Safety, tolerability, and immunogenicity of an inactivated SARS-CoV-2 vaccine (CoronaVac) in healthy adults aged 60 years and older: a randomised, double-blind, placebo-controlled, phase 1/2 clinical trial
Wu Z, Hu Y, Xu M, et al. Safety, Tolerability, And Immunogenicity Of An Inactivated SARS-CoV-2 Vaccine (CoronaVac) In Healthy Adults Aged 60 Years And Older: A Randomised, Double-Blind, Placebo-Controlled, Phase 1/2 Clinical Trial. Lancet Infect Dis. 2021;0(0):1–9. doi: https://doi.org/10.1016/S1473-3099(20)30987-7
Abstrak
Latar Belakang: Tingkat morbiditas dan mortalitas akibat COVID-19 yang tinggi pada populasi lansia menjadi salah satu alasan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 bagi populasi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membahas keamanan, tolerabilitas, dan imunogenisitas salah satu vaksin COVID-19, CoronaVac, bagi individu berusia di atas 60 tahun.
Metode: Peneliti melakukan uji klinis acak, penyamaran ganda, terkontrol plasebo, fase 1 dan 2 dari Coronavac pada partisipan sehat berusia lebih dari 60 tahun di Renqiu (Hebei, Cina). Vaksin atau plasebo disuntikkan secara intramuskuler dalam 2 dosis (hari 0 dan 28). Pada fase 1, partisipan mendapatkan perlakuan eskalasi dosis, di mana partisipan dialokasikan ke dalam 2 blok: blok 1 (3 μg virus inaktif dalam 0,5 mL larutan aluminium hydroxide per injeksi) dan blok 2 (6 μg per injeksi).
Dalam masing-masing blok, partisipan dialokasikan ke kelompok plasebo vs intervensi secara acak (2:1) untuk mendapatkan CoronaVac atau plasebo (larutan aluminium hydroxide saja).
Selanjutnya, pada fase 2, partisipan dibagi lagi secara acak dengan perbandingan 2:2:2:1 untuk mendapatkan CoronaVac dengan dosis 1,5 μg; 3 μg; 6 μg per injeksi; atau plasebo. Semua partisipan, peneliti, dan staf laboratorium tidak mengetahui alokasi intervensi.
Luaran primer keamanan vaksin yang dinilai adalah efek samping dalam 28 hari setelah injeksi pada semua partisipan yang mendapatkan minimal 1 dosis. Luaran primer imunogenisitas vaksin yang dinilai adalah tingkat serokonversi pada hari ke-28 hari setelah injeksi kedua (yang dinilai pada semua partisipan yang mendapatkan 2 dosis vaksin berdasarkan kelompok pengacakannya, yang tersedia dalam hasil tes antibodi, dan tidak melanggar protokol penelitian).
Serokonversi didefinisikan sebagai perubahan dari seronegatif pada awal studi menjadi seropositif untuk menetralkan antibodi terhadap virus SARS-CoV-2 yang hidup (cutoff titer positif 1/8), atau peningkatan titer empat kali lipat jika partisipan menunjukkan seropositif saat awal studi.
Hasil: Sejak 22 Mei–1 Juni 2020, 72 partisipan (24 pada tiap kelompok intervensi dan 24 pada kelompok plasebo;rerata usia adalah 65,8 tahun dari 348 partisipan [SD 4,8]) turut serta dalam penelitian fase 1, dan pada 12 Juni–15 Juni 2020, 350 partisipan diikutkan pada fase 2 (100 pada masing-masing kelompok intervensi dan 50 pada kelompok plasebo; rerata usia adalah 66,6 tahun pada 349 partisipan [SD 4,7]).
Tingkat efek buruk yang terjadi dalam 28 hari setelah injeksi pada kelompok yang mendapat dosis vaksin 1,5 μg; 3 μg; 6 μg; dan plasebo secara berturut-turut sebesar 20%, 20%, 22%, dan 21%. Efek buruk yang muncul seluruhnya bersifat ringan hingga sedang dan nyeri pada area penyuntikan merupakan kejadian yang paling sering dilaporkan (9%). Sebanyak 8 efek samping yang berat dilaporkan oleh 7 partisipan, tetapi tidak berkaitan dengan vaksinasi.
Pada fase 1, serokonversi setelah injeksi vaksin dosis kedua terjadi pada 100% partisipan yang mendapatkan dosis 3 μg, dan 95,7% pada partisipan yang mendapatkan dosis 6 μg. Pada fase 2, serokonversi terjadi pada kelompok yang mendapatkan vaksin 1,5 μg; 3 μg; dan 6 μg secara berturut-turut sebesar 90,7%; 98%; dan 99%. Tidak ada respons antibodi yang terdeteksi pada kelompok yang mendapatkan plasebo.
