Intervensi nonfarmakologi dianggap penting dalam pencegahan delirium. Delirium adalah kondisi neurofisiologi akut yang sering ditemukan dalam setting rawat inap. Gangguan ini mempunyai onset akut dan cepat, serta mempunyai perjalanan penyakit yang fluktuatif. Prevalensi delirium di rumah sakit mencapai 23%. Jika tidak mendapatkan manajemen yang tepat, delirium bisa meningkatkan risiko timbulnya komplikasi dan menimbulkan luaran yang buruk, seperti perpanjangan lama rawat inap, peningkatan dependensi, dan risiko timbulnya dementia pada lansia,[1,2]
Dampak lain dari delirium adalah peningkatan risiko jatuh, penurunan fungsional dan kognitif, risiko kematian, risiko rawat inap ulang, dan institusionalisasi.[3] Selain itu, delirium juga menimbulkan dampak ekonomi terhadap sistem kesehatan karena biaya perawatan pasien dengan delirium lebih besar dibandingkan pasien tanpa delirium.[1]
Peran Intervensi Nonfarmakologi Dalam Pencegahan Delirium
Pencegahan merupakan strategi yang paling efektif untuk mengurangi morbiditas, mortalitas, dan dampak ekonomi akibat delirium. Intervensi yang bisa mencegah timbulnya delirium bisa mencegah pula timbulnya luaran-luaran buruk ini.[1,4]
Dinyatakan bahwa kurang lebih 30-40% kejadian delirium bisa dicegah. Menggunakan obat-obatan untuk mencegah delirium tidak rasional dan tidak direkomendasikan karena polifarmasi justru meningkatkan risiko timbulnya delirium, terutama akibat interaksi obat. Sebaliknya, semakin banyak bukti yang mendukung penggunaan intervensi nonfarmakologi dalam pencegahan delirium.[3,5]
Prediksi Timbulnya Delirium pada Pasien Rawat Inap
Delirium sangat sering ditemukan pada setting rawat intensif dan post operatif. Untuk bisa merencanakan tindakan-tindakan pencegahan yang baik, maka klinisi harus mampu memprediksi kemungkinan terjadinya delirium pada pasien. Variabel-variabel yang perlu disertakan dalam penilaian untuk memprediksi delirium adalah hasil pemeriksaan neuropsikologi preoperatif (misalnya gejala depresi, fungsi kognitif, dan pemeriksaan neuroimaging), parameter intra dan post operatif, faktor klinis ,dan faktor demografi pasien.
Instrumen Untuk Memprediksi Risiko Delirium
Selain itu juga terdapat beberapa instrumen yang dirancang untuk memprediksi risiko delirium. Instrumen tersebut antara lain Pre-Deliric (Prediction Of Delirium In Intensive Care Patients) yang menyertakan sepuluh faktor klinis dan demografis pasien, serta Delphi (Delirium Prediction Based On Hospital Information).
Sembilan variabel yang digunakan dalam instrumen Pre-Deliric adalah umur, skor APACHE-II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II), penyebab admisi, koma, infeksi, asidosis metabolik, penggunaan sedatif dan morfin, konsentrasi ureum, dan urgensi admisi. Sementara itu, variabel yang digunakan dalam instrumen Delphi adalah umur, aktivitas fisik yang kurang, gangguan pendengaran, alkoholisme berat, riwayat delirium sebelumnya, admisi ke ICU, operasi emergensi, operasi terbuka, dan peningkatan CRP preoperatif.[4,6,7]
Efikasi Intervensi Nonfarmakologi Dalam Pencegahan Delirium
Intervensi untuk mencegah delirium dilakukan dengan memodifikasi faktor risiko delirium. Faktor risiko delirium secara umum dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi (misalnya komorbiditas dan umur) dan faktor risiko yang bisa dimodifikasi. Contoh faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah dehidrasi, gangguan sensoris, disorientasi, malnutrisi, imobilisasi, risiko jatuh, dan kateterisasi urine.[3]
Selain modifikasi faktor risiko, manajemen juga dilakukan dengan mengatasi faktor presipitasi (faktor yang bisa memicu timbulnya delirium). Hal ini mencakup faktor-faktor lingkungan, manajemen nyeri, dan kekurangan tidur. Intervensi nonfarmakologi yang menarget faktor risiko yang bisa dimodifikasi dan faktor presipitasi ini diharapkan menurunkan risiko terjadinya delirium.[1]
Efikasi Intervensi Nonfarmakologi
