Suplementasi mineral, vitamin, dan fitofarmaka sering dilakukan pada kasus common cold atau ISPA (infeksi saluran pernaasan akut) karena dipercaya dapat meningkatkan sistem imun pasien dan mempercepat penyembuhan. Namun, tidak semua dokter mengetahui apakah tindakan ini didukung oleh bukti ilmiah yang memadai.
Common cold (CC) merupakan istilah konvensional yang digunakan untuk penyakit saluran pernapasan atas yang disebabkan oleh berbagai jenis virus dan bersifat self-limited disease.[1] Durasi episode common cold bisa mencapai 10 hari.[3] Gejala common cold bisa berupa kongesti nasal, rhinorrhea, bersin, nyeri tenggorokan, batuk, demam derajat rendah, nyeri kepala, dan malaise. Meskipun bagi sebagian besar orang common cold bisa sembuh sendiri, pada beberapa pasien dapat timbul komplikasi seperti sinusitis, infeksi saluran pernapasan bawah, eksaserbasi asthma, dan otitis media akut.[2]
Studi menunjukkan bahwa mempertahankan sistem imun tubuh dalam kondisi normal berpengaruh dalam mengurangi insiden, mempersingkat durasi common cold, ataupun mengurangi derajat keparahan penyakit. [4] Sehubungan dengan hal tersebut, saat ini beredar banyak suplemen, termasuk zinc, vitamin D, vitamin C, Echinacea, Elderberry, dan Phyllanthus niruri, yang sering digunakan dalam tata laksana common cold.
Zinc
Suplemen mineral yang sudah banyak diteliti efikasinya dalam meningkatkan daya tahan tubuh adalah zinc.
Zinc dan Sistem Imun
Konsumsi zinc (Zn) adekuat membantu mempertahankan barier fisik dan integritas membran mukosa, mempengaruhi kemampuan komponen seluler dari imunitas bawaan, seperti fagositosis dari makrofag dan neutrofil, aktivitas sel natural killer, serta pada pertahanan sitosol terhadap stres oksidatif. Faktor transkripsi represor Gfi1 (Zn finger protein) telah diidentifikasi sebagai salah satu regulator respon imun.[5] Data in vitro menunjukkan bahwa Zn dapat menormalisasi produksi interleukin oleh makrofag pada kondisi inflamasi seperti IL-2, IL-1,IL-6, dan tumor necrosis factor alpha.[6] Zn juga memodulasi pelepasan sitokin oleh sel darah nuklear (seperti netrofil) di perifer, maupun produksi interferon gamma.[7,8]
Zn dibutuhkan untuk presentasi antigen via major histocompatibility complex class II (MHC-II) dalam memulai respon imun adaptif. [9] Zn juga merupakan kofaktor esensial bagi thymic hormone, thymulin. Defisiensi Zn pada eksperimen binatang berhubungan dengan berat timus yang rendah dan kehilangan progresif sel limfosit T karena kurangnya thymulin.[7] Ion Zn memiliki efek langsung pada membran limfosit yang mempengaruhi maturasi dan diferensiasi limfosit T. [4] Selain itu, Zn turut mengontrol respon imun humoral yang dimediasi antibodi melalui Zn-membrane-localized transporter (ZIP10-Zn) yang mengatur perkembangan sel B awal dan mempertahankan sel B matur.[9]
Dalam hal infeksi virus, efek langsung antiviral Zn (5 mg) diperantarai oleh blokade reseptor Intercellular Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) yang berperan penting dalam masuknya rhinovirus di epitel nasal. [10] Laporan in vitro lain menunjukkan bahwa kombinasi zinc (Zn2+) dengan pyrithione dapat menginterupsi replikasi dari SARS-CoV-GFP dan virus RNA lainnya.[11]
Bukti Ilmiah Zinc untuk Common Cold
Terdapat studi yang menunjukkan bahwa suplementasi Zn bermanfaat dalam mengurangi risiko pneumonia dan common cold, terutama pada orang usia lanjut dan anak-anak.[4] Suplemen Zn yang diberikan dalam waktu 24 jam sejak onset common cold hingga 7 hari dilaporkan menghasilkan penurunan durasi common cold,sebanyak kurang lebih 1 hari, dibandingkan kelompok plasebo (Odds ratio 0,45).[2]
Pada meta analisis yang dilakukan oleh Singh dan Das di tahun 2011, ditemukan bahwa dalam hal terapi, pooled result dari 10 uji klinis acak terkontrol (RCT) menunjukkan durasi gejala common cold lebih singkat 1 hari dibandingkan kelompok plasebo. Pada pooled result dari 5 RCT didapatkan bahwa suplemen Zn mampu mengurangi derajat keparahan gejala pada grup pasien yang mendapat suplemen Zn dengan standard effect size 0,39. Sementara itu, untuk tujuan preventif, pooled result dari 2 studi menunjukkan bahwa suplementasi Zn mampu mengurangi insidensi common cold dibandingkan plasebo (Incidence rate ratio 0,64). Suplemen zinc yang digunakan pada meta analisis ini adalah zinc glukonat lozenges dan zinc sulfat sirup.[12]
