12 bulan. Oleh karena itu, madu tidak disarankan dikonsumsi pada kelompok usia ini.[11,12]
Kesimpulan
Infeksi saluran napas dengan gejala batuk dan pilek pada anak umumnya disebabkan oleh virus yang dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun antitusif merupakan terapi simptomatik yang banyak digunakan pada kasus infeksi saluran napas, bukti ilmiah yang ada tidak mendukung efikasinya, terutama obat-obat antitusif yang dijual bebas. Penggunaan antitusif juga membawa bahaya sendiri, termasuk risiko penyalahgunaan, ingestion misuse, peningkatan risiko efek samping, hingga overdosis dan kematian.
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli