Active observation versus interval appendicectomy after successful non-operative treatment of an appendix mass in children (CHINA study): an open-label, randomised controlled trial
Hall NJ, Eaton S, Stanton MP, et al. Active observation versus interval appendicectomy after successful non-operative treatment of an appendix mass in children (CHINA study): an open-label, randomised controlled trial. The Lancet Gastroenterology Hepatology 2017 Apr;2(4):253-260. doi: 10.1016/S2468-1253(16)30243-6.
Abstrak
Latar Belakang: Meskipun bukti pendukung masih kurang, kebanyakan ahli bedah merekomendasikan apendektomi interval rutin setelah berhasilnya pengobatan nonoperatif dari massa apendiks pada pasien anak. Peneliti bertujuan membandingkan apendektomi interval rutin dan observasi aktif.
Metode: Peneliti mengikutkan partisipan dalam studi CHildren’s INterval Appendicectomy (CHINA), yaitu sebuah uji acak terkontrol, multisenter, open label di 19 pusat spesialis bedah anak (17 diantaranya berada di Inggris, satu di Swedia, dan satu di Selandia Baru). Sebanyak 106 anak berusia 3–15 tahun dialokasikan dengan rasio 1:1 dengan penerapan minimal berat badan ke dalam grup apendektomi interval atau observasi aktif dengan penerapan minimal usia, pusat penelitian, jenis kelamin, dan adanya fecalith pada pencitraan.
Kriteria inklusi adalah anak-anak yang didiagnosis apendisitis akut dengan massa apendiks yang telah sukses diobati tanpa menjalani apendektomi atau intervensi bedah lainnya. Kriteria eksklusi adalah anak-anak yang disertai penyakit gastrointestinal lain atau mengalami kondisi medis atau gangguan imun yang terjadi bersamaan.
Oleh karena studi ini bersifat intervensi, penyamaran tidak mungkin dilakukan. Luaran primer studi adalah proporsi anak-anak yang terbukti secara histologis mengalami apendisitis akut rekuren atau mengalami apendiks rekuren yang terdiagnosis secara klinis dalam 1 tahun setelah berhasilnya terapi nonoperatif massa apendiks (grup observasi aktif) dan insidensi komplikasi berat yang berkaitan dengan interval apendektomi. Data dianalisis berdasarkan intention-to-treat. Studi ini terdaftar di ISRCTN, nomor 9381412.
Temuan: Antara 8 Agustus 2011 hingga 31 Desember 2014, peneliti mengalokasikan 106 partisipan secara acak, yaitu 52 pasien ke dalam grup apendektomi interval dan 54 pasien ke dalam grup observasi aktif. Dua anak dalam grup apendektomi interval dikeluarkan dari grup akibat alasan penolakan keikutsertaan. Dua anak dalam grup observasi aktif dikeluarkan dari grup karena tidak memenuhi syarat setelah pengalokasian.
Enam anak dalam grup observasi aktif terbukti secara histologi mengalami apendisitis akut rekuren. Tiga anak dalam grup apendektomi interval mengalami komplikasi berat. Dengan demikian, proporsi anak yang terbukti mengalami akut apendisitis rekuren secara histologis yang masuk dalam grup observasi aktif adalah 12% (98% CI 5-23) dan proporsi anak yang mengalami komplikasi berat yang berkaitan dengan apendektomi interval adalah 6% (95% CI 1-17).
Interpretasi: Lebih dari tiga perempat anak dapat menghindari operasi apendektomi selama follow up awal setelah berhasilnya perawatan nonoperatif massa apendiks. Meskipun risiko komplikasi setelah apendektomi interval rendah, komplikasi yang terjadi dapat bersifat berat.
Adopsi pendekatan wait-and-see (observasi aktif) dapat mencegah operasi apendektomi bagi pasien yang mengalami rekurensi atau gejala berulang, menghasilkan lebih singkatnya durasi rawat inap di rumah sakit, lebih sedikitnya jumlah hari tanpa aktivitas normal, dan lebih murahnya biaya medis dibandingkan apendektomi interval rutin.
Data berkualitas tinggi ini memungkinkan klinisi, orang tua, dan anak-anak untuk membuat keputusan berbasis bukti yang mendukung dilakukannya apendektomi interval.
Ulasan Alomedika
Jurnal ini membandingkan dua metode manajemen pasien anak yang sebelumnya telah berhasil dengan perawatan massa apendiks nonoperatif. Sekitar 9% anak dengan apendisitis akut memiliki manifestasi berupa massa yang dapat dipalpasi, terfiksir, dan walled-off di sekitar apendiks yang meradang, yang dikenal sebagai massa apendiks.
Pengobatan massa apendiks akut pada anak biasanya merupakan terapi nonoperatif dengan pemberian antibiotik spektrum luas intravena karena tingginya risiko komplikasi operasi apendektomi akibat adanya inflamasi pada massa. Dogma yang dianut selama ini adalah perlunya dilakukan operasi apendektomi (yang disebut dengan apendektomi interval) walaupun terapi konservatif telah berhasil, untuk mencegah rekurensi apendisitis akut.