Hasil meta analisis tersebut dikonfirmasi oleh meta analisis lain yang dilakukan pada 7 RCT (575 partisipan dengan common cold) di tahun 2017. Hasil meta analisis menunjukkan bahwa rerata durasi common cold lebih singkat 33% pada kelompok yang mendapat suplementasi zinc. Analisis subgrup menemukan bahwa suplementasi zinc glukonat sama efektifnya dengan lozenges zinc asetat. Hasil meta analisis ini tidak menemukan bukti bahwa dosis Zn di atas 100 mg/hari lebih efektif untuk terapi common cold jika dibandingkan dengan dosis di bawahnya.[13]
Efek samping yang umum dilaporkan adalah bad taste, mual, dan anosmia. Hingga saat ini belum ada rekomendasi khusus tentang pedoman dosis ataupun sediaan preparat Zn untuk tata laksana common cold.[2]
Vitamin D
Reseptor vitamin D banyak diekspresikan pada berbagai sel imun. Vitamin D telah dilaporkan berbagai studi memiliki peran sebagai imunomodulator pada imunitas bawaan maupun pada respon imun adaptif.[11]
Vitamin D dan Sistem Imun
Vitamin D aktif atau 1,25 (OH)2D3 berperan dalam regulasi gen via enzim hidroksilase, yang mengkode protein-protein yang dibutuhkan pada tight junction (misalnya occludin), gap junction, maupun adherens junction (misalnya E-cadherin).[14] Selain itu, vitamin D berperan pula dalam produksi cathelicidin dan defensin yang berperan dalam pertahanan awal (barier fisik).[15]
Vitamin D aktif (vitamin D3) meningkatkan fagositosis baik immunoglobulin-mediated maupun complement-mediated pada monosit manusia melalui stimulasi pada maturasi monosit menjadi makrofag. Laporan Hewison et al menunjukkan bahwa peningkatan kadar serum vitamin D pada pasien tuberkulosis menyebabkan peningkatan fagositosis monosit dan degradasi beta amiloid.[4]
Studi epidemiologi manusia mengindikasikan bahwa suplementasi vitamin D berkaitan dengan faktor protektif independen terhadap kejadian autoimun yang diperantarai oleh T helper 1 (Th 1).[4] Vitamin D mampu mengurangi sel Th1/Th17 maupun sitokin terkait, meningkatkan sel T regulator (Treg), downregulation produksi T cell-driven IgG, dan menginhibisi diferensiasi sel dendritik.[16]
Bukti Ilmiah Vitamin D untuk Common Cold
Penelitian menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D bermanfaat untuk mencegah infeksi saluran pernapasan atas, termasuk common cold. Percobaan acak terkontrol yang dilakukan oleh Laaksi et al pada 164 laki-laki di pelatihan militer Finlandia menunjukkan bahwa adjusted hazard ratio untuk jumlah absen akibat infeksi saluran pernapasan atas lebih rendah pada grup intervensi yang diberikan 400 unit vitamin D per hari dibandingkan plasebo plasebo (HR 0,71).[17]
Hasil serupa ditemukan pada meta analisis yang dilakukan di tahun 2012 terhadap 5 uji klinis. Studi ini menemukan bahwa kejadian infeksi saluran pernafasan atas lebih rendah pada grup vitamin D dibandingkan kontrol (odds ratio 0,582). Dosis vitamin D yang digunakan berkisar dari 800-2000 unit per hari.[18]
Studi analisis post hoc yang dilakukan Bergman et al di tahun 2015, mengindikasikan bahwa kadar vitamin D yang tinggi berkaitan dengan risiko infeksi saluran pernapasan atas yang lebih rendah (RR 1,3). Bahkan, kadar vitamin D di atas 100 nmol/L berhubungan dengan kemungkinan lebih tinggi memiliki kesehatan yang baik.[19]
Pada populasi anak, sebuah studi di Mongolia menemukan bahwa pemberian susu yang difortifikasi dengan 300 IU vitamin D3 menurunkan risiko infeksi saluran pernapasan akut pada musim dingin jika dibandingkan dengan grup anak yang mengalami defisiensi vitamin D. [20] Pada penelitian lain oleh Urashima et al, suplementasi 1200 unit/hari vitamin D3 pada anak usia sekolah mampu mengurangi insiden common cold yang disebabkan oleh influenza A.[21]
Vitamin C
Vitamin C memiliki antiinflamasi dan antioksidan, yang diduga bermanfaat dalam tata laksana common cold.
