The Impact of Community Masking on COVID-19: A Cluster-Randomized Trial in Bangladesh
Abaluck J, Kwong LH, Styczynski A, et al. The Impact of Community Masking on COVID-19: A Cluster-randomized Trial in Bangladesh. Science. 2021 Dec 2:eabi9069. https://www.poverty-action.org/publication/impact-community-masking-covid-19-cluster-randomized-trial-bangladesh
Abstrak
Latar belakang: bukti awal menunjukkan bahwa penggunaan masker berpotensi untuk menghambat penyebaran COVID-19. Oleh karena itu, suatu penelitian klaster acak dilakukan di 600 desa di Bangladesh terhadap 342.183 orang dewasa, dengan tujuan untuk mengidentifikasi strategi peningkatan pemakaian masker dan menilai kejadian infeksi SARS-CoV-2 simtomatik setelah intervensi.
Metodologi: penelitian dilakukan dengan desain klaster acak untuk mengukur dampak distribusi masker di komunitas terhadap COVID-19 simtomatik. Penelitian dilakukan dari bulan November 2020 hingga April 2021. Peserta diacak ke grup kontrol dan grup intervensi, termasuk pengacakan ke grup masker bedah atau masker kain.
Grup intervensi menerima masker gratis, edukasi tentang pentingnya masker, contoh oleh tokoh masyarakat, dan pesan pengingat selama 8 minggu. Evaluasi pemakaian masker dilakukan dengan observasi langsung tiap minggu di tempat umum. Saat follow-up minggu ke-5 dan ke-9, seluruh peserta disurvei. Peserta yang simtomatik kemudian menjalani pemeriksaan antibodi IgG SARS-CoV-2.
Luaran: luaran primer yang dinilai adalah seroprevalensi SARS-CoV-2 simtomatik. Lalu, luaran lain yang ikut dinilai adalah physical distancing, tingkat penggunaan masker, dan dampak berbagai jenis insentif untuk penggunaan masker.
Hasil: angka penggunaan masker yang tepat meningkat dari 13,3% pada grup kontrol menjadi 42,3% pada grup intervensi (adjusted percentage point difference = 0,29 [0,26; 0,31]). Intervensi berhasil mengurangi seroprevalensi simtomatik (adjusted prevalence ratio (aPR) = 0,91[0,82; 1,00]), khususnya pada orang dewasa yang berusia >60 tahun (aPR = 0,65[0,45; 0,85]).
Kesimpulan: distribusi dan penggunaan masker yang tepat bisa menjadi metode efektif untuk mengurangi infeksi SARS-CoV-2 simtomatik.
Ulasan Alomedika
Selama pandemi COVID-19, meskipun otoritas kesehatan masyarakat di tingkat global maupun di Indonesia telah mengimplementasikan penggunaan masker secara luas, studi ini baru merupakan studi kohort kedua yang dilakukan untuk mempelajari efek pemakaian masker terhadap transmisi COVID-19. Oleh karena itu, studi ini dianggap menarik untuk ditelaah lebih lanjut.
Studi ini juga mempelajari ada tidaknya hubungan antara pemakaian masker dengan kepatuhan physical distancing. Hal ini tentunya menarik karena pernah ada argumen bahwa orang yang menggunakan masker cenderung menjadi kurang waspada terhadap risiko transmisi COVID-19, sehingga tidak melakukan physical distancing dan justru meningkatkan transmisi COVID-19.[1]
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis lanjutan dari penelitian yang lebih besar. Dokumen induk penelitian menunjukkan rincian pengacakan klaster di tingkat desa berdasarkan data administratif. Unit pengacakan dibuat berpasangan berdasarkan kemiripan data prevalensi kasus COVID-19 di tiap desa hingga terdapat 600 pasang desa.
Setelah itu, pengacakan dilakukan di masing-masing unit untuk menentukan desa yang masuk kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Bentuk intervensi yang dilakukan adalah promosi dan distribusi masker wajah gratis (masker bedah dan masker kain dengan perbandingan 2:1). Selain itu, sejumlah insentif juga diberikan pada kedua grup penelitian untuk menilai bentuk insentif yang paling efektif meningkatkan pemakaian masker.
