Belum lama ini, Tobin et al mempresentasikan tiga kasus happy hypoxemia yang merupakan komplikasi dari coronavirus disease 2019 atau COVID-19. Pasien ditemukan memiliki oksigenasi darah yang sangat rendah, tetapi tidak ada gejala sesak napas atau dyspnea. Fenomena ini dikenal dengan happy hypoxia atau lebih tepatnya silent/ happy hypoxemia.[1]
Hal serupa dilaporkan melalui studi kohort pada pasien COVID-19 dengan gejala berat di Wuhan, di mana hanya 19% pasien yang mengeluh sesak napas. Sebanyak 62% dari pasien COVID-19 dengan gejala berat dan 46% dari pasien yang akhirnya menjalani intubasi, ventilasi mekanik, atau meninggal, tidak datang dengan keluhan sesak napas.[2]
Pada pasien COVID-19, derajat keparahan hipoksemia bersifat independen terhadap mortalitas rawat inap, tetapi tetap menjadi salah satu prediktor penting bahwa pasien berisiko membutuhkan perawatan intensif.[3,4,5]
Patofisiologi Silent Hypoxemia pada COVID-19
Penyebab silent hypoxemia pada COVID-19 masih belum diketahui secara menyeluruh. Saat ini, ada beberapa penjelasan mengenai patofisiologi keadaan tersebut, yakni intrapulmonary shunting, hilangnya regulasi perfusi paru-paru normal, mikrotrombus intravaskuler, gangguan kapasitas difusi paru, serta efek virus terhadap hypoxia-sensing neuron.[6,7]
Intrapulmonary Shunting
Hipoksemia arteri pada infeksi SARS-CoV-2 terutama disebabkan oleh ketidaksesuaian V/Q (ventilasi/perfusi) yang direfleksikan pada peningkatan gradien P(A-a)O2. Infeksi virus menimbulkan edema interstitial lokal pada struktur jaringan paru (ground glass opacities dan konsolidasi pada CT scan paru) sehingga terjadi kehilangan surfaktan dan peningkatan tekanan. Kemudian, alveolar akan kolaps tetapi tetap mendapat aliran darah dari cardiac output. Hal inilah yang mendasari terjadinya ketidaksesuaian V/Q.[5]
Seiring waktu, peningkatan edema akan menambah berat paru-paru serta mengakibatkan kolaps alveolar dan atelektasis dependen. Kombinasi tersebut akan semakin menambah shunt fraction dan menurunkan oksigenasi yang tidak dapat dikoreksi sepenuhnya dengan meningkatkan FiO2.[6]
Hilangnya Regulasi Perfusi Paru
Dengan menggunakan dual-energy CT, Lang et al menilai karakteristik perfusi paru-paru pada pasien COVID-19. Peneliti menemukan bahwa persistensi aliran darah yang besar ke non-ventilated/aerated alveolus paru pada pasien COVID-19 disebabkan oleh kegagalan relatif dari mekanisme hypoxic pulmonary vasoconstriction (konstriksi arteri-arteri kecil intrapulmoner sebagai respons terhadap hipoksia alveolar).[7,8]
Masih belum dipahami dengan lengkap apakah hal tersebut hanya dipicu oleh pelepasan vasodilator prostaglandin endogen, bradikinin, dan sitokin inflamasi.[6,9] Pada patofisiologi COVID-19, terjadi gangguan regulasi renin-angiotensin system (RAS) dengan penurunan kadar angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang berperan dalam regulasi vasokontriksi paru.[10-12]
Mikrotrombus Intravaskuler
Salah satu patogenesis utama COVID-19 adalah kerusakan endotel akibat infeksi cytopathic virus pada sel endotel kapiler yang mengekspresikan ACE2.[12,13] Mikrotrombus intravaskuler terjadi akibat ketidakseimbangan aktivitas prokoagulan dan fibrinolitik yang disebabkan oleh kerusakan endotel dan inflamasi akut.[14-16]
Aktivitas prokoagulan terjadi akibat aktivasi pembekuan darah yang dimediasi oleh sistem komplemen (serupa dengan jenis mikroangiopati trombotik) atau inhibisi aktivasi plasminogen dan fibrinolisis akibat peningkatan aktivitas plasminogen activator inhibitor (PAI-1 dan PAI-2) yang terinduksi sebagai protein fase akut di bawah pengaruh IL-6.
