Pasien dewasa dengan bakteriuria asimtomatik umumnya tidak membutuhkan terapi antibiotik. Sejumlah studi menunjukkan bahwa, pada kebanyakan situasi klinis, bakteriuria asimtomatik memiliki risiko yang rendah untuk berkembang menjadi infeksi yang berat.
Walaupun pedoman dari Infectious Diseases Society America (IDSA) telah merekomendasikan skrining dan tata laksana bakteriuria asimtomatik dilakukan hanya pada beberapa kondisi khusus, seperti kehamilan atau sebelum prosedur invasif di bidang urologi, nyatanya penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada bakteriuria asimtomatik masih sering dijumpai pada praktik klinis.[1,2]
Kurangnya pengetahuan dan misinterpretasi dari dokter menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap pemberian antibiotik yang tidak perlu. Beberapa studi juga tidak menunjukkan adanya manfaat dari pemberian antibiotik ini. Pemberian terapi antibiotik yang tidak rasional pada bakteriuria asimtomatik justru meningkatkan risiko resistensi antibiotik, serta menimbulkan efek samping seperti infeksi saluran kemih (ISK) simtomatik, infeksi Clostridium difficile, dan efek samping berat.[3,4]
Definisi Bakteriuria Asimtomatik
Bakteriuria asimtomatik merupakan temuan bakteri pada urin dengan atau tanpa piuria tanpa disertai tanda atau gejala infeksi saluran kemih (ISK) seperti disuria, peningkatan frekuensi berkemih, nyeri suprapubik, dan demam. Bakteriuria asimtomatik merupakan temuan klinis yang cukup umum. Insidensinya adalah sekitar 5% pada wanita sehat pramenopause dan meningkat sampai 40 hingga 50% seiring pertambahan usia. Diagnosis bakteriuria asimtomatik menurut Infectious Diseases Society America (IDSA) ditegakkan jika:
- Pada pria terdapat satu spesies bakteri yang diisolasi dari spesimen urine tunggal, clean-catch voided dengan hitung kuantitatif ≥ 105 colony forming unit (CFU)/mL.
- Pada wanita diagnosis ditegakkan dari dua spesimen urine dengan isolasi strain bakteri yang sama dengan hitung kuantitatif ≥ 105 CFU/mL.[1,5]
Bukti Ilmiah Terkait Pemberian Antibiotik pada Bakteriuria Asimtomatik
Infectious Diseases Society America (IDSA) telah menyatakan bahwa penggunaan antibiotik pada bakteriuria asimtomatik hanya untuk pertimbangan khusus saja, seperti pada wanita hamil atau pada pasien yang akan menjalani prosedur invasif di bidang urologi. Namun, dalam praktik klinis, masih sering dijumpai pemberian terapi antibiotik yang tidak perlu pada bakteriuria asimtomatik.[1,4,6]
Mengapa Dokter Memberi Antibiotik pada Bakteriuria Asimtomatik
Studi retrospektif pada 219 kasus bakteriuria asimtomatik dari 1167 kultur urin positif menunjukkan bahwa 32% kasus bakteriuria asimtomatik mendapat terapi antibiotik yang tidak perlu. Analisis multivariat menunjukkan bahwa jenis kelamin wanita, usia lanjut, piuria, hematuria, dan nitrit positif pada hasil urinalisis menjadi variabel yang berkaitan dengan pemberian antibiotik yang tidak perlu pada bakteriuria asimtomatik. Menurut studi ini, piuria menjadi salah satu faktor penting yang berkaitan dengan pemberian antibiotik yang tidak perlu pada bakteriuria asimtomatik. Studi ini mengasumsikan bahwa 29,5% dokter residen memberikan terapi antibiotik karena tidak dapat mengabaikan temuan piuria meskipun pasien tidak memiliki gejala infeksi saluran kemih (ISK).[7]
Sebuah studi lain oleh Petty et al menilai keterkaitan antara karakteristik pasien bakteriuria asimtomatik dengan pemberian terapi antibiotik. Studi ini melibatkan 7252 pasien dengan hasil urinalisis yang positif, dimana yang memenuhi kriteria inklusi untuk bakteriuria asimtomatik adalah sebanyak 2733 pasien.