Analisis dilakukan terhadap data di dua tingkat, yaitu di tingkat komunitas dan individu. Di tingkat komunitas, estimasi dampak pengacakan silang di level desa dan rumah tangga dianalisis untuk mengetahui apakah hal tersebut memengaruhi perilaku pemakaian masker. Sementara itu, di level individu, penilaian terhadap penggunaan masker wajah dilakukan dengan pemantauan langsung. Estimasi dampak intervensi terhadap physical distancing juga dinilai.[1]
Ulasan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah pembagian masker gratis dan berbagai promosi edukatif, persentase penggunaan masker hanya meningkat 28,8% pada kelompok intervensi bila dibandingkan kelompok kontrol. Angka ini lalu turun setelah intervensi selesai. Intervensi dilaporkan berhasil menurunkan seroprevalensi simtomatik sebesar 9,5% dan menurunkan kemunculan gejala mirip COVID-19 hingga 11,6%.
Efek tersebut tampak lebih nyata pada klaster yang mendapatkan masker bedah, yang dibuktikan dengan penurunan relatif seroprevalensi simtomatik sebesar 11%. Masker bedah lebih berdampak terhadap penurunan seroprevalensi simtomatik, khususnya pada individu yang berisiko tinggi (reduksi relatif hingga 23% pada individu berusia 50–60 tahun dan hingga 35% pada individu berusia >60 tahun).
Hasil penelitian ini menyarankan penggunaan masker secara universal, terutama pada populasi berisiko. Namun, penelitian ini dilakukan di bulan November 2020 hingga April 2021. Kondisi saat itu tentunya berbeda dengan kondisi saat ini.
Saat itu, tingkat seroprevalensi SARS-CoV-2 di komunitas mungkin lebih rendah karena varian Delta yang memiliki tingkat transmisi tinggi belum marak dan pelaksanaan vaksinasi COVID-19 belum seluas saat ini. Dampak penggunaan masker secara luas mungkin tidak sama saat ini.
Analisis luaran sekunder juga menunjukkan beberapa informasi penting. Pada tingkat desa, intervensi berupa pengiriman pesan pengingat dan pemberian insentif bagi kepala desa ternyata tidak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan penggunaan masker di komunitas.
Pada level rumah tangga, peneliti juga tidak menemukan dampak signifikan dari pesan pengingat, pemberian sertifikat partisipasi, insentif finansial, penggunaan media edukasi publik, dan perbedaan jenis masker. Hasil ini bukan berarti bahwa semua intervensi tersebut pasti tidak bermanfaat jika diterapkan di populasi lain. Namun, hasil tersebut mengisyaratkan bahwa penggunaan masker bisa dilakukan tanpa hal-hal tersebut.[1]
Kelebihan Penelitian
Desain klaster acak memiliki setidaknya tiga kelebihan. Pertama, desain klaster acak dapat digunakan untuk penelitian yang menarget populasi besar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran efek penggunaan masker di level komunitas, sehingga penelitian yang berbasis populasi menjadi pendekatan yang tepat.
Kedua, teknik pengumpulan sampel secara bertahap di tingkat desa dan rumah tangga dapat mendukung analisis yang langsung berkaitan dengan intervensi tambahan. Intervensi tambahan berupa komunikasi perubahan perilaku dan pemberian insentif dapat menimbulkan bias di tingkat desa maupun rumah tangga, sehingga pengacakan pada kedua level tersebut juga diperlukan.
Ketiga, pengumpulan sampel dengan pengacakan klaster dapat menekan beban biaya penelitian, sehingga lebih banyak partisipan bisa direkrut dan hasil penelitian menjadi lebih kuat. Hal ini terutama dapat terwujud pada klaster perekrutan yang memiliki variasi antar populasi rendah.[1]
Limitasi Penelitian
Walaupun penelitian ini telah memiliki desain yang baik, beberapa keterbatasan masih perlu dipertimbangkan dalam menafsirkan hasil. Pertama, bentuk masker yang dipakai oleh grup intervensi masih tampak jelas berbeda, sehingga penyamaran (blinding) bagi staf yang mengumpulkan data di lapangan sulit dilakukan.