Kesimpulan: Berdasarkan studi ini dapat disimpulkan bahwa CoronaVac aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada individu lansia. Titer antibodi penetralisir dipicu oleh dosis vaksin 3 μg dan 6 μg adalah sama, dan lebih tinggi daripada titer antibodi penetralisir yang dipicu oleh dosis vaksin 1,5 μg. Hal ini mengisyaratkan bahwa perlu dilakukan uji klinis fase 3 untuk menilai tingkat proteksi vaksin CoronaVac dengan dosis 3 μg terhadap COVID-19.
Ulasan Alomedika
Studi ini merupakan penelitian pertama tentang vaksin virus SARS-CoV-2 inaktif, yaitu CoronaVac, yang dilakukan pada populasi lansia (usia ≥60 tahun)
Virus inaktif yang dipurifikasi telah lama digunakan dalam tahap pengembangan vaksin COVID-19 dan saat ini terdapat 8 kandidat vaksin inaktif yang sedang dalam tahap evaluasi. Sejumlah studi menunjukkan bahwa vaksin inaktif dapat memicu respons antibodi penetralisir dan memiliki profil keamanan yang baik.
Hasil uji preklinis menunjukkan bahwa CoronaVac dapat memicu respons antibodi penetralisir dengan baik dan melindungi terhadap pneumonia interstisial berat setelah paparan SARS-CoV-2 pada hewan coba.
Bahkan, hasil uji klinis CoronaVac fase 1 dan 2 pada individu berusia 18–59 tahun menunjukkan tingkat toleransi terhadap CoronaVac sangat baik dan vaksin ini dapat memicu respons humoral terhadap SARS-CoV-2. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kejadian efek samping pascainjeksi dan imunogenisitas CoronaVac pada populasi berusia ≥60 tahun.[1,2]
Ulasan Metode
Dengan menggunakan desain uji klinis acak, terkontrol plasebo, dan penyamaran ganda, studi ini menerapkan dua tahap. Pada tahap 1, partisipan dibagi menjadi 2 kelompok yang diberikan vaksin atau plasebo. Vaksin yang diberikan pada gelombang pertama memiliki dosis 3 µg sedangkan pada gelombang kedua memiliki dosis 6 µg. Kemudian, pasien dipantau selama 7 hari setelah dosis pertama diberikan untuk melihat efek samping.
Tahap kedua dimulai apabila pada kedua gelombang pemberian vaksin dengan eskalasi dosis tersebut tidak ditemukan efek samping fatal dan efek samping berat tidak melebihi 15% dari total partisipan. Pada tahap 2, partisipan mendapatkan dosis vaksin 1,5 µg; 3 µg; 6 µg; atau plasebo.
Desain penelitian dua tahap semacam ini memastikan bahwa vaksin cukup aman untuk dilakukan eskalasi dosis sebelum rekrutmen jumlah partisipan yang lebih besar dimulai.[1]
Luaran primer dari penelitian ini mencakup aspek keamanan dan imunogenisitas yang dipicu oleh vaksin. Untuk aspek keamanan vaksin, seluruh partisipan diminta menulis segala bentuk efek samping yang muncul dalam kartu harian selama 7 hari pertama sejak penyuntikan.
Kemudian, partisipan akan diperiksa secara langsung secara tatap muka oleh dokter sekaligus peneliti untuk menilai aspek keamanan vaksin. Selanjutnya, seluruh pasien tetap dipantau hingga 12 bulan setelah pemberian dosis kedua.
Sementara itu, imunogenisitas diperiksa dengan mengukur titer antibodi penetralisir SARS-CoV-2 dari sampel darah partisipan pada hari ke-0, -28, dan -56 (tahap 1) serta hari ke-0 dan -56 (tahap 2). Keseragaman perlakuan untuk menilai luaran penelitian bagi seluruh partisipan diterapkan pada kelompok intervensi dan plasebo, sehingga risiko bias deteksi telah dicegah dengan baik.
Ulasan Hasil Penelitian
Luaran utama studi ini adalah kejadian efek samping dalam 28 hari setelah injeksi pada partisipan yang mendapatkan minimal 1 dosis dan tingkat serokonversi dinilai pada hari ke-28 setelah injeksi kedua. Berdasarkan analisis hasil studi, ditemukan bahwa sebanyak 21% pasien mengalami setidaknya 1 efek samping dalam 28 hari pertama, tetapi tidak ditemukan perbedaan proporsi efek samping pada kelompok intervensi dan plasebo.
Efek samping pemberian CoronaVac yang muncul umumnya bersifat ringan atau sedang dan terjadi dalam 7 hari setelah vaksinasi dan membaik dalam 2 hari sejak awitannya. Secara khusus, nyeri pada area penyuntikan dan demam merupakan bentuk reaksi yang sering muncul dengan tingkat kejadian masing-masing 9% dan 3%.[1]
Di sisi lain, tingkat serokonversi antibodi penetralisir terhadap SARS-CoV-2 pada hari ke-28 setelah vaksinasi tidak menunjukkan perbedaan bermakna antarkelompok dengan dosis vaksin yang berbeda. Serokonversi setelah vaksinasi pertama pada kelompok yang mendapatkan dosis vaksin 3 µg vs 6 µg masing-masing sebesar 54,2% dan 62,5%, sedangkan setelah vaksinasi kedua, serokonversi mencapai 98% untuk dosis 3 µg dan 99% untuk dosis 6 µg.
