Hymen atau selaput dara adalah jaringan membran yang mengelilingi introitus vagina, yang memiliki morfologi bervariasi dan telah dikaitkan dengan berbagai mitos. Secara embriologi, hymen diduga berasal dari invaginasi sinus urogenital. Pada sinus urogenital bagian pelvis, sepertiga distal vagina akan bergabung dengan kanalis uterus-vagina yang timbul dari gabungan bagian bawah paramesonefrik pada usia kehamilan 12 minggu.
Hymen merupakan jaringan membran yang dapat berubah dengan sangat ekstrim dan dinamis. Dalam tahapan kehidupan wanita, bentuk dan ketebalan hymen dapat berubah karena adanya paparan hormon. Karena banyaknya variasi bentuk hymen dan juga prosesnya yang dinamis, seringkali pemeriksaan ginekologi dan forensik memiliki keterbatasan terutama mengenai interpretasinya. [1,2]
Mitos Hymen dan Keperawanan
Hymen seringkali menjadi bagian dari asumsi dan konstruksi sosial terkait keperawanan. Banyak asumsi dan mitos yang berkembang di masyarakat pada berbagai belahan dunia terkait hymen. Pemeriksaan hymen seringkali digunakan untuk menilai riwayat seksual sebelumnya atau untuk menilai keperawanan. Padahal, pemeriksaan ini tidak akurat dan bukan tes yang dapat diandalkan untuk menilai hal tersebut.[1-5]
Keperawanan sendiri merupakan konstruksi sosial, bukan suatu diagnosis medis. Keperawanan tidak dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan hymen secara fisik.[3-5]
Menurut WHO pada tahun 2018, praktik pemeriksaan keperawanan tidak memiliki manfaat ilmiah dan tidak memiliki indikasi klinis. Pemeriksaan keperawanan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi karena dapat merugikan pasien secara fisik, psikis, dan kesejahteraan sosial.[4]
Morfologi Hymen
Secara morfologi, bentuk hymen pada setiap wanita akan berbeda-beda. Ada yang berbentuk annular (melingkar), bulan sabit, frimbiata, redundant, septae, atau cribriform. Hymen merupakan jaringan dinamis dengan perubahan morfologi yang disebabkan oleh variasi hormonal.[1-4]
Hymen terbuka selama periode neonatal. Jika fase ini gagal, maka akan terjadi kondisi hymen imperforata yang mana merupakan anomali obstruktif paling umum dari saluran reproduksi wanita, dengan rasio kejadian 1 dari 1000 hingga 1 dari 10.000 bayi perempuan yang baru lahir. Apabila hymen imperforata menetap hingga remaja, maka akan terjadi hematocolpos, yaitu kondisi dimana darah menstruasi menumpuk di vagina dan menyebabkan nyeri abdomen yang memerlukan pembedahan.[1,2]
Perbedaan Morfologi Hymen pada Berbagai Masa Kehidupan
Pada masa kehamilan, transfer dari hormon ibu melalui plasenta membuat hymen dari bayi baru lahir menjadi tebal dan membengkak. Di masa pra-pubertas, penekanan pada sumbu hipotalamus-hipofisis-gonad membuat hymen menjadi tipis, kering, dan tepinya halus.