Selain itu, pada pasien COVID-19 berat, dapat terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC) yang dimediasi oleh pelepasan faktor jaringan oleh endotel dan aktivasi faktor pembekuan VII dan XI.[17,18]
Hasil otopsi paru pasien COVID-19 berat menunjukkan bahwa terdapat deposisi fibrin, kerusakan alveolar difus, penebalan dinding vaskuler. Selain itu, ditemukan juga adanya mikrotrombus yang kaya akan komplemen yang dapat mengoklusi kapiler paru serta trombus yang lebih besar yang dapat menimbulkan trombosis arteri paru dan emboli paru.[19,20]
Gangguan Kapasitas difusi
Infeksi SARS-CoV-2 di dalam sel alveolar tipe II akan diikuti oleh destruksi sel yang dimediasi oleh respons imun (virus-linked pyroptosis).[12] Kerusakan sel epitel alveolar dan kondisi prokoagulan akan menyebabkan membran basal tertutupi oleh debris yang terdiri dari fibrin, sel mati, dan produk aktivasi komplemen (dikenal dengan membran hialin)[12,21]
Hal tersebut akan menyebabkan diffusing capacity for carbon monoxide (DLCO). Dengan absennya vasokonstriksi hipoksik dan adanya sirkulasi paru hiperdinamis, maka tidak ada waktu yang cukup bagi sel-sel darah merah untuk mengekuilibrasi uptake oksigen, sehingga akan meningkatkan gradien P(A-a)O2 dan exercise-induced arterial hypoxemia (EIAH).[6]
Laporan oleh Xiaoneng Mo et al mengonfirmasi adanya penurunan DLCO pada pasien COVID-19 pada saat dipulangkan dari rumah sakit. Prevalensi gangguan DLCO berkaitan dengan derajat keparahan penyakit (30,4% pada sakit ringan, 42,4% pada pneumonia, dan 84,2% pada pneumonia berat). [22]
Efek Virus terhadap Hypoxia-Sensing Neuron
Ada hipotesis yang menyatakan bahwa kerusakan pada afferent hypoxia-sensing neuron pada pasien COVID-19 terjadi sebagai efek langsung SARS-CoV-2 pada mitokondria atau pada serat neuron. Namun, kerusakan pada hypoxia-sensing neuron dapat pula terjadi sebagai bagian dari badai sitokin yang dipicu oleh infeksi SARS-CoV-2.[7,23]
Patut diperhatikan juga bahwa sel reseptor yang bertanggung jawab pada infeksi SARS-CoV-2, yaitu ACE2, turut diekspresikan pada badan karotis yang merupakan salah satu chemoreceptor sense oxygen yang dapat mengalami kerusakan pada proses infeksi.[1,24]
Meski masih perlu dibuktikan lebih lanjut, dasar hipotesis tersebut secara fisiologis dapat berperan pada gangguan input aferen chemosensors terhadap area pusat respirasi di batang otak. [6,23]
Kesimpulan
Temuan silent hypoxemia pada COVID-19 menyarankan bahwa optimalisasi perfusi, perbaikan V/Q mismatch, termasuk penghindaran pembentukan mikrotrombus dan deposisi fibrin perlu menjadi bagian dalam strategi terapeutik COVID-19 saat ini.
Pemberian tromboprofilaksis pada pasien COVID-19 terutama dengan kadar D-dimer tinggi saat masuk rawat inap perlu dipertimbangkan. Penggunaan antibodi monoklonal, yaitu antibodi antireseptor IL-6R, seperti tocilizumab atau sarilumab; atau antibodi antireseptor IL-6, seperti siltuximab, berpotensi digunakan sebagai tata laksana pada komplikasi protrombotik sistemik, di samping untuk memperbaiki badai sitokin yang diakibatkan oleh SARS-CoV-2.
Suplemen oksigen masih menjadi langkah pertama dalam oksigenasi. Namun, pada pasien dengan kemungkinan gagal napas hipoksemia refrakter (peningkatan fraksi shunt), dibutuhkan waktu yang tepat (bukan prematur) untuk intubasi atau invasive ventilation support guna memperbaiki oksigenasi dan tekanan transpulmoner serta membuka alveoli yang kolaps.
Dengan adanya laporan bahwa kasus silent hypoxemia dapat berujung pada pemakaian ventilator bahkan kematian, maka patut dipertimbangkan perubahan strategi penanganan pasien COVID-19 asimtomatik, seperti pemeriksaan pulse oxymeter, analisa gas darah, dan pemeriksaan D-dimer saat penapisan awal serta selama pemantauan dalam masa isolasi.