Vitamin C dan Sistem Imun
Studi yang dilakukan oleh Lauer et al menunjukkan bahwa pemberian vitamin C 100 mg oral setiap hari selama 4 minggu dapat meningkatkan efek sebesar 22% terkait radical scavenging effect pada barier fisik kulit manusia.[22] Studi lain menemukan bahwa pemberian vitamin C meningkatkan aktivitas sel inflamasi paru pada pasien asthma bronkial, menurunkan produksi superoksida neutrofil, dan memberikan efek terapeutik pada pasien pankreatitis. Mekanisme potensial untuk efek-efek tersebut adalah melalui peningkatan kemampuan antioksidasi, blokade peroksidase lipid di plasma, dan peningkatan fungsi imun seluler.
Namun, ada pula penelitian lain tidak menemukan efek vitamin C terhadap sel natural killer, atau tidak berperan sebagai countermeasure pada oksidasi dan perubahan imun pada pelari marathon.
Dalam aspek imun seluler adaptif, studi pada 30 pasien usia lanjut rawat inap lama, menemukan bahwa suplementasi vitamin C selama 28 hari dapat meningkatkan fungsi imun cell-mediated dalam hal jumlah absolut sel T, T4, rasio T4 terhadap T8, maupun proliferasi limfosit terhadap respon fitohemaglutinin jika dibandingkan dengan grup plasebo.[4]
Bukti Ilmiah Vitamin untuk Common Cold
Meta analisis oleh Hemila et al di tahun 2013 terhadap 29 RCT (11.306 partisipan) mengungkapkan bahwa pemberian suplemen vitamin C minimal 200 mg per hari secara reguler tidak memberi dampak signifikan pada insidensi common cold pada populasi sehat. Namun, pada populasi dengan stres fisik ekstrim (598 pelari marathon atau pemain ski atau tentara), ditemukan ada penurunan insiden common cold. Sedangkan, untuk durasi dan keparahan gejala, suplemen vitamin C reguler memberikan efek, meskipun kecil, pada penurunan durasi common cold sebanyak 8% pada dewasa dan 14% pada anak.[23]
Pada penelitian lain oleh Maggini et al menggunakan 1000 mg vitamin C yang dikombinasikan dengan 10 mg Zn, menemukan bahwa kombinasi vitamin C dan Zn tampaknya aman dan lebih efektif daripada plasebo dalam mengurangi gejala rhinorrhea pada common cold dalam 5 hari intervensi.[24]
Echinacea
Echinacea merupakan fitofarmaka dengan potensi imunomodulator yang sudah banyak diteliti.[4]
Echinacea dan Sistem Imun
Ekstrak Echinacea mempunyai karakter imunomodulator karena mampu meningkatkan maturasi baik fenotip maupun fungsional dari sel dendritik via aktivasi JNK, p38-MAPK dan jalur NFkB. Hal tersebut terbukti pada sel dendritik murine maupun manusia.[4]
Selain itu, pada penelitian Vimalanathan et al, ekstrak E.purpurea dilaporkan mampu mengurangi ekspresi ICAM-1 (Intercellular Adhesion Molecule 1), fibronektin, dan platelet activating factor receptor yang berperan dalam masuk dan adhesi bakteri. Dalam aspek sitokin, E.purpurea dilaporkan menginhibisi superstimulasi inflamasi (cytokine storm) dengan cara mensupresi ekspresi NFkB maupun TLR-4.[25]
Pada model hewan, Echinacea mampu meregulasi kadar sitokin termasuk interleukin-6 (IL-6), IL-10, dan IL-17, demikian pula dengan ekspresi mRNA akibat dari respon sitokin tersebut di limpa.[26] Efek imunomodulator tersebut pada manusia sehat dikonfirmasi oleh temuan studi pilot Dapas et al.[27]
Echinacea ternyata mempunyai efek juga pada imunitas seluler adaptif. Pada model tikus, pemberian suplemen Echinacea terbukti meningkatkan persentase sel limfosit T CD4+ dan CD8+ di darah.[26] Penelitian Fonseca et al menemukan bahwa ekstrak larut air dari Echinacea purpurea (L.) Moench menunjukkan dose-related adjuvant effect pada sel T manusia. Mekanisme tersebut diperkirakan dari peningkatan mobilisasi Ca2+dan aktivitas sel T.[28]