Tinjauan sistematik Cochrane (2021) mengevaluasi hasil dari 22 uji klinis acak terkontrol dengan total 5718 partisipan. Dari 22 uji klinis tersebut, 14 membandingkan intervensi pencegahan delirium multikomponen dengan perawatan biasa; 2 membandingkan ambang transfusi darah liberal dan restriktif; serta 6 masing-masing menyelidiki intervensi nonfarmakologi yang berbeda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa pendekatan multikomponen mengurangi risiko delirium sebesar 43% dibandingkan perawatan biasa. Hal ini berarti bahwa 2 dari 5 kasus delirium pada orang dewasa di bangsal rumah sakit non-ICU dapat dicegah dengan pendekatan multikomponen nonfarmakologi. Intervensi ini juga dilaporkan mengurangi lama rawat inap dan mengurangi durasi episode delirium sekitar 1 hari jika terjadi. Meski demikian, tidak ditemukan pengaruh terhadap mortalitas di rumah sakit.[1]
Jenis Pendekatan Nonfarmakologi Untuk Mencegah Delirium
Komponen yang penting dalam pencegahan delirium adalah:
- Menjaga orientasi pasien tetap baik dan menjaga lingkungan di sekitar pasien familiar
- Memberikan stimulasi untuk memori dan kemampuan berpikir
- Memperbaiki kualitas tidur melalui pendekatan sleep hygiene[1]
Secara umum, intervensi nonfamakologi untuk mencegah delirium bisa dibagi menjadi 2, yaitu intervensi komponen tunggal yang menyasar satu faktor risiko tertentu dan pendekatan multikomponen yang menyasar beberapa faktor risiko delirium. Karena penyebab delirium umumnya bersifat multifaktorial, maka pendekatan multikomponen yang menarget beberapa faktor risiko sekaligus merupakan pendekatan yang lebih disukai.[1,4]
Pendekatan Multikomponen Untuk Mencegah Delirium
Pendekatan multikomponen direkomendasikan untuk diberikan oleh tim multidisipliner dan disesuaikan dengan kebutuhan klinis dan perawatan. Pendekatan ini biasanya mengikuti protokol spesifik dan menarget faktor risiko seperti gangguan tidur, imobilitas, dehidrasi, dan gangguan sensoris.
Komponen-komponen yang bisa ditarget antara lain reorientasi, mengurangi deprivasi sensori (misalnya penggunaan alat bantu dengar atau kacamata), stimulasi kognitif, mobilisasi, sleep hygiene, nutrisi dan hidrasi. Komponen lain yang dapat ditarget adalah identifikasi infeksi, oksigenasi, manajemen nyeri, telaah obat-obatan, manajemen bladder dan bowel, serta penilaian mood.[1,3,4]
Gorski et al (2017) dalam penelitiannya menggunakan pendekatan multikomponen untuk mengatasi faktor disorientasi, distress psikologis, imobilitas, dehidrasi, malnutrisi, deprivasi sensoris, dan gangguan tidur. Pendekatan yang mereka gunakan dilaporkan bisa menurunkan inisiasi penggunaan antipsikotik selama perawatan dan menurunkan durasi rawat inap.[3]
Pendekatan Komponen Tunggal Untuk Mencegah Delirium
Pendekatan komponen tunggal yang biasa dilakukan antara lain adalah transfusi darah untuk mencegah anemia pasca tindakan. Hal ini dilakukan karena anemia merupakan salah satu faktor risiko delirium.[8]
Selain itu, intervensi berupa aktivitas fisik juga dapat dilakukan. Aktivitas fisik dilaporkan bisa menurunkan insidensi delirium dibandingkan dengan rehabilitasi fisik biasa.[9]
Intervensi lain seperti mendengarkan musik dan penggunaan transcutaneous electrical acupoint stimulation (TEAS) juga dapat diterapkan. Telah ada studi yang melaporkan efikasi kedua intervensi ini. Meski demikian, bukti ilmiah lebih lanjut masih diperlukan.[10,11]
Kesimpulan
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa intervensi nonfarmakologi efektif untuk mencegah delirium. Intervensi nonfarmakologi yang disarankan adalah pendekatan multikomponen yang menyasar lebih dari satu faktor risiko delirium, misalnya disorientasi, distres psikologis, dehidrasi, dan malnutrisi. Selain itu, agar tindakan pencegahan efektif, klinisi juga perlu memprediksi risiko delirium pada masing-masing pasien, misalnya dengan instrument Pre-Deliric atau Delphi.