Namun, pendekatan tersebut masih dipertanyakan di beberapa literatur. Penelitian ini dilaksanakan karena selama ini lebih dari dua pertiga ahli bedah secara rutin melakukan operasi apendektomi interval pada anak dengan massa apendiks yang sebelumnya telah berhasil diterapi secara nonoperatif, meskipun belum ada alasan yang teruji secara prospektif untuk tindakan apendektomi ini.
Selama ini, data yang ada masih berdasarkan tinjauan sistematis dari studi retrospektif, yang menunjukkan insidensi apendisitis rekuren adalah sekitar 20% dan kejadian komplikasi dari apendektomi interval adalah 3%. Tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan efektivitas manajemen observasi aktif dengan apendektomi interval melalui uji acak terkontrol prospektif.
Ulasan Metode Penelitian
Jurnal ini menggunakan uji acak terkontrol, prospektif, label terbuka, dan multisenter yang disebut dengan CHildren’s INterval Appendicectomy (CHINA) study. Penelitian dilakukan dengan randomisasi dan alokasi yang baik dengan perbandingan kedua grup yang hampir sama yaitu 1:1, sebanding untuk kategori usia, jenis kelamin, dan keberadaan fecalith. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan pengaruh bias data.
Detail penjelasan metode perlakuan pada kedua grup cukup baik. Pada grup apendektomi interval, pasien dijadwalkan untuk menjalani operasi apendektomi interval elektif (teknik laparotomi terbuka atau laparoskopi) di rentang waktu 2–3 bulan setelah dilakukan randomisasi. Follow-up dilakukan di klinik rawat jalan sekitar 6 minggu setelah apendektomi interval dan 1 tahun setelah randomisasi.
Pada grup observasi aktif, pasien tidak dijadwalkan untuk operasi apendektomi interval rutin tetapi ditinjau setiap 3 bulan di klinik rawat jalan selama 1 tahun setelah randomisasi dilakukan. Setiap pasien yang mengalami apendisitis rekuren atau memiliki gejala yang memerlukan pembedahan (berdasarkan pendapat dari dokter yang merawat) akan menjalani operasi apendektomi baik dengan pendekatan terbuka atau laparoskopi, atas kebijaksanaan ahli bedah.
Kekurangan dari desain studi ini adalah ketidakmampuan penerapan blinding partisipan atau observer saat pengalokasian partisipan ke dalam grup perlakuan. Namun, hal ini dapat dimengerti oleh karena bentuk intervensi yang dilakukan pada kedua grup adalah berbeda.
Ulasan Hasil Penelitian
Sebagai hasil dari sifat intervensi yang berbeda di setiap grup perlakuan, maka dapat mengerti bahwa luaran primer tiap grup perlakuan adalah berbeda. Luaran primer pada grup apendektomi interval adalah kejadian komplikasi berat selama atau setelah operasi apendektomi interval.
Komplikasi berat didefinisikan sebagai komplikasi yang membutuhkan terapi tambahan atau terapi yang tidak terduga, misalnya perforasi intestinal, perdarahan yang membutuhkan transfusi darah, infeksi luka yang membutuhkan antibiotik, terbentuknya abses apendiks, obstruksi usus halus pascaoperasi, dan ileus berkepanjangan (>72 jam pascaoperasi).
Sedangkan luaran primer grup observasi aktif adalah proporsi pengembangan menjadi apendisitis rekuren dalam 1 tahun setelah berhasilnya pengobatan nonoperatif untuk massa apendiks. Apendisitis akut rekuren didefinisikan sebagai apendisitis yang terbukti secara histologis mengalami peradangan akut yang direseksi atau didiagnosis secara klinis menurut pendapat dokter yang bertanggung jawab atas perawatan pasien.
Adanya peradangan akut didasarkan pada laporan ahli histopatologi di masing-masing institusi. Tampak bahwa luaran primer yang ditentukan sudah sesuai untuk mencerminkan efektivitas intervensi, yang terlihat dari angka keberhasilan dan komplikasi yang dapat terjadi.
Sebanyak 52 pasien dialokasikan ke dalam grup apendektomi interval dan selama follow up didapatkan 50 pasien yang layak untuk dilakukan analisis secara intention-to-treat. Sebanyak 54 pasien masuk ke dalam grup observasi aktif dan selama follow up didapatkan 52 pasien yang layak untuk dilakukan analisis secara intention-to-treat.
Enam anak (12% [95% CI 5-23]) dari 52 anak memenuhi definisi luaran primer di grup observasi aktif, yang mengalami apendisitis akut rekuren dengan peradangan akut yang terbukti secara histologi dan menjalani apendektomi. Dua pasien menjalani apendektomi laparoskopi, satu pasien menjalani laparoskopi yang dikonversi menjadi apendektomi terbuka, dan tiga pasien menjalani apendektomi terbuka.