Bukti Ilmiah Echinacea untuk Common Cold
Penelitian acak terkontrol yang dilakukan pada 755 subyek sehat yang diberikan ekstrak E.purpurea selama 4 bulan menunjukkan bahwa suplemen Echinacea mampu mengurangi jumlah episode common cold, mengurangi durasi common cold, dan kebutuhan penggunaan obat pereda nyeri. Selain itu, Echinacea juga mampu menginhibisi virally confirmed common colds dan khususnya dapat mencegah enveloped virus infection (P<0,05).[29]
Selain dari E.purpurea, penelitian Di Pierro et al pada tahun 2012 menemukan bahwa ekstrak akar E.angustifolia mampu meningkatkan respon imun yang ditimbulkan oleh vaksinasi influenza.[30] Tinjauan Cochrane tahun 2014 yang membandingkan Echinacea dengan placebo (4631 partisipan) menunjukkan tren positif terkait efek Echinacea terhadap perawatan common cold, namun hasilnya tidak bermakna secara statistik.[31] Hasil ini ditindaklanjuti oleh meta analisis yang dilakukan Schapowal et al di tahun 2015. Dari 6 uji klinis (2458 pasien), penggunaan ekstrak Echinacea dilaporkan berhubungan dengan penurunan risiko infeksi saluran pernapasan akut atau common cold (RR 0,649). Efek serupa konsisten pada virologically confirmed infection (RR 0,420). Komplikasi seperti pneumonia, otitis media, otitis eksterna, tonsillitis, dan faringitis juga lebih minim ditemui pada grup Echinacea (RR 0,503).[32]
Elderberry
Elderberry merupakan salah satu fitofarmaka yang sudah banyak digunakan sebagai obat herbal untuk antiinflamasi, diuretic, dan common cold. Yang paling terkenal adalah black elder atau Sambucus nigra L. Senyawa aktif pada elderberry adalah komponen flavonoid, termasuk flavonol, proanthocyanidin, anthocyanin, dan asam fenolat.[33]
Elderberry dan Sistem Imun
Pada hewan percobaan, ekstrak elderberry terbukti memiliki aktivitas complement fixation yang tinggi, inhibisi hemolisis, dan inhibisi produksi nitric oxide (NO).[33] Data percobaan in vitro menemukan bahwa S.nigra mampu memodulasi sitokin proinflamasi IL-1 dan TNA-alfa, meningkatkan sekresi basofil untuk IL-4,IL-13, dan histamin, mempengaruhi fungsi netrofil, maupun menginhibisi pelepasan sitokin pro inflamasi dan fosfatidil inositol 3-kinase dari makrofag. Hasil di atas mengindikasikan potensi imunomodulator dari ekstrak elderberry.[34]
Selain dari efek imunomodulator, laporan in vitro menemukan bahwa ekstrak elderberry (S.nigra) mampu menginhibisi pertumbuhan Helicobacter pylori, Streptococcus pyogenes, Streptococcus grup C dan G, Branhamella catarrhalis, dan Haemophilus influenzae. Laporan in vitro juga menunjukkan bahwa ekstrak S.nigra dapat menginhibisi virus herpes simpleks, serta virus Influenza A dan B, termasuk strain H1N1. Data in vitro menunjukkan bahwa S.nigra tampaknya mencegah infeksi influenza dengan cara inhibisi kompetitif dengan virus influenza pada proses binding virus ke sel target.[35]
Bukti Ilmiah Elderberry untuk Common Cold
