Faktor Risiko Komplikasi Pasca Terapi Fraktur Mandibula

Oleh :
drg. Muhammad Garry Syahrizal Hanafi

Beberapa penelitian menyebutkan faktor risiko komplikasi pasca fraktur mandibula, meliputi kebiasaan merokok, penyakit sistemik, jenis perawatan yang dipilih, jenis fraktur, serta keterlambatan memperoleh penanganan medis yang tepat.  Penatalaksanaan fraktur mandibula dapat non-operatif, closed reduction disertai dengan fiksasi maksila-mandibula, atau open reduction disertai dengan fiksasi internal.[1,2]

Fraktur mandibula atau patah tulang rahang terjadi sekitar 36−70% dari seluruh jenis fraktur fasial, di mana 60% dari seluruh kasus fraktur mandibula merupakan fraktur multipel. Kondisi yang menyertai fraktur ini umumnya adalah gigi geligi yang tidak selaras, perdarahan gingiva, dan kesulitan membuka rahang.[1]

Panoramic,Radiography,Of,Mandible,Showing,Repaired,Fractures,Of,The,Mandible

Pilihan Terapi Fraktur Mandibula

Terapi fraktur mandibula ini bervariasi, bergantung pada tipe dan jenis fraktur serta preferensi dari masing-masing dokter gigi spesialis bedah mulut. Penatalaksanaan non-operatif adalah diet makanan lunak.[1,2]

Closed reduction disertai dengan fiksasi maksila-mandibula  merupakan penatalaksanaan fraktur tanpa membuka membran mukosa dan kulit. Sementara itu, open reduction disertai dengan fiksasi internal merupakan terapi bedah dengan membuka membran mukosa dan kulit.[1,2]

Komplikasi Pasca Terapi Fraktur Mandibula

Angka kejadian komplikasi fraktur mandibula berkisar 20−35% dari total kasus fraktur mandibula. Contoh komplikasi adalah parestesia, maloklusi yang persisten, sakit saat mengunyah, dan penyembuhan luka yang buruk. Selain itu, terapi bedah dapat menyebabkan dehiscence, infeksi di sekitar area lokasi bedah, ekstrusi tulang, dan tulang yang tidak menyambung dengan baik.[1,3]

Parestesia

Parestesia, atau hilangnya sensasi motorik dan sensorik akibat cedera pada nervus mandibula, adalah komplikasi yang paling sering terjadi. Kondisi ini masih bisa pulih seiring dengan berjalannya waktu, tetapi tidak menutup kemungkinan akan bertahan selamanya.[1,3-5]

Maloklusi dan Penurunan Berat Badan

Maloklusi, hilangnya gigi, dan sakit saat mengunyah juga sering terjadi sebagai akibat lanjutan fraktur mandibula. Hal ini menyebabkan pasien kesulitan makan sehingga berujung pada turunnya berat badan secara signifikan.[1,3-5]

Perawatan maxillomandibular fixation (MMF) lebih meningkatkan kemungkinan berat badan menurun secara signifikan, karena ketidakmampuan pasien untuk mengunyah dan makan secara adekuat.[3-5]

Wound Dehiscence

Wound dehiscence adalah luka sayatan pasca bedah (open reduction), yang tadinya sudah menutup, kembali terbuka (ruptur). Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor, seperti usia, diabetes melitus, tingkat infeksi, obesitas, kebiasaan merokok, dan asupan nutrisi yang tidak adekuat.[6,7]

Infeksi dan Malunion

Pasca bedah juga berisiko mengalami infeksi pada area bedah, ekstrusi tulang, malunion (tulang tidak menyambung dengan baik), atau bahkan nonunion (tulang sama sekali tidak dapat tersambung).[1,3]

Sindrom Frey

Pada kasus yang sangat jarang terjadi, fraktur mandibula dapat mengakibatkan sindrom Frey, yaitu pasien berkeringat berlebihan saat makan. Hal ini disebabkan oleh kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis di area wajah dan leher, dekat glandula parotis.[1,3]

Faktor Risiko Komplikasi Pasca Terapi Fraktur Mandibula

Beberapa penelitian menyebutkan faktor risiko terjadinya komplikasi ini meliputi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik yang dapat meningkatkan risiko komplikasi pasca terapi fraktur mandibula di antaranya kebiasaan merokok dan penyakit/kondisi sistemik bawaan. Faktor-faktor ini telah terbukti dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi pasca terapi, seperti wound dehiscence, ekstrusi tulang, malunion, atau nonunion tulang mandibula.[1,10]

Faktor Kebiasaan Merokok:

Menurut beberapa penelitian, kemungkinan pasien patah tulang yang merokok memiliki risiko patah tulang kembali yang lebih tinggi daripada bukan perokok. Selain itu, rokok juga dapat memperlambat penyembuhan tulang. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa perokok yang mengalami fraktur memiliki waktu penyembuhan 62% lebih lama dibandingkan dengan bukan perokok.[8,11]

Pada kondisi normal, stem cell (sel punca) akan berubah menjadi sel pembentuk kartilago untuk menjadi jembatan di antara tepi patahan tulang. Kemudian, osteoblast akan merangsang pembentukan tulang dari mineral-mineral, sehingga tulang-tulang baru akan mengisi bagian yang patah tersebut. Namun, nikotin dari rokok akan mengganggu proses ini.[8,11]