Sedangkan pada grup apendektomi interval, didapatkan tiga anak (6% [95% CI 1–17]) dari 50 anak yang memenuhi definisi luaran primer. Satu pasien mengalami komplikasi herniasi pada situs port laparoskopi dengan disertai obstruksi usus halus yang membutuhkan laparotomi dan dua pasien mengalami infeksi luka yang membutuhkan antibiotik.
Sedangkan luaran sekunder yang dianalisis adalah lama rawat inap dan biaya yang dikeluarkan. Luaran sekunder ini cukup baik untuk membantu mendukung hasil luaran primer dalam telaah efektivitas masing-masing intervensi. Namun, terdapat kekurangan pada penelitian ini, yaitu biaya yang diukur hanya biaya yang dikeluarkan bila pasien menjalani rawat inap dan operasi, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk rawat jalan tidak dianalisis. Hal ini berdampak terutama pada pasien yang masuk dalam grup observasi aktif, dengan biaya tiap konsultasi dengan dokter selama rawat jalan dapat berbeda signifikan.
Berdasarkan hasil analisis univariat dan multivariat, total lama rawat inap dan biaya lebih rendah secara signifikan pada grup observasi aktif dibandingkan dengan grup apendektomi interval. Lama rawat inap grup apendektomi interval adalah 26–49 hari, dibandingkan grup observasi aktif 0–23 hari (p<0.0001). Biaya yang dikeluarkan grup interval apendektomi adalah sekitar 1.022–2.211 GBP (sekitar 20.000.000–40.000.000 juta rupiah), dibandingkan biaya pada grup observasi aktif yaitu 0–444 GBP (sekitar 0–9.000.000 rupiah).
Kelebihan Penelitian
Kelebihan dari penelitian ini adalah metode yang digunakan, yakni uji acak terkontrol yang bersifat prospektif sehingga dapat meminimalkan risiko bias. Penelitian ini juga membandingkan langsung dua teknik yang berbeda sehingga dapat terlihat jelas perbedaan jumlah komplikasi serta tingkat kegagalan dari kedua teknik tersebut.
Selain itu, kelebihan utama dari penelitian ini adalah studi ini merupakan uji prospektif pertama pada anak dengan massa apendiks yang telah berhasil dengan terapi nonoperatif dan merupakan satu-satunya penelitian yang melakukan randomisasi. Kelebihan lain adalah penelitian ini melibatkan berbagai senter (multisenter) sehingga memungkinkan hasil penelitian ini untuk digeneralisasi pada target populasi.
Kelebihan lain penelitian ini adalah terkait luaran yang digunakan. Luaran utama (primary outcome) yang digunakan pada penelitian ini merupakan luaran yang bermakna secara klinis karena meneliti apakah pasien yang diobservasi aktif akan mengalami risiko apendisitis akut berulang, dan apakah pasien yang menjalani operasi apendektomi interval memiliki risiko untuk terjadinya komplikasi berat.
Limitasi Penelitian
Limitasi dari penelitian ini adalah pasien dalam grup observasi aktif hanya di-follow up selama 1 tahun, di mana rentang waktu terjadinya risiko rekurensi apendisitis atau perlunya operasi apendektomi selanjutnya adalah seumur hidup. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih lama untuk follow up keluhan pasien, misalnya setelah 5 tahun. Selain itu, limitasi lain yang ada adalah tidak mampunya melakukan blinding pada desain penelitian, sehingga masih ada risiko bias yang dapat terjadi.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat untuk diterapkan di Indonesia. Fakta bahwa anak yang tidak menjalani apendektomi interval rutin memiliki risiko apendisitis akut rekuren yang terkonfirmasi secara histologis adalah 12% pada tahun pertama dan lebih dari 75% anak akan menghindari operasi apendektomi 1 tahun kemudian, menunjukkan bahwa observasi aktif dapat dipertimbangkan untuk menggantikan operasi apendektomi interval rutin yang telah lama diterapkan di lapangan.
Selain itu, fakta bahwa lama rawat inap dan biaya yang dikeluarkan dari observasi aktif lebih sedikit dibandingkan apendektomi interval rutin, dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukannya observasi aktif di Indonesia, mengingat keterbatasan sumber daya dan ekonomi yang ada terutama di perifer.
Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang sesuai, mengingat karakteristik sistem kesehatan di Indonesia yang berbeda dengan karakteristik di Eropa, tempat penelitian ini dilakukan. Akses fasilitas kesehatan di Indonesia masih belum tersedia secara merata, mengingat beberapa daerah terpencil masih memiliki fasilitas kesehatan dengan sarana dan prasarana yang terbatas. Hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam penerapan observasi aktif atau watchful waiting yang mungkin sulit dilakukan.