Hubungan Vitamin D dan Risiko Diabetes Mellitus

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Defisiensi vitamin D diperkirakan berkaitan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus, baik diabetes mellitus tipe 1 maupun tipe 2. Hal ini diduga disebabkan oleh hubungan antara kadar vitamin D dengan sekresi insulin oleh sel beta. Namun, bukti klinis yang mengevaluasi manfaat pemberian suplementasi vitamin D dengan tujuan pencegahan diabetes mellitus sebenarnya masih terbatas.[1-6]

Vitamin D termasuk dalam kelas hormon steroid yang larut lemak. Bentuk aktif fisiologi vitamin D adalah 1,25-dihydroxy vitamin D. Vitamin D telah diketahui berperan penting dalam metabolisme kalsium dan fosfat, serta regulasi hormon paratiroid yang berperan dalam mineralisasi tulang. Namun, peran vitamin D dalam sekresi insulin dan efeknya terhadap resistansi insulin masih sering diperdebatkan.[1-6]

Dietary,Supplement,Concept,,Happy,Asian,Young,Woman,Hand,Holding,Fish

Hubungan Antara Vitamin D, Insulin, dan Diabetes Mellitus

Studi menunjukkan bahwa reseptor vitamin D (VDR) ditemukan di sel beta pankreas, yang juga mengekspresikan 1-hydroxylase dan human insulin gene promoter yang responsif terhadap vitamin D. Selain itu, vitamin D meregulasi respons sel T, sehingga berpotensi untuk memproteksi sel beta dari serangan imun.[7]

Studi juga menyebutkan bahwa inflamasi memainkan peran penting pada patogenesis diabeteks tipe 1 melalui peningkatan produksi sitokin dan kemokin oleh sel beta maupun sel imun, yang berujung pada disfungsi sel beta dan apoptosisnya. Kalsitriol (vitamin D aktif) telah diperlihatkan mampu mencegah inhibisi fungsi sel beta yang diinduksi oleh IL-1. Selain itu, ada kaitan antara polimorfisme gen reseptor vitamin D (VDR) terhadap diabetes tipe 1.[8]

Palomer, et al. mengidentifikasi data yang mendukung peran VDR dalam kerentanan diabetes tipe 2. Mereka menemukan setidaknya 4 faktor genetik VDR yang terlibat dalam perkembangan diabetes melitus tipe 2, yakni perubahan metabolisme kalsium, perubahan aktivitas adiposit, perubahan sekresi insulin, dan perubahan pada produksi sitokin.[9]

Lips, et al. melaporkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berkaitan dengan diabetes mellitus tipe 2. Temuan mereka mengungkapkan dua hal. Pertama, vitamin D berperan untuk menstimulasi sekresi insulin di sel beta pankreas. Defisiensi vitamin D akan meningkatkan resistansi insulin. Kedua, defisiensi vitamin D menimbulkan inflamasi dan kenaikan marker inflamasi, yang berperan dalam perkembangan sindrom metabolik.  Selain itu, polimorfisme genetik vitamin D menyebabkan gangguan kontrol glikemik.[10]

Studi Klinis terkait Hubungan Vitamin D dan Risiko Diabetes Mellitus

Studi kasus-kontrol Wang, et al. terhadap 2659 orang menemukan hubungan antara kadar serum vitamin D rendah dan diabetes tipe 2. Selain toleransi glukosa terganggu, tampak ada peningkatan kadar kolesterol total dan low-density lipoprotein (LDL), serta penurunan kadar high-density lipoprotein (HDL) pada partisipan dengan kadar vitamin D yang rendah.[11]

Uji klinis terhadap 80 partisipan diabetes mellitus tipe 1 oleh Aljabri, et al. mendukung hipotesis bahwa kadar vitamin D rendah berkaitan dengan resistensi insulin maupun kematian sel beta pankreas. Penelitian lainnya yang berfokus pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan kaki diabetik juga melaporkan ada hubungan signifikan antara defisiensi vitamin D dan derajat keparahan kaki diabetik.[12,13]