Dari jumlah ini, 2259 pasien (82,7%) diberikan terapi antibiotik selama 7 hari. Studi ini juga menemukan bahwa terapi antibiotik yang tidak perlu pada pasien bakteriuria asimtomatik lebih umum ditemukan pada hasil laboratorium tertentu, seperti hasil urinalisis yang positif, bakteriuria E. coli, bakteriuria dengan colony counts yang tinggi (>100 000 colony-forming units per high-power field), dan hitung leukosit >10.000 sel/μL. Hasil studi ini menunjukkan bahwa dokter sering melakukan misinterpretasi terhadap hasil urinalisis. Perlu dicatat bahwa hasil urinalisis abnormal memiliki positive predictive value yang rendah.[8]
Studi Mengenai Pemberian Antibiotik pada Bakteriuria Asimtomatik
Sebuah studi prospektif acak nonblinded lainnya dilakukan pada 673 wanita Italia muda yang aktif secara seksual yang datang ke klinik penyakit menular seksual. Pasien diacak dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang menerima antibiotik standar (361 orang) dan yang tidak mendapat terapi (312 orang). Tidak dijumpai perbedaan pada onset ISK simtomatik pertama pasca terapi, yaitu 6,3 bulan pada kelompok yang tidak diterapi dan 5,8 bulan pada kelompok yang diterapi. Selain itu, juga tidak ditemukan perbedaan bermakna terkait frekuensi terjadinya ISK dalam 3 bulan (3,5% pada kelompok yang tidak diterapi dan 8,8% pada kelompok yang diterapi). Frekuensi terjadinya ISK rekuren dalam 6 bulan dilaporkan sebesar 7,6% pada kelompok yang tidak diterapi dan 29,7% pada kelompok yang diterapi (RR 1,31) dan frekuensi terjadinya ISK rekuren dalam 12 bulan adalah 13,1% pada kelompok yang tidak diterapi dan 46,8% pada kelompok yang diterapi (RR 3,17). Hasil studi ini menunjukkan bahwa terapi antibiotik tidak memberikan dampak signifikan dalam pencegahan ISK simtomatik.[9]
Dalam sebuah tinjauan sistematik dan meta analisis, Koves B et al mengkaji manfaat dan efek samping dari pemberian antibiotik pada pasien dengan bakteriuria asimtomatik. Para peneliti tersebut menemukan 50 studi yang melibatkan 7088 pasien. Tinjauan ini menemukan bahwa tidak ada bukti manfaat dari pemberian antibiotik untuk pasien bakteriuria asimtomatik tanpa faktor risiko seperti pasien dengan diabetes mellitus, wanita pascamenopause, pasien lansia, pasien dengan transplantasi ginjal, atau pasien yang akan menjalani joint replacement. Pengobatan justru dapat berbahaya bagi pasien dengan ISK berulang.[10]
Rekomendasi IDSA terkait Pemberian Antibiotik pada Bakteriuria Asimtomatik
Pada tahun 2019, Infectious Diseases Society America (IDSA) mengeluarkan rekomendasi terkait hal ini. Rangkuman isi rekomendasi tersebut akan dijabarkan di bawah ini.
Pasien Anak tanpa Komorbiditas Khusus
Skrining dan terapi bakteriuria asimtomatik tidak direkomendasikan pada pasien bayi maupun anak yang secara umum sehat dan tidak memiliki risiko perubahan menjadi bakteriuria simtomatik atau infeksi berat, seperti pada pasien dengan kelainan anatomis saluran kemih.