Selama masa pubertas, paparan estrogen berkontribusi pada penebalan hymen dan memberikan elastisitas berlebih, sehingga memungkinkan adanya peregangan selama penetrasi tanpa meninggalkan jejak cedera. Sementara itu, pada masa post pubertas, hymen sering diibaratkan sebagai karet gelang karena sifatnya yang elastis.[1,2]
Morfologi Hymen pada Kasus Kekerasan Seksual
Ada literatur yang menyatakan bahwa kedalaman takik dan adanya celah pada posisi jam 3 dan 9 pada bagian posterior hymen merupakan temuan yang signifikan pada anak-anak yang mengalami penetrasi sebelumnya. Sementara itu, ada pula literatur lain yang menyebutkan bahwa temuan definitif dari penetrasi hymen termasuk transeksi hymen yang menyembuh pada area di posisi jam 4 dan jam 8, serta adanya bagian yang hilang dari setengah hymen posterior merupakan tanda dari cedera akut.[6]
Di Indonesia, terdapat penelitian mengenai pola luka genital pada wanita yang menjadi korban kekerasan seksual. Dari penelitian tersebut didapatkan usia terbanyak adalah 12-16 tahun yang mengalami luka sobek pada hymen dengan arah robekan terbanyak ada pada arah jam 6.[7]
Penelitian lain oleh Suttipasit et al di Thailand mengenai perbedaan luka anogenital pada remaja yang mengalami aktivitas seksual dengan persetujuan atau tanpa persetujuan menyebutkan bahwa keduanya memiliki lokasi cedera yang sama. Penelitian ini melibatkan wanita postmenarche dengan cedera anogenital akut setelah penetrasi seksual. Ditemukan bahwa pasien yang mengalami penetrasi seksual tanpa persetujuan memiliki lebih banyak cedera anogenital dibanding pasien dengan penetrasi seksual dengan persetujuan (69,8% vs 55,5%) dengan setidaknya terdapat 1 abrasi, memar, laserasi, cedera labia mayor atau minor, dan cedera eksternal atau eksternal pada kasus tanpa persetujuan. Hasil tersebut mengonfirmasi bahwa pemeriksaan hymen bukanlah metode yang dapat diandalkan untuk menentukan penetrasi seksual, baik yang konsensual ataupun dengan kekerasan.[8]
Morfologi Penyembuhan Cedera Hymen
Cedera hymen pada remaja dapat sembuh secara cepat dan meninggalkan sedikit bukti mengenai cedera sebelumnya. Cedera kecil seperti abrasi dan perdarahan submukosal dapat hilang dalam 3-4 hari, namun tanda-tanda perdarahan dapat bertahan hingga 11-15 hari. Petekie dapat hilang selama 72 jam dan vesikel berisi darah dapat hilang selama 34 hari pada remaja. Abrasi pada remaja dapat hilang pada hari ke-4 dan meninggalkan eritema yang terlokalisir. Kebanyakan tanda dari cedera akut hilang dalam 7-10 hari. [6]
Tepi yang bergerigi karena laserasi pada hymen akan menghalus seiring dengan proses penyembuhan dan akan sulit untuk diidentifikasi. Bahkan terdapat literatur yang mengatakan bahwa 80% korban kekerasan seksual yang mengalami penetrasi dengan lebih dari 10 peristiwa tidak memiliki bukti definitif pada pemeriksaan hymen. Literatur lain mendukung hal yang serupa bahwa tidak ada jaringan parut yang diidentifikasi pada pasien dan robekan superfisial atau menengah dapat sembuh secara sempurna tanpa meninggalkan luka. Pada kasus penetrasi dalam yang menyebabkan takik lebih dari 50% atau transeksi, dapat bertahan sebagai luka permanen setelah beberapa tahun.[6]
Kemungkinan Cedera Hymen Akibat Benda Lain
Sebagai catatan, selain tidak bermanfaat untuk menentukan trauma seksual atau hubungan konsensual, pemeriksaan hymen dalam kasus kekerasan seksual juga tidak dapat mengeksklusi penyebab trauma oleh benda lain. Sebelumnya, lebar dari orifisium hymen dijadikan dasar dalam membuktikan adanya penetrasi. Namun, saat ini terbukti bahwa lebar dari orifisium hymen tidak memiliki nilai informatif, karena nilainya akan bervariasi bergantung pada posisi anak saat pemeriksaan, derajat relaksasi, dan tipe dari hymen.
Penggunaan tampon juga dapat memperbesar orifisium hymen tanpa harus menyebabkan cedera pada hymen. Dalam konteks klinis, temuan mengenai melebarnya orifisium hymen pada anak sering dijadikan kecurigaan sebagai indikasi adanya kekerasan seksual berupa penetrasi.[6]
Dapat disimpulkan bahwa bukti perlukaan atau perubahan hymen tidak selalu didapatkan pada pemeriksaan fisik untuk membuktikan penetrasi pada kasus kekerasan seksual karena adanya faktor penyembuhan jaringan. Adanya cedera pada hymen juga tidak bisa serta merta diartikan sebagai adanya penetrasi seksual. Anamnesis mendetail lebih disarankan untuk dapat membantu dalam membuat diagnosis kekerasan seksual pada anak dan remaja, terutama pada fase non-akut.[6-8]
Kontroversi Pemeriksaan Hymen untuk Menilai Keperawanan
Hymen sendiri seringkali dikaitkan sebagai simbol atau manifestasi keperawanan di banyak daerah. Banyak anggapan bahwa hymen hanya ada pada wanita yang perawan saja.[9,10]
Tes keperawanan mengacu pada praktik evaluasi melalui pemeriksaan fisik selaput dara untuk menilai apakah seorang perempuan pernah melakukan hubungan seksual secara pervaginam (dengan persetujuan atau tanpa persetujuan). Tes keperawanan paling banyak dipraktikkan di negara Asia, Timur Tengah, dan Afrika.[10]
Kerugian Akibat Tes Keperawanan
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, praktik keperawanan masih terjadi di Amerika Serikat. Terdapat enam penelitian yang meneliti dampak psikososialnya dan melaporkan bahwa penyebab utama permintaan tes keperawanan adalah karena alasan budaya dan kepercayaan.
