Guillain-Barré syndrome atau GBS merupakan salah satu efek samping vaksinasi yang menjadi perhatian sejak dulu, termasuk pada vaksinasi COVID-19. Peningkatan risiko GBS dilaporkan terjadi pada resipien vaksin influenza. GBS juga telah dilaporkan memiliki hubungan temporal dengan vaksinasi hepatitis A dan B, rabies, serta polio. Saat ini, beberapa jurnal juga telah melaporkan kejadian GBS pasca vaksinasi COVID-19.[1,3]
Vaksinasi dapat menimbulkan efek samping yang bervariasi, mulai dari efek samping yang umum sampai dengan yang jarang terjadi. Efek samping neurologis dapat menjadi salah satu efek samping vaksinasi yang berat sekaligus yang paling dikhawatirkan.[1,2]
Mekanisme Terjadinya Guillain-Barré Syndrome Pasca Vaksinasi COVID-19
Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah sebuah kelainan neurologis berupa polineuropati inflamasi demielinisasi akut yang dapat terjadi setelah infeksi virus atau bakteri. GBS juga telah dilaporkan sebagai salah satu manifestasi neurologis COVID-19.[4,5]
Sistem imun akan memproduksi antibodi sebagai respons terhadap infeksi. Pada GBS, antibodi tersebut akan mengalami reaksi silang dengan gangliosida pada permukaan neuron. Gangliosida memiliki struktur karbohidrat yang menyerupai komponen antigen spesifik dari bakteri atau virus, sehingga inflamasi, demielinasi, dan gangguan fungsi saraf akan terjadi akibat antibodi yang menyerang gangliosida.[4,5]
Pemberian vaksin COVID-19 berbasis vektor adenovirus dan mRNA mengandung materi genetik yang merangsang sel tubuh manusia untuk memproduksi protein spike virus SARS-CoV-2. Sistem imun kemudian meresponsnya dengan membentuk antibodi terhadap protein spike virus SARS-CoV-2. Terdapat bukti ilmiah yang menyatakan bahwa protein spike dari virus SARS-CoV-2 dapat berikatan dengan glikoprotein yang mengandung asam sialat serta gangliosida pada permukaan neuron. Reaksi silang antibodi atau mimikri molekuler yang terjadi antara protein spike dan glikolipid pada sel saraf perifer menjadi dasar teori mekanisme GBS pasca vaksinasi COVID-19.[3,5,6]
Teori lain menyebutkan bahwa kontaminasi protein atau komponen lain yang terkandung dalam produk vaksin dapat menginduksi produksi antibodi anti gangliosida, seperti mekanisme GBS yang terjadi setelah vaksinasi influenza.[1]
Jenis-Jenis Vaksin COVID-19 dan Pengaruhnya Terhadap Risiko Guillain-Barré Syndrome
Sebuah tinjauan sistematis melakukan pencarian literatur dari seluruh dunia dan menemukan terdapat 39 laporan kasus Guillain-Barré syndrome pasca vaksinasi COVID-19. Pada tinjauan tersebut didapatkan bahwa mayoritas kasus GBS ditemukan pada pasien yang mendapat ChAdOx1-S atau vaksin COVID-19 AstraZeneca, dengan total 25 kasus. Sebanyak 12 kasus dilaporkan terjadi akibat BNT162b2 atau vaksin COVID-19 Pfizer, sedangkan Ad26.COV2.S atau vaksin COVID-19 Johnson & Johnson dan Sinovac masing-masing menyumbang sebanyak 1 kasus.[7]
Beberapa laporan kasus menyatakan bahwa GBS memiliki asosiasi temporal (kondisi yang terjadi setelah adanya paparan) yang erat dengan vaksinasi COVID-19, terutama vaksin dengan kandungan mRNA dan vektor adenovirus. Asosiasi temporal adalah keterikatan yang Hal ini mungkin berhubungan dengan mekanisme aksi dari kedua jenis vaksin tersebut yang memproduksi protein spike sehingga berpotensi menimbulkan reaksi silang antibodi dengan gangliosida pada saraf perifer. [5]
Namun, belum ada studi yang menguji hubungan dari masing-masing jenis vaksin dengan kejadian GBS. Bentuk vaksin inaktif juga masih berpotensi berhubungan dengan efek samping GBS, sama halnya dengan vaksin-vaksin inaktif terdahulu, seperti vaksin influenza, hepatitis, polio, dan rabies.[3]
Manifestasi dan Penatalaksanaan Guillain-Barré Syndrome Pasca Vaksinasi COVID-19
Defisit sensorimotor dengan pola asenden dari distal ke proksimal merupakan manifestasi klinis klasik pada Guillain-Barré syndrome. Namun, mayoritas pasien yang mengalami GBS pasca vaksinasi COVID-19 justru tidak menunjukkan gejala klasik GBS, melainkan paresis otot wajah bilateral. Beberapa kasus berlanjut menjadi quadriplegia dan berujung pada kelumpuhan otot pernapasan yang membutuhkan ventilasi mekanik. Defisit neurologis umumnya pertama kali muncul dalam jangka waktu 2 minggu setelah pemberian vaksin.[1,9]
Guillain-Barré syndrome yang pasca vaksinasi COVID-19 umumnya merespons terapi dengan baik, meski tidak terdapat perbedaan penatalaksanaan antara kasus GBS pascavaksinasi dengan kasus GBS biasa. Berdasarkan beberapa laporan kasus, pasien mengalami luaran yang baik setelah mendapat terapi berupa immunoglobulin intravena, fisioterapi, dan rehabilitasi medis.[1,3,5]
Setiap kasus GBS yang dicurigai berhubungan dengan vaksinasi perlu dilaporkan kepada badan pengawas obat atau vaksin setempat untuk melengkapi data ilmiah serta agar pasien mendapat intervensi segera, setiap pasien dengan gejala neurologis pasca vaksinasi COVID-19 harus dipantau secara ketat.[2,6]
Kesimpulan
Lebih dari 7 juta dosis vaksin COVID-19 telah diberikan di seluruh dunia, dan telah dilaporkan 39 kasus Guillain-Barré syndrome pascavaksinasi hingga saat ini.[9] Meskipun GBS merupakan salah satu efek samping vaksinasi COVID-19, sampai saat ini peneliti masih menyatakan bahwa manfaat vaksinasi COVID-19 masih lebih besar daripada risiko efek samping yang ditimbulkan.
Setiap defisit neurologis dengan awitan yang memiliki hubungan temporal dengan vaksinasi perlu diwaspadai sebagai efek samping vaksinasi. Riwayat vaksinasi juga perlu ditanyakan pada setiap pasien dengan gejala neurologis. Guillain-Barré syndrome perlu diwaspadai pada pasien pascavaksinasi dengan presentasi klinis berupa paresis otot wajah bilateral.
Sampai saat ini, hubungan antara Guillain-Barré syndrome dan vaksinasi COVID-19 baru sebatas asosiasi temporal. Hubungan kausalitas belum bisa dipastikan, masih diperlukan studi epidemiologi dengan skala yang lebih besar atau uji klinis lanjutan untuk memastikan hal tersebut. Hubungan antara jenis vaksin dan kejadian Guillain-Barré syndrome juga masih perlu diteliti lebih lanjut.