Sudah ada banyak penelitian yang memeriksa efek S.nigra terhadap common cold. Penelitian acak terkontrol pada tahun 1995 (27 pasien dewasa dengan common cold) menemukan bahwa pada grup pasien yang mendapat ekstrak S.nigra didapatkan pemulihan dari demam lebih cepat dibandingkan kelompok kontrol (4 hari vs 6 hari) dan perbaikan gejala lebih cepat (2 hari vs 5 hari). Sementara itu, hasil studi lain pada tahun 2004 dengan jumlah pasien yang lebih banyak (60 pasien dewasa dengan common cold) menemukan bahwa kelompok pasien yang mendapat ekstrak S.nigra menunjukkan perbaikan gejala yang lebih cepat daripada grup kontrol ( 2-4 hari vs 7-8 hari). Namun, perlu digarisbawahi bahwa jumlah sampel pada studi-studi ini sangat kecil.[35]
Namun, penelitian oleh Tiralongo et al di tahun 2016 tidak menemukan perbedaan bermakna secara statistik antara grup terapi yang mendapat ekstrak elderberry dengan grup kontrol dalam hal perbaikan gejala maupun durasi penyakit, meskipun data menunjukkan tren positif perbaikan yang lebih banyak di grup terapi.[36]
Data terbaru disajikan oleh hasil meta analisis dari Hawkins et al pada tahun 2019 (180 pasien). Hasil sintesis efek kuantitatif menemukan large mean effect size (ES) 1,717 untuk penurunan durasi dan ES 2,074 untuk perbaikan gejala common cold pada pasien yang mendapat ekstrak elderberry.[37] Adapun efek samping yang sering dilaporkan pada penggunaan ekstrak elderberry adalah mual, muntah, diare, dan reaksi alergi.[34]
Phyllanthus niruri
Phyllanthus niruri merupakan salah satu tanaman tropis yang dikenal memiliki banyak manfaat farmakologi seperti imunomodulator, antibakteri, antivirus, diuretik, antihiperglikemia, dan hepatoprotektor.[38]
Phyllanthus niruri dan Sistem Imun
Pada model hewan, ekstrak P.niruri dilaporkan memperkuat aktivitas dan fungsi dari komponen sistem imun, seperti menstimulasi sitotoksisitas sel Natural Killer, sekresi TNF-alfa oleh T helper 1, dan mengurangi sekresi IL-10 oleh T helper 2.[39]
Sejalan dengan hal itu, Nworu et al melaporkan bahwa ekstrak cair P.niruri bersifat mitogen limfosit poten pada murine, serta mampu menginduksi peningkatan bermakna dari ekspresi surface activation maker (CD69) dan proliferasi limfosit T maupun B. Pada kultur stimulated naïve splenocyte, ekstrak P.niruri mampu meningkatkan produksi interferon gamma maupun IL-4. Bahkan fagositosis, aktivitas enzim lisosom, dan TNF-alfa pada makrofag di sumsum tulang murine mengalami peningkatan, termasuk pelepasan nitrit oksida oleh makrofag.[40]
Bukti Ilmiah Phyllanthus niruri untuk Common Cold
Bukti ilmiah yang memeriksa efek ekstrak P.niruri terhadap common cold masih terbatas. Kusumaningrum et al melakukan uji acak terkontrol pada 100 anak dengan rentang usia 2-6 tahun dengan common cold. Hasil penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna derajat keparahan common cold antara grup terapi dengan grup kontrol.[41]
Kesimpulan
Studi in vitro, menunjukkan bahwa suplementasi zinc, vitamin D, vitamin C, dan fitofarmaka seperti Echinacea, elderberry, dan P.niruri mempunyai efek imunomodulator. Dalam hal tata laksana common cold, baru suplementasi zinc, vitamin D, vitamin C, Echinacea dan elderberry yang memiliki basis bukti ilmiah bermanfaat untuk mengurangi gejala, derajat keparahan, dan mempersingkat durasi common cold. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa bukti ilmiah ini sebagian didasarkan pada uji klinis dengan jumlah sampel yang kecil atau meta analisis dari uji klinis dengan sampel kecil. Studi klinis acak terkontrol dengan jumlah sampel lebih besar dan metodologi yang lebih baik masih diperlukan sebelum kesimpulan lebih pasti dapat ditarik.