Pada analisis lanjutan berdasarkan usia, tingkat serokonversi pada kelompok usia 60–64 tahun, 65–69 tahun, dan 70 tahun ke atas melebihi 94%, baik untuk dosis 3 µg maupun 6 µg. Sebaliknya, antibodi penetralisir tidak terdeteksi pada partisipan yang masuk dalam kelompok plasebo. Hal ini mengisyaratkan bahwa respons imun yang dibentuk oleh CoronaVac tidak menurun secara bermakna pada populasi lansia.
Hasil penelitian ini perlu ditafsirkan secara bijak mengingat hingga saat ini belum ada kriteria tegas mengenai proteksi vaksin COVID-19 terhadap infeksi SARS-CoV-2. Hasil penelitian tersebut didasarkan pada serokonversi antibodi penetralisir setelah vaksinasi dosis kedua. Penggunaan antibodi penetralisir dijadikan sebagai acuan sebab terbukti berkaitan dengan tingkat proteksi terhadap coronavirus disease 2019 atau COVID-19 berdasarkan uji paparan virus pada hewan coba. Metode lain untuk menilai proteksi terhadap SARS-CoV-2, seperti uji netralisasi virus hidup, umumnya memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang cukup lama.
Mengingat belum ada konsensus mengenai metode yang seragam untuk menilai proteksi suatu vaksin COVID-19 terhadap paparan virus SARS-CoV-2, maka hal ini mungkin menjadi sumber bias deteksi apabila di kemudian hari terdapat metode pemeriksaan proteksi COVID-19 yang lebih baik.[1,2]
Kelebihan Penelitian
Kelebihan penelitian ini terletak pada desain uji klinis acak, penyamaran ganda, dan terkontrol plasebo sehingga risiko bias seleksi dan bias deteksi dapat terhindarkan. Karakteristik dasar antara kedua kelompok (intervensi vs plasebo) cukup berimbang dan tidak terdapat perbedaan perlakuan antarkelompok, kecuali pada dosis vaksin yang didapat.
Pemantauan timbulnya efek samping vaksinasi yang dilakukan secara harian oleh partisipan menunjukkan adanya upaya optimal untuk mengurangi bias memori saat melakukan penilaian luaran efek samping vaksinasi.
Limitasi Penelitian
Walaupun penelitian ini memiliki desain yang sangat baik dengan luaran utama yang terlihat menjanjikan, beberapa keterbatasan teknis perlu diperhatikan dalam menelaah hasil penelitian secara keseluruhan.
Pertama, penelitian ini belum dapat menerapkan pemeriksaan respons sel T yang diketahui memiliki peran dalam respons imunitas terhadap COVID-19. Namun, hal ini diantisipasi oleh peneliti dengan memasukkan pemeriksaan respons T-helper tipe 1 dan 2 dalam penelitian lanjutan fase 3.
Kedua, belum ada definisi yang tegas mengenai imunogenisitas jangka panjang dan profil keamanan CoronaVac pada saat penelitian berjalan.
Ketiga, populasi dalam penelitian sangat homogen dan didominasi oleh etnis Han.
Keempat, rentang pemberian vaksin yang diteliti adalah 28 hari. Pada situasi pandemi COVID-19, rentang pemberian vaksin ini semestinya dapat diperpendek menjadi 1–2 minggu sehingga lebih banyak populasi rentan yang mendapatkan proteksi dalam waktu yang lebih singkat.
Aplikasi Penelitian di Indonesia
Dengan jumlah penduduk lansia yang mencapai hampir 10% (26,8 juta jiwa) dari total populasi Indonesia, intervensi kesehatan masyarakat berupa pemberian vaksin COVID-19 pada populasi ini akan membantu menurunkan morbiditas dan mortalitas COVID-19.
Populasi ini memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami COVID-19 derajat berat dibandingkan individu berusia <60 tahun, seiring dengan peningkatan proporsi penyakit kronis pada kelompok lansia.
Berdasarkan pemeriksaan respons antibodi penetralisir SARS-CoV-2, pemberian CoronaVac dengan rentang antardosis 28 hari pada populasi lansia tidak berkaitan dengan penurunan respons imun terhadap vaksin yang dipengaruhi oleh usia.
Selain itu, efek samping yang muncul setelah penyuntikan CoronaVac umumnya bersifat ringan hingga sedang dan membaik dalam kurun waktu 48 jam sejak awitannya. Dengan kata lain, vaksin ini berpotensi aman dan baik untuk diberikan pada populasi lansia di Indonesia.[1-3]