Hiperurisemia Asimptomatik: Apakah Perlu Diterapi?

Oleh :
dr.Bedry Qintha

Hiperurisemia asimptomatik adalah peningkatan kadar asam urat yang tidak disertai gejala atau tanda penyakit akibat deposisi kristal monosodium urat, seperti gout dan batu ginjal. Secara fisiokimia, hiperurisemia didefinisikan sebagai konsentrasi asam urat yang melampaui solubilitasnya dalam darah, yakni di atas 6,8 mg/dL. Pada kebanyakan kasus, pemberian farmakoterapi pada kasus hiperurisemia asimptomatik tidak dianjurkan.[1,2]

Efek Hiperurisemia Asimptomatik Secara Klinis

Meskipun asam urat memiliki sifat antioksidan, beberapa studi menunjukkan bahwa, baik bentuk kristal maupun bentuk larut dari asam urat, dapat mengaktifkan berbagai jalur inflamasi seperti inflamasom NLRP3. Aktivasi ini memicu pelepasan sitokin proinflamasi, yang berkontribusi terhadap stres oksidatif, resistensi insulin, dan disregulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS).

goutcomp

Secara klinis, hiperurisemia asimptomatik telah diduga menjadi faktor risiko berbagai penyakit metabolik dan kardiovaskular, termasuk hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, dan penyakit ginjal kronis. Selain itu, hiperurisemia juga diduga dapat menyebabkan cedera ginjal bahkan tanpa pembentukan kristal asam urat. Konsentrasi urat yang tinggi dalam urin dikaitkan dengan aktivasi tubulus ginjal dan cedera inflamasi, yang dapat memperburuk fungsi ginjal.

Namun, perlu diketahui bahwa meskipun berbagai risiko kesehatan terkait hiperurisemia asimptomatik ini didukung oleh data epidemiologi dan observasional, bukti dari uji randomisasi masih belum konklusif untuk menentukan hubungan kausatif dan apakah hiperurisemia merupakan penyebab utama.[1,3,4]

Penatalaksanaan Hiperurisemia Asimptomatik

Pada kasus hiperurisemia asimptomatik, pendekatan non-farmakologi adalah pilar dari terapi. Farmakoterapi umumnya tidak diperlukan karena kurangnya basis bukti dari manfaat pemberiannya, adanya potensi risiko dari pemberian farmakoterapi, serta masalah cost-efficiency. Pada kasus tertentu, seperti pada pasien yang menjalani kemoterapi dan berisiko mengalami nefropati asam urat, pemberian farmakoterapi dapat dipertimbangkan.[1,2,5-7]

Terapi Non-Farmakologi

Pendekatan non-farmakologi berfokus pada modifikasi gaya hidup dan pola makan untuk mengurangi kadar asam urat. Pasien dianjurkan untuk menghindari makanan tinggi purin seperti daging merah, seafood, serta alkohol karena dapat meningkatkan kadar asam urat. Konsumsi minuman manis tinggi fruktosa juga sebaiknya dibatasi. Modifikasi diet ini telah dilaporkan efektif menurunkan kadar asam urat sekitar 10-15%.

Perlu diketahui bahwa melarang konsumsi purin secara total adalah pendekatan yang tidak disarankan. Sayuran kaya protein seperti kacang-kacangan, bayam, dan jamur masih dapat dikonsumsi dalam jumlah sedang karena memiliki bioavailabilitas urat yang rendah. Selain itu, pengelolaan berat badan dan aktivitas fisik direkomendasikan untuk mencegah hiperurisemia progresif dan komplikasi lebih lanjut.[2,6,7]

Terapi Farmakologi Tidak Disarankan Kecuali pada Kondisi Tertentu

Pedoman klinis American College of Rheumatology (ACR) telah merekomendasikan untuk tidak memberikan urate lowering therapy (ULT) pada kasus hiperurisemia asimptomatik, terutama jika pasien belum pernah mengalami gout flare dan tidak punya tophi subkutan. Uji klinis menunjukkan bahwa insiden gout sama rendah pada pasien yang mendapat ULT maupun plasebo. Selain itu, hanya 20% pasien yang berkembang menjadi gout dalam 5 tahun, sehingga potensi manfaat tidak sebanding dengan risiko.[2]

Pemberian ULT dapat dipertimbangkan pada keadaan khusus, antara lain:

  • Kadar asam urat persisten tinggi: ≥13 mg/dL pada pria dan ≥10 mg/dL pada wanita
  • Ekskresi asam urat dalam urin >1100 mg/hari
  • Untuk pencegahan nefropati asam urat dan manifestasi lain dari sindrom lisis tumor pada pasien onkologi yang mendapat kemoterapi atau radioterapi.[1,6,7]

Jika pasien akan diberikan farmakoterapi, allopurinol 300-800 mg/hari merupakan terapi lini pertama yang dianjurkan. Pada kasus di mana allopurinol akan dikombinasikan dengan febuxostat, disarankan untuk memulai dengan dosis rendah terlebih dulu dan baru kemudian dititrasi, yakni allopurinol ≤100 mg/hari dan febuxostat ≤40 mg/hari.[1,2,7]

Beberapa studi menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C 500–1000 mg/hari memiliki efek urikosurik dan dapat membantu menurunkan kadar asam urat. Meski begitu, pedoman klinis dari ACR tidak merekomendasikan pemberian suplemen vitamin C pada hiperurisemia karena basis bukti yang mendukung manfaatnya dianggap masih kurang adekuat.[2,7]

Kesimpulan

Terapi farmakologi tidak dianjurkan untuk diberikan pada hiperurisemia asimptomatik. Hal ini karena manfaat yang didapat dari pemberian urate lowering therapy (ULT) pada hiperurisemia asimptomatik tidak sebanding dengan potensi risiko dan biaya yang harus dikeluarkan pasien. Insiden berkembangnya gejala klinis dilaporkan sama rendahnya pada pasien yang mendapat ULT ataupun plasebo.

Terapi non-farmakologi, dengan modifikasi diet dan aktivitas fisik, merupakan pendekatan utama penanganan hiperurisemia asimptomatik. Farmakoterapi tidak diberikan secara rutin, tetapi dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu, seperti kadar asam urat persisten sangat tinggi (≥13 mg/dL pada pria dan ≥10 mg/dL pada wanita) atau pada kasus di mana pencegahan nefropati asam urat diperlukan untuk pasien yang menjalani kemoterapi.

 

Penulisan pertama oleh: dr. Eduward Jansen Thendiono, Sp.PD

Referensi