Irigasi nasal diduga dapat bermanfaat dalam mengurangi gejala penyakit saluran napas atas, tetapi rata-rata studi yang ada memiliki sampel yang kecil atau tingkat bias yang tinggi.[1,2]
Infeksi saluran napas atas merupakan diagnosis yang sering ditemukan pada pelayanan kesehatan. Keluhan dapat berupa kongesti nasal, nasal discharge, batuk, dan nyeri tenggorok. Irigasi nasal telah banyak dilakukan oleh dokter karena dipercaya mampu membantu mengurangi ketidaknyamanan pasien. Meskipun demikian, efektivitas irigasi nasal dalam membantu mengatasi gangguan saluran napas atas masih dipertanyakan.[3]
Teori Mengenai Manfaat Irigasi Nasal
Irigasi nasal merupakan suatu tindakan flushing rongga hidung dengan larutan salin. Mekanisme pasti manfaat irigasi nasal pada kesehatan saluran napas masih belum diketahui. Namun, diduga dapat meningkatkan fungsi mukosa nasal melalui pembersihan langsung terhadap agen infeksius dan iritan, pembuangan mediator inflamasi, dan meningkatkan fungsi mukosiliar dengan meningkatkan frekuensi gerakan siliar.[3-5]
Irigasi nasal saat ini banyak dikerjakan pada kondisi gangguan saluran napas atas, seperti sinusitis kronik, infeksi saluran napas akut, dan rhinitis alergi. Irigasi nasal juga diajukan sebagai salah satu tata laksana COVID-19.[3-6]
Bukti Klinis Efektivitas Irigasi Nasal pada Penyakit Saluran Napas Atas
Sebuah randomised controlled trial (RCT) meneliti efektivitas irigasi nasal dengan normal salin dalam manajemen sinusitis akut pada anak dengan atopik. Pada RCT ini didapatkan irigasi nasal dapat meningkatkan hasil nasal peak expiratory flow rate dan kualitas hidup pasien. Grup irigasi nasal mengalami perbaikan keluhan seperti kongesti, rhinorrhea, hidung gatal, bersin, dan batuk dibandingkan dengan grup kontrol.
RCT ini menyimpulkan bahwa irigasi nasal dapat menjadi terapi adjuvan yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan keluhan pada sinusitis akut. Penggunaan irigasi nasal tidak ditemukan berkaitan dengan efek samping apapun. Studi ini merekomendasikan pemberian irigasi nasal dengan normal salin (NaCl 0,9%) via syringe 15–20 mL pada masing-masing lubang hidung sebanyak 2 kali sehari. Tetapi, jumlah subjek studi pada RCT ini hanya sedikit dan waktu follow up singkat.[7]
RCT lain oleh Nguyen, et al. meneliti efektivitas irigasi nasal dengan salin isotonik sebagai terapi adjuvan kortikosteroid intranasal pada pasien rhinitis alergi. RCT ini melaporkan peningkatan kualitas hidup yang signifikan pada kelompok irigasi nasal. Tidak ditemukan adanya efek samping.[5]
Studi ini menggunakan larutan salin isotonik 240 mL menggunakan syringe dua kali sehari selama 8 minggu. Tetapi, sama seperti studi sebelumnya, RCT ini memiliki jumlah sampel yang sedikit dan hanya mengacu pada satu skala subjektif.[5]
Tinjauan Cochrane pada tahun 2015 menilai manfaat irigasi nasal pada infeksi saluran napas atas. Kesimpulan menyatakan bahwa irigasi nasal berpotensi memiliki manfaat dalam mengurangi gejala infeksi saluran napas atas, tetapi masih dibutuhkan studi lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar dan tingkat bias yang lebih rendah.[2]
Salin Hipertonis VS Isotonis untuk Irigasi Nasal
Sebuah tinjauan sistematik pada tahun 2018 membandingkan manfaat cairan salin hipertonis dengan isotonis dalam tata laksana penyakit sinonasal. Studi ini melibatkan 9 RCT dengan total sampel 740 orang. Dilaporkan bahwa cairan salin hipertonis memberikan manfaat penurunan gejala yang lebih besar dibandingkan cairan salin normal. Namun, penggunaan cairan hipertonis berkaitan dengan efek samping minor yang lebih sering, yaitu rasa perih pada hidung, kongesti, dan rhinorrhea.[8]
Kesimpulan
Tindakan irigasi nasal sering disarankan dokter untuk pasien dengan penyakit saluran pernapasan atas, tetapi tindakan ini belum didukung dengan bukti ilmiah yang cukup.
Studi yang tersedia menunjukkan bahwa irigasi nasal menurunkan keluhan pada penyakit saluran napas secara signifikan dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Tindakan ini tidak ditemukan berkaitan dengan efek samping mayor apapun. Namun, studi yang ada masih berupa uji klinis dengan jumlah sampel yang kecil dan tingkat bias yang tinggi, oleh karena itu studi lebih lanjut masih diperlukan.
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra