Manajemen kolera pada anak perlu mempertimbangkan pola kerentanan, transmisi, dan risiko efek samping. Kolera merupakan salah satu penyebab diare dan dehidrasi berat pada anak yang dapat berujung pada kematian, terutama pada anak usia muda. Kasus kolera lebih sering dijumpai pada negara-negara berkembang dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan memiliki keterbatasan akses terhadap air bersih, seperti Indonesia.[1]
Walaupun sebagian besar orang yang terinfeksi Vibrio cholerae menunjukkan gejala ringan-sedang atau bahkan tanpa gejala, diare cair akut yang banyak dan berat dapat dijumpai pada pada 10-20% kasus. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini akan menyebabkan komplikasi, seperti syok hipovolemik dan asidosis metabolik, yang dapat berujung pada kematian. Tingkat keparahan kolera telah dilaporkan lebih berat pada anak usia 5 tahun ke bawah.[1,2]
Penatalaksanaan yang cepat dan tepat merupakan kunci keberhasilan manajemen kolera. Manajemen kolera pada anak meliputi terapi rehidrasi, pemberian antibiotik, dan zinc.[3]
Penentuan Tingkat Dehidrasi dan Prinsip Rehidrasi Cairan
Sebetulnya kolera merupakan penyakit yang mudah diobati. Kebanyakan kasus kolera dapat memiliki luaran yang baik melalui pemberian larutan rehidrasi oral (ORS) yang cepat. Sediaan ORS sachet standar WHO/UNICEF dapat dengan mudah dilarutkan dalam 1 liter air bersih dan dikonsumsi untuk pasien yang masih dapat menoleransi asupan per oral.
Pasien yang mengalami dehidrasi berat berisiko mengalami syok dan memerlukan pemberian cairan intravena. Pemberian rehidrasi perlu disertai dengan antibiotik yang tepat untuk mengurangi durasi diare, mengurangi volume cairan rehidrasi yang dibutuhkan, dan mempersingkat jumlah dan durasi ekskresi V. cholerae dalam tinja mereka.
Berikut ini merupakan klasifikasi tingkat dehidrasi berdasarkan kriteria WHO. Derajat dehidrasi dapat dinilai berdasarkan tingkat kesadaran pasien, rasa haus, turgor kulit, dan kondisi mata yang cekung.[3]
Tabel 1. Klasifikasi Dehidrasi WHO
Klasifikasi Dehidrasi WHO | Tanpa Dehidrasi (estimasi kehilangan cairan <5% berat badan) | Dehidrasi Sedang (estimasi kehilangan cairan 5-10% berat badan) 2 atau lebih kondisi di bawah ini : | Dehidrasi Berat (estimasi kehilangan cairan >10% berat badan) 2 atau lebih kondisi di bawah ini : |
Kondisi | Baik, sadar | Gelisah, iritabel | Letargi, tidak sadar |
Mata | Normal | Cekung | Cekung |
Rasa haus | Minum dengan normal, tidak kehausan | Kehausan, dapat minum dengan mudah | Sulit atau tidak dapat minum |
Turgor kulit | Normal, kembali dengan segera | Kembali dengan lambat (< 2 detik namun tidak segera) | Kembali dengan sangat lambat (>2 detik) |
Sumber: dr. Isna, Alomedika, 2022.[3]
Rehidrasi Cairan dalam Manajemen Kolera pada Anak
Terapi rehidrasi merupakan terapi utama pada anak dengan infeksi kolera dan menjadi kunci keberhasilan manajemen kolera pada anak. Terapi rehidrasi dapat mengurangi tingkat mortalitas akibat kolera sampai angka di bawah 0,5%. Terapi rehidrasi didasarkan pada tingkat dehidrasi pasien.[3,4]
Pasien Tanpa Dehidrasi:
Pasien tanpa dehidrasi mengikuti rencana rehidrasi A (Plan A). Rencana rehidrasi tersebut mencakup pemberian cairan tambahan:
- Pada anak usia di bawah 4 bulan yang diberikan ASI eksklusif, teruskan pemberian ASI
- Pada anak < 2 tahun, berikan oral rehydration solution (ORS) 50–100 ml setiap buang air besar
- Pada anak 2-9 tahun, berikan ORS 100–200 ml setiap buang air besar
- Pada anak > 9 tahun, berikan cairan ekstra sesuai dengan yang diinginkan anak
Berikan oralit sedikit tapi sering pada pasien yang muntah, atau berikan oralit melalui selang nasogastrik. Nilai kembali pasien setelah 1 jam terapi dan kemudian setiap 1-2 jam sampai pasien terehidrasi. Selama tahap awal terapi, saat masih mengalami dehidrasi, anak dapat mengonsumsi oralit sebanyak 20 ml/kg/jam.[4]
Pasien Dehidrasi Sedang:
Pasien dengan dehidrasi sedang diterapi mengikuti rencana rehidrasi B (Plan B). Rencana rehidrasi tersebut mencakup pemberian ORS sebagai berikut:
- Berikan ORS sebanyak 75 ml/kg pada 4 jam pertama.