Kedua, masyarakat dengan mudah mengenali para staf pemantau meskipun staf telah mengenakan baju biasa saat observasi, sehingga masih ada kemungkinan perubahan perilaku. Ketiga, partisipan juga mungkin lebih sering melaporkan gejala COVID-19 di klaster dengan tingkat penggunaan masker yang tinggi, sehingga ada risiko bias.
Ketiga, ada kemungkinan perpindahan penduduk antar desa kontrol dan desa intervensi karena beberapa desa berjarak sekitar 2 km satu sama lain. Hal ini mungkin menyebabkan pengenalan intervensi di satu desa dapat menyebar ke desa lain yang masuk kategori kelompok kontrol.
Ada juga risiko bias karena rekrutmen dan consent tidak disamarkan (non-blinded). Ada 15.000 orang lebih banyak yang memberi consent untuk bergabung dengan grup masker, di mana orang yang melakukan consent juga mendistribusikan masker gratis.
Penelitian ini juga dilakukan saat seroprevalensi SARS-CoV-2 dan tingkat vaksinasi masih lebih rendah daripada saat ini, yakni di bulan November 2020 hingga April 2021. Oleh karena itu, hasil penelitian belum tentu aplikatif untuk saat ini.[1]
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Selama pandemi, meskipun berbagai otoritas kesehatan publik telah menerapkan penggunaan masker secara luas di tingkat global maupun di Indonesia, studi ini baru merupakan studi kohort kedua yang mempelajari efek pemakaian masker terhadap transmisi COVID-19. Studi ini menunjukkan ada penurunan COVID-19 simtomatik sebesar 11% dengan pemakaian masker, dengan manfaat lebih besar pada populasi usia >60 tahun (penurunan COVID-19 simtomatik sebesar 35%).[1]
Bangladesh memiliki densitas populasi tertinggi di dunia (1.240 orang/km2), sehingga intervensi yang dilakukan harusnya dapat berdampak terhadap transmisi COVID-19. Sebagai perbandingan, Indonesia memiliki densitas populasi sebesar 143 orang/km2. Oleh karena itu, hasil studi ini dapat diaplikasikan di Indonesia.[2]
Ada juga beberapa aspek menarik lain dari studi ini. Pertama, meskipun berbagai upaya promosi telah dilakukan (masker telah diberikan secara gratis, promosi edukatif telah dilakukan, dan peserta studi dapat mengenali pelaku studi yang memonitor kepatuhan mereka) ternyata peningkatan pemakaian masker hanya sebesar 28,8%. Peningkatan ini lalu merosot menjadi 10% setelah masker tidak lagi diberikan.
Kedua, perbandingan masker bedah dan masker kain di studi ini menunjukkan bahwa masker bedah lebih efektif mengurangi seroprevalensi COVID-19. Masker kain dapat sedikit mengurangi risiko tetapi perannya untuk mengurangi transmisi kurang jelas.
Ketiga, salah satu kekhawatiran yang dulu pernah disampaikan tentang pemakaian masker adalah dugaan bahwa pemakai masker akan merasa terlalu yakin dengan kemampuan masker mencegah transmisi, sehingga mereka mengabaikan physical distancing. Namun, studi ini ternyata menunjukkan bahwa peserta di desa yang memakai masker lebih patuh menjaga physical distancing daripada peserta di desa kontrol. Jadi, pemakaian masker sebenarnya sejalan dengan physical distancing.
Bukti dari studi ini cukup mendukung peran masker mengurangi transmisi COVID-19 (reduksi 9,5%). Namun, saat ini sudah ada banyak perbedaan kondisi dibandingkan saat studi ini dilakukan, seperti adanya varian Delta dan Omicron serta lebih tingginya seroprevalensi di komunitas akibat kesembuhan setelah vaksin atau setelah infeksi. Oleh karena itu, peran masker saat ini perlu dipelajari lebih lanjut.[1]
Studi terbaru juga melaporkan bahwa pada populasi anak-anak berusia 10-12 tahun, penggunaan masker tidak menurunkan insiden COVID-19.