Di sisi lain, tinjauan sistematis dan meta-analisis terhadap 10 penelitian oleh Najjar, et al. tidak menemukan efek signifikan dari polimorfisme genetik terhadap penurunan konsentrasi vitamin D dan risiko diabetes tipe 1.[14]

Meta-analisis lainnya oleh Zheng, et al. terhadap 120618 partisipan keturunan Eropa dengan diabetes mellitus tipe 2 melaporkan ada hubungan inversi signifikan antara kadar vitamin D dan insiden diabetes tipe 2. Namun, analisis mendelian randomization tidak menemukan bukti kuat yang mendukung hubungan kausal antara vitamin D dan diabetes tipe 2.[15]

Efek Pemberian Suplementasi Vitamin D terhadap Risiko Diabetes Mellitus

Uji klinis non-acak oleh Aljabri, et al. pada 80 pasien diabetes tipe 1 dengan kadar vitamin D <50 nmol/L melaporkan bahwa pemberian suplementasi 4000 IU vitamin D3 dengan kalsium bisa memperbaiki kadar HbA1c maupun 25(OH)D setelah 12 minggu suplementasi. Namun, desain yang non-acak dan jumlah sampel yang sedikit membuat hasil studi ini masih perlu dikonfirmasi lebih lanjut.[12]

Tinjauan sistematis dan meta-analisis oleh Li, et al. terhadap 20 studi (2703 partisipan) menemukan bahwa suplementasi vitamin D bisa meningkatkan kadar serum 25(OH)D dan memperbaiki resistansi insulin. Efek tersebut lebih nyata saat suplementasi vitamin D diberikan dalam dosis besar dalam waktu singkat pada individu non-obesitas yang mengalami defisiensi vitamin D, dengan kontrol glikemik adekuat sejak awal pemberian suplementasi.[16]

Meta-analisis lainnya oleh Mohammadian, et al. melaporkan bahwa pada anak-anak dengan diabetes mellitus tipe 1, terjadi perbaikan HbA1c dengan pemberian suplemen vitamin D3.[17]

Pada pasien diabetes mellitus tipe 2, meta-analisis oleh Farahmand, et al. terhadap 46 studi klinis acak terkontrol (2164 pasien di grup intervensi dan 2149 pasien di grup plasebo) melaporkan bahwa pemberian suplementasi vitamin D mampu memperbaiki kadar glukosa darah puasa, HbA1c, dan HOMA-IR (Homeostatic Model Assessment for Insulin Resistance), khususnya pada individu dengan defisiensi vitamin D.[18]

Di lain sisi, tinjauan sistematik oleh Seida, et al. terhadap 35 studi klinis acak terkontrol (total 43.407 pasien) tidak menemukan pengaruh signifikan pemberian suplementasi vitamin D terhadap kontrol glikemik ataupun resistensi insulin pada pemberian jangka pendek.[19]

Hal serupa dilaporkan oleh Pittas, et al. dalam studi klinis acak terkontrol pada 2423 pasien. Pemberian suplementasi vitamin D3 dengan dosis 4000 IU setiap hari tidak menghasilkan penurunan risiko diabetes yang signifikan jika dibandingkan plasebo pada partisipan dengan risiko tinggi diabetes tipe 2.[20]

Kesimpulan

Mekanisme terkait peran vitamin D dalam sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan dampaknya terhadap resistansi insulin masih belum dipahami dengan baik. Selain itu, bukti klinis yang mengevaluasi efek suplementasi vitamin D terhadap risiko diabetes mellitus juga masih terbatas. Bukti klinis yang ada saat ini masih kontradiktif, baik untuk diabetes tipe 1 maupun tipe 2.

Oleh sebab itu, saat ini perkumpulan ahli endokrin internasional maupun lokal belum menganjurkan pemberian suplementasi vitamin D untuk tujuan prevensi diabetes pada individu dengan risiko tinggi diabetes. Suplementasi vitamin D juga belum dianjurkan pada mereka yang sudah terdiagnosis diabetes. Pemberian suplementasi vitamin D pada pasien berisiko diabetes maupun pasien yang sudah terdiagnosis diabetes lebih didasarkan pada ada tidaknya penurunan kadar vitamin D (25[OH]D).

Referensi