Selain itu, rokok juga dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi selama proses penyembuhan. Hal ini karena perokok memiliki laju alir darah yang tidak optimal sehingga proses penyembuhan menjadi tidak adekuat. Komplikasi yang dapat terjadi adalah rasa nyeri yang menetap dan penyembuhan tulang yang tidak sempurna.[8,11]

Faktor Penyakit Sistemik:

Penyakit sistemik yang diduga berkaitan dengan peningkatan risiko komplikasi pasca terapi fraktur mandibula adalah diabetes mellitus dan penyakit-penyakit imunosupresi.[1,12]

Pada kondisi normal, hasil dari proses penyembuhan patah tulang adalah tulang yang kuat, kokoh, dan dapat dibebani sesuai dengan kemampuan aslinya. Namun, lingkungan jaringan tubuh yang hiperglikemia akan menyebabkan jaringan tulang mengalami perubahan kualitas, komposisi, serta sifat-sifat biomekanik. Hal ini dapat menyebabkan gangguan penyembuhan patah tulang, bahkan terjadi non-union.[1,12]

Faktor Ekstrinsik

Sementara itu, faktor ekstrinsik meliputi jenis perawatan yang dipilih, jenis fraktur (lokasi, jumlah fraktur, kominusi), serta keterlambatan memperoleh penanganan medis yang tepat. Faktor ekstrinsik ini masih diperdebatkan keterlibatannya dalam komplikasi pasca terapi fraktur mandibula.[1,8]

Berdasarkan studi, faktor pemberian jenis antibiotik ternyata tidak berhubungan secara signifikan dengan peningkatan komplikasi pasca penanganan fraktur mandibula. Demikian juga dengan beberapa faktor risiko lain, seperti konsumsi alkohol, status sosial, dan jenis asuransi yang digunakan.[6,9]

Faktor Jenis Perawatan:

Normalnya, penyembuhan membutuhkan waktu 4−6 minggu pada fraktur mandibula yang dilakukan fiksasi intraoral, baik dengan teknik maxillomandibular fixation (MMF) atau rigid internal fixation (RIF). Namun, pasien dengan MMF biasanya akan mengalami penurunan berat badan yang lebih signifikan karena kesulitan makan akibat fiksasi maksila-mandibula, sedangkan pasien dengan RIF memiliki risiko infeksi yang lebih parah.[7-9]

Faktor Jenis Fraktur:

Penelitian juga menemukan bahwa jenis fraktur tertentu dapat meningkatkan risiko suatu komplikasi, contohnya:

  • Fraktur mandibula parah yang melibatkan kanalis mandibularis akan meningkatkan risiko terjadinya parestesia
  • Fraktur mandibula yang terjadi di banyak tempat dan luka yang terinfeksi akan meningkatkan komplikasi dehiscence, ekstrusi tulang, malunion, dan nonunion
  • Fraktur yang melibatkan kondilus akan meningkatkan kemungkinan terjadinya maloklusi, serta fraktur kondilus pada anak berisiko mengalami ankilosis disertai gangguan pertumbuhan dan perkembangan tulang rahang
  • Fraktur intrakapsuler akan meningkatkan kemungkinan terjadinya osteoartritis dan ankilosis di masa depan[2,5,7,9]

Faktor Keterlambatan Perawatan:

Keterlambatan pasien fraktur mandibula mendapatkan perawatan akan meningkatkan kemungkinan komplikasi. Hal ini karena mobilisasi tulang rahang, terutama saat melakukan transportasi ke tempat fasilitas kesehatan yang memiliki sarana-prasarana lebih lengkap. Mobilisasi tulang rahang berisiko menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan saraf.[3,4]

Faktor Ekstraksi Gigi:

Ekstraksi gigi mungkin diperlukan pada pasien dengan karies profunda, terhalangi reduksi fraktur mandibula, dan fraktur akar akibat trauma yang diterima. Jika gigi yang diekstraksi berada pada garis fraktur, maka akan meningkatkan risiko komplikasi infeksi dan kerentanan terhadap rekurensi fraktur.[1,10]

Kesimpulan

Terapi fraktur mandibula dapat secara non-operatif, closed reduction disertai dengan fiksasi maksila-mandibula, atau open reduction disertai dengan fiksasi internal. Berbagai pilihan terapi tersebut memiliki risiko komplikasi, yaitu parestesi, penurunan berat badan, dehiscence, infeksi di sekitar area lokasi bedah, ekstrusi tulang, malunion, osteoartritis, ankilosis, dan sindrom Frey yang sangat jarang terjadi.

Faktor-faktor risiko terjadinya komplikasi pasca terapi fraktur mandibula dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Berbagai penelitian telah menunjukkan kebiasaan merokok, kepatuhan terhadap terapi dan kondisi penyakit sistemik bawaan sebagai faktor intrinsik. Sementara, faktor ekstrinsik meliputi jenis fraktur (lokasi, jumlah fraktur, dan kominusi), terlambatnya memperoleh penanganan medis yang tepat, serta ekstraksi gigi saat atau pasca terapi fraktur mandibula.

Sebaliknya, penelitian mendapatkan bahwa faktor risiko yang diduga berkaitan dengan peningkatan risiko komplikasi, seperti jenis antibiotik yang diberikan, konsumsi alkohol, status sosial, dan jenis asuransi yang digunakan, tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan tingkat komplikasi pasca terapi fraktur mandibula.

Referensi