Pada pasien anak, risiko kontaminasi sampel urin sangat tinggi. Hal ini menyebabkan kemungkinan false positive yang tinggi juga. Selain itu, bakteriuria asimtomatik jarang menimbulkan komplikasi berat pada populasi ini.
Pasien Dewasa tanpa Komorbiditas Khusus
Skrining dan terapi bakteriuria asimtomatik tidak direkomendasikan pada pasien dewasa sehat tanpa komorbiditas dengan risiko perubahan menjadi bakteriuria simtomatik atau komplikasi berat yang rendah.
Prevalensi bakteriuria asimtomatik pada wanita dewasa sehat premenopause berkisar 1-5%, dan pada wanita post menopause berkisar antara 2,8-8,6%. Walaupun ISK simtomatik lebih sering terjadi pada wanita dengan bakteriuria asimtomatik, studi menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna terkait munculnya hipertensi, penyakit ginjal kronis, kadar kreatinin serum, ataupun mortalitas.
Wanita Hamil
Bakteriuria asimtomatik sering terjadi pada kehamilan dan berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi saluran kemih (ISK) simtomatik dan pyelonephritis. Pemberian antibiotik disesuaikan dengan pola kuman atau kultur urin.
Pasien Dengan Faktor Risiko Yang Teridentifikasi
Pasien dengan faktor risiko yang teridentifikasi, termasuk wanita pasca menopause, diabetes mellitus, lanjut usia, disfungsi atau pasca rekonstruksi saluran kemih bagian bawah, pasien dengan kateter saluran kemih, pasien transplantasi ginjal, dan immunocompromise, tidak dianjurkan untuk menjalani skrining dan terapi pada bakteriuria asimtomatik. Hal ini karena belum ada cukup bukti ilmiah yang dapat menjelaskan manfaat pemberian antibiotik pada populasi ini.
Pasien Dengan Penggantian Nefrostomi dan Stent
Pada pasien dengan penggantian nefrostomi dan stent, direkomendasikan pemberian antibiotik karena adanya risiko komplikasi infeksi akibat kontaminasi tindakan.
Sebelum Operasi
Terapi antibiotik untuk bakteriuria asimtomatik hanya direkomendasikan pada prosedur di bidang urologi, termasuk transurethral resection surgery. Kultur urin perlu dilakukan sebelum tindakan, dan bila diagnosis bakteriuria asimtomatik sudah ditegakkan, terapi preoperatif perlu diberikan. Rekomendasi untuk antibiotik profilaksis disesuaikan dengan pola kuman.[1]
Efek Samping dari Penggunaan Antibiotik pada Bakteriuria Asimtomatik
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada bakteriuria asimtomatik memiliki beberapa konsekuensi negatif antara lain peningkatan risiko terjadinya infeksi saluran kemih (ISK), infeksi Clostridium difficile, kejadian efek samping obat, serta peningkatan cost layanan kesehatan. Selain itu penggunaan antibiotik yang tidak rasional juga berkontribusi besar dalam proses mempercepat terjadinya resistensi bakteri. Antibiotik yang diresepkan secara tidak rasional memberikan kesempatan pada bakteri untuk menjadi resisten dengan cara mengubah ekspresi genetik, transfer horizontal, dan mutagenesis dengan meningkatkan virulensinya.[1,11,12]
Kesimpulan
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada pasien dengan bakteriuria asimtomatik memiliki sejumlah konsekuensi negatif, di antaranya meningkatkan risiko efek samping obat, meningkatkan risiko infeksi saluran kemih (ISK), serta meningkatkan risiko terjadinya resistensi obat. Bukti ilmiah yang ada menunjukkan bahwa pemberian antibiotik pada pasien bakteriuria asimtomatik tidak bermanfaat secara signifikan. Oleh karena itu, pemberian antibiotik pada kasus bakteriuria asimtomatik sebaiknya dilakukan secara selektif, misalnya pada pasien yang akan menjalani operasi urologi, wanita hamil, dan transplantasi ginjal.