- Lakukan pemantauan ketat dalam 4 jam.
- Setelah 4 jam, nilai kembali tingkat dehidrasi anak, kemudian terapi cairan dilanjutkan dan disesuaikan dengan tingkat dehidrasi terakhir.[4]
Pasien Dehidrasi Berat:
Pasien dengan dehidrasi berat diterapi mengikuti rencana rehidrasi C (Plan C). Pasien golongan ini memerlukan pemberian cairan isotonis secara intravena dengan Ringer laktat sebagai pilihan utama. Jangan berikan cairan glukosa atau dextrose.
Cara pemberian pada anak berusia di bawah 1 tahun:
- 0-60 menit: 30 ml/kg
- 60 menit hingga 6 jam: 70 ml/kg
- 6-24 jam: 100 ml/kg
Cara pemberian pada anak usia1 tahun ke atas:
- 0-30 menit: 30 ml/kg
- 30 menit hingga 3 jam: 70 ml/kg
Lakukan pemantauan ketat. Nilai kondisi pasien setiap 15-30 menit sembari melanjutkan hidrasi. Berikan larutan rehidrasi oral jika pasien sudah dapat menoleransi asupan oral untuk mengurangi kebutuhan cairan intravena dan mengurangi risiko flebitis atau komplikasi lainnya.[4]
Tanda Pasien Sudah Terehidrasi
Tanda pasien sudah memiliki hidrasi yang baik adalah rasa haus sudah menghilang, turgor kulit membaik, urine dalam rentang luaran normal, dan denyut nadi adekuat.[4]
Terapi Antibiotik pada Kolera Anak
Terapi antibiotik pada kolera bertujuan untuk menghentikan produksi toksin dari bakteri dan kematian sel. Pemberian antibiotik pada kolera terbukti bermanfaat mengurangi volume buang air besar dan menghentikan diare dalam 48 jam. Beberapa pilihan antibiotik yang digunakan dalam tata laksana kolera adalah tetrasiklin, erythromycin, ciprofloxacin, cotrimoxazole, doxycycline, dan azithromycin.[3]
Basis Bukti Perbandingan Antibiotik untuk Kolera pada Anak
Bukti ilmiah yang tersedia mendukung penggunaan azithromycin 20 mg/kg dosis tunggal sebagai antibiotik lini pertama kolera pada anak karena terbukti efektif, aman, dan efisien dibandingkan dengan agen antibiotik lainnya. Tidak terdapat perbedaan efikasi yang signifikan pada pemberian azithromycin dosis tunggal dan erythromycin 12,5 mg/kg 4 kali sehari selama 3 hari. Namun, pasien yang diberikan azithromycin menunjukkan durasi muntah dan diare yang lebih pendek dibandingkan pasien yang mendapatkan erythromycin.