Tes keperawanan dapat menyebabkan kerugian fisik, psikologis, dan sosial bagi yang diperiksa. Dalam sebuah studi mengenai tes keperawanan di Iran, disimpulkan bahwa tes tersebut memiliki efek psikososial yang merugikan pesertanya termasuk risiko bunuh diri, pembunuhan, melemahnya kepercayaan diri, kerusakan pada sistem genital, disfungsi seksual, dan masalah psikologis.[11]
Praktik tes keperawanan ini sangat kontroversial dan secara luas dianggap tidak etis dan keliru. Secara medis, praktik tes keperawanan tidak ditunjang oleh bukti ilmiah apapun karena morfologi hymen bervariasi dan tidak ada tanda spesifik yang bisa menentukan adanya penetrasi.
Praktik tes keperawanan seringkali dilakukan dengan inspeksi dari membran hymen oleh praktisi kesehatan seperti dokter, perawat, atau bidan. Pada beberapa kasus, dilakukan juga “tes dua jari” untuk menilai lebar dari introitus vagina. Tes ini berasal dari asumsi bahwa penetrasi penis dapat membuat perubahan pada introitus vagina, bentuk, dan tampilan hymen. Tentunya berdasarkan morfologi vagina dan hymen serta proses penyembuhan yang ada pada jaringan tersebut, tes ini memiliki dasar yang salah dan tidak ilmiah.[6,10]
Tes Keperawanan Menurut Lembaga-Lembaga Dunia
Pada tanggal 17 Oktober 2018, PBB, UN Women, dan WHO mengeluarkan pernyataan yang menekankan bahwa tes keperawanan tidak memiliki dasar ilmiah dan merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Secara medis, tes ini tidak diperlukan, menyakitkan, memalukan, dan membuat trauma.[8,10]
Selain kurangnya bukti ilmiah, masih banyak professional kesehatan di berbagai situasi terus mempraktikan tes keperawanan. Negara-negara dan institusi terkait harus meninjau kebijakan untuk bergerak menuju pelarangan tes keperawanan. Termasuk dalam penilaian untuk keperluan forensik, pemeriksaan hymen harus dilakukan secara hati-hati, sesuai indikasi, dengan persetujuan pasien atau walinya.[8,10,12,13]
Secara internasional, saat ini tes keperawanan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.[10,12,13]
Aspek Sosial Budaya dari Tes Keperawanan
Nilai sosial dan konstruksi budaya terkait keperawanan wanita sudah tertanam sangat kuat di beberapa kalangan masyarakat. Sehingga praktik tes keperawanan oleh tenaga kesehatan terkadang menjadi aspek penting untuk menentukan status pernikahan dan status sosial seorang wanita.
Berdasarkan inakurasi pemeriksaan hymen dan melihat banyak kerugian yang ditimbulkan, perlu adanya upaya untuk menghentikan atau mengubah norma budaya dan tentunya hal ini merupakan proses yang panjang dan tidak mudah. Keterlibatan dengan tokoh agama dan masyarakat sangatlah penting untuk melakukan perubahan.
Advokasi terhadap pemegang kebijakan juga penting dilakukan untuk mempercepat regulasi mengenai pelarangan praktik tes keperawanan. Dokter juga perlu mengedukasi diri sendiri untuk memahami dan menjelaskan bahwa terdapat variasi morfologi hymen dan tidak ada perubahan spesifik tertentu yang dapat menentukan adanya penetrasi, sehingga pemeriksaan hymen tidak bermanfaat untuk menentukan keperawanan seseorang.[10,12,13]
Kesimpulan
Hymen atau selaput dara merupakan jaringan membran yang mengelilingi introitus vagina dengan bentuk yang berbeda-beda dan sangat dinamis antar tiap wanita. Hymen seringkali memunculkan mitos dan konstruksi sosial terkait keperawanan di berbagai belahan dunia.
Padahal, telah banyak studi menunjukkan bahwa sangat sulit menentukan ada-tidaknya penetrasi seksual hanya dengan melihat morfologi hymen saja karena morfologi hymen normal akan bervariasi dari orang ke orang. Praktik pemeriksaan hymen untuk tujuan menentukan keperawanan adalah praktik yang kontroversial, tidak etis, tidak memiliki dasar ilmiah, dan melanggar hak asasi manusia.