Penggunaan antibiotik tetrasiklin dan cotrimoxazole secara empiris hanya direkomendasikan terbatas pada kondisi wabah di daerah dengan tingkat resistensi rendah, karena dalam beberapa tahun terakhir terdapat peningkatan resistensi terhadap agen antibiotik tersebut. Selain itu, tetrasiklin sering dieksklusikan pemberiannya pada anak berusia kurang dari 8 tahun karena dapat meningkatkan risiko terjadinya esofagitis, fotosensitivitas, dan displasia enamel.
Peningkatan resistensi juga terjadi pada pemberian ciprofloxacin. Selain peningkatan resistensi, durasi terapi ciprofloxacin membutuhkan waktu 3 hari dan harga yang lebih mahal membuat agen ini kurang sesuai untuk tata laksana kolera. Doxycycline tidak memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan tetrasiklin dan antibiotik alternatif lain termasuk ciprofloxacin.[3]
Pola Resistensi di Indonesia
Di Indonesia, uji suseptibilitas antibiotik golongan makrolida terhadap Vibrio cholerae belum banyak dilakukan, sehingga sulit untuk menemukan hasil penelitiannya. Namun rekomendasi terbaru mengenai pemberian antibiotik pada anak dengan infeksi kolera seperti yang telah dipaparkan di atas dapat diterapkan di Indonesia dengan pengawasan yang ketat untuk mencegah terjadinya resistensi.[3]
Dosis dan Potensi Efek Samping Antibiotik
Dosis antibiotik yang dapat digunakan untuk penanganan kolera pada anak adalah:
- Azithromycin: 20 mg/kg dosis tunggal
- Erythromycin: 12,5 mg/kg 4 kali sehari selama 3 hari
- Tetrasiklin: 12,5 mg/kg 4 kali sehari selama 3 hari. Hindari penggunaan pada anak di bawah 8 tahun, kecuali tidak ada alternatif terapi lain
- Doxycycline: 6 mg/kg dosis tunggal
- Ciprofloxacin: 15 mg/kg 2 kali sehari selama 3 hari. Hindari penggunaan pada anak di bawah 12 tahun, kecuali tidak ada alternatif terapi lain
Potensi efek samping yang perlu diperhatikan mencakup:
- Makrolida, seperti azithromycin dan erythromycin: dapat menyebabkan efek samping fatal seperti reaksi hipersensitivitas berat dan sindrom pemanjangan QT. Sering menyebabkan gejala gastrointestinal dan nyeri kepala
- Tetrasiklin, termasuk doxycycline: dapat menyebabkan efek samping fatal berupa anafilaksis. Dapat menyebabkan mual, diare, fotosensitivitas, dan iritasi esofageal
- Fluorokuinolon, seperti ciprofloxacin: dapat menyebabkan efek samping fatal seperti reaksi hipersensitivitas dan sindrom pemanjangan QT. Sering menyebabkan gejala gastrointestinal, nyeri kepala, dan hipotensi[3]
Terapi Zinc pada Kolera Anak
Pemberian zinc bermanfaat untuk anak dengan diare, terlepas dari penyebabnya. Zinc terbukti dapat memperpendek durasi dan mengurangi keparahan diare. Zinc direkomendasikan pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun dengan dosis 20 mg per hari selama 10-14 hari.[3,5,6]
Kesimpulan
Manajemen yang cepat dan tepat berupa rehidrasi, pemberian antibiotik, dan suplementasi zinc merupakan kunci utama keberhasilan tata laksana kolera pada anak. Pemberian terapi rehidrasi disesuaikan dengan tingkat dehidrasi anak. Pada anak tanpa dehidrasi atau dengan dehidrasi sedang, pasien dapat direhidrasi menggunakan cairan oral. Sementara itu, pasien rehidrasi berat memerlukan rehidrasi intravena.
Antibiotik lini pertama yang direkomendasikan adalah azithromycin. Pilihan antibiotik lain mencakup erythromycin, tetrasiklin, doxycycline, dan ciprofloxacin. Pemilihan antibiotik perlu menyesuaikan dengan pola kerentanan.
Suplementasi zinc diberikan pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun. Dosis zinc yang direkomendasikan adalah 20 mg, dengan durasi 10-14 hari.