Komplikasi kardiovaskular dapat terjadi akibat coronavirus disease 2019 atau COVID–19, seperti miokarditis, hipertensi, sindrom koroner akut (SKA), aritmia, dan gagal jantung dengan atau tanpa syok kardiogenik. Hal ini diduga berhubungan dengan cytokine storm, hipoksia, hiperkoagulasi, dan terapi antivirus yang diberikan.
Adanya infeksi SARS–CoV–2 dapat memperparah komorbid kardiovaskular yang sudah ada sebelumnya. Beberapa studi juga menemukan adanya hubungan antara infeksi SARS–CoV–2 dengan cedera kardiovaskular, seperti miokarditis, kelainan irama jantung atau aritmia, cedera sel endotel, kejadian trombotik, dan fibrosis interstitial miokard.[5,11,14]
Patofisiologi COVID-19 Terhadap Kelainan Kardiovaskular
Virus SARS–CoV–2 merupakan virus RNA, yang ditransmisikan melalui droplet, secara kontak langsung maupun tidak langsung. Masa inkubasinya sekitar 2–14 hari. Virus SARS–CoV–2 masuk ke dalam inang melalui reseptor angiotensin–converting enzyme (ACE–2) yang banyak ditemukan di permukaan mukosa saluran napas, terutama alveolar paru pada pneumosit.[1]
Ikatan protein COVID–19 dengan reseptor ACE–2 memfasilitasi infiltrasi virus ke dalam sel alveolar paru. Selain di saluran napas, reseptor ACE–2 juga ditemukan di jantung, pembuluh darah, dan saluran pencernaan. Hal ini menyebabkan risiko gangguan kardiovaskular pada pasien COVID–19 meningkat.[1,2]
Adanya reseptor ACE–2 pada jantung dan pembuluh darah disertai dengan aktivasi sitokin proinflamasi berperan pada terjadinya inflamasi miokardium. Beberapa studi menunjukkan peningkatan kadar sitokin proinflamasi pada pasien COVID – 19, antara lain interleukin (IL-6 IL-2, IL-7), granulocyte colony-stimulating factor, C-X-C motif chemokine 10 (CXCL10), chemokine (C-C motif) ligand 2, dan tumour necrosis factor-α, yang sesuai dengan karakteristik dari cytokine release syndrome (CRS).
Sitokin proinflamasi yang telah teridentifikasi ini kemudian dihubungkan dengan kejadian miokarditis dan kerusakan miosit jantung. Selanjutnya terjadi gangguan kontraksi jantung dan pelepasan marker penanda cedera jantung, seperti cardiac troponin T (cTnT) dan B–type natriuretic peptide (BNP).[1,3,19]
Selain itu, ACE–2 juga diekspresikan sel endotel pembuluh darah. Pada pasien COVID–19 ditemukan disfungsi endotel yang diduga berhubungan dengan infeksi SARS–CoV–2. Disfungsi endotel menyebabkan vasokonstriksi, inflamasi vaskular, dan trombosis. Hal ini berperan pada terjadinya hipertensi, aterosklerosis, dan kejadian infark miokard yang lebih banyak ditemukan pada pasien COVID–19.[1,2]
Manifestasi Kardiovaskular Akut Infeksi SARS-CoV-2
Beberapa manifestasi akut kardiovaskular akibat infeksi SARS–CoV–2 telah dilaporkan. Spektrum penyakit kardiovaskular akibat infeksi SARS–CoV–2 meliputi hipertensi, sindrom koroner akut, cedera miokardium tanpa penyakit jantung koroner, aritmia, gagal jantung dengan/tanpa syok kardiogenik, efusi perikardium, serta komplikasi tromboemboli.[5–7,11]
Hipertensi
Hipertensi seringkali ditemukan pada pasien dengan COVID–19. Pada keadaan ini, adanya reseptor ACE–2 di endotel pembuluh darah, peningkatan produksi sitokin proinflamasi, dan efek samping obat–obatan seperti metilprednisolon dan remdesivir yang digunakan dalam tata laksana COVID–19 diduga menjadi faktor risiko timbulnya hipertensi pada kelompok ini.[1–3]
Sindrom Koroner Akut
Sindrom koroner akut (SKA) yang sering dilaporkan berhubungan dengan infeksi SARS–CoV–2 adalah infark miokard dengan ST–elevasi (ST–elevation myocardial infarction/STEMI) dan infark miokard tanpa ST–elevasi (non–ST–segment elevation myocardial infarction/NSTEMI). Risiko ini berhubungan dengan hiperkoagulabilitas dan reaksi inflamasi yang telah dijelaskan sebelumnya.[2,3]
Gejala spesifik yang dilaporkan berkaitan dengan SKA adalah nyeri dada, peningkatan troponin, abnormalitas gerakan jantung maupun wall motion abnormalities, dan/atau depresi segmen ST atau elevasi gelombang T. Pada pasien ini, intervensi koroner perkutan (PCI) tetap menjadi pilihan tata laksana utama.[5–7,11]
Cedera Miokardium dan Miokarditis
Cedera miokardium dan miokarditis pada pasien dengan COVID–19 seringkali disebabkan karena hipoksia, cedera langsung miokardium yang disebabkan infeksi virus, reaksi inflamasi, dan stress fisiologis. Hal ini ditunjukkan dengan nyeri dada, dyspnea, disritmia, disfungsi ventrikel kiri, dan peningkatan troponin.[2]
Keadaan ini juga dapat disertai dengan gambaran elektrokardiografi (EKG) yang abnormal, seperti inversi T, deviasi maupun abnormalitas segmen ST yang tidak spesifik, serta abnormalitas segmen PR.[2,3]
Berdasarkan studi meta analisis yang dilakukan oleh Voleti et al. yang melibatkan 22 studi dengan total partisipan 55,5 juta responden yang sudah divaksinasi dan 2,5 juta yang terinfeksi COVID–19 tapi belum divaksin.[20]
Pada kelompok yang belum divaksinasi, relative risk miokarditis 7 kali lebih tinggi, dimana RR 15 (95%KI: 11,09–19,81) pada kelompok terinfeksi dan pada kelompok vaksinasi RR 2 (95%KI: 1,44–2,65). Pada kelompok yang sudah divaksinasi, kejadian miokarditis lebih tinggi pada mereka yang mendapat vaksin mRNA.
Akan tetapi, diagnosis miokarditis pada studi ini kebanyakan berdasarkan klinis dan perubahan EKG, sedangkan konfirmasi diagnosis dengan biopsi atau cardiac MRI tidak selalu dilakukan, karena keterbatasan sumber daya. Selain itu, studi ini kebanyakan melibatkan pasien dari Amerika Serikat dan Inggris, sehingga hasilnya belum tentu bisa menggambarkan populasi Asia.[20]
Aritmia
Manifestasi aritmia yang dilaporkan berhubungan dengan infeksi SARS–CoV–2 adalah aritmia atrium (atrial fibrilasi dan atrial flutter), takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, maupun total atrioventricular (AV) block.[3,5–7,11]
Setelah periode vaksinasi, menurut studi yang dilakukan Abutaleb et al., ditemukan insidensi aritmia yang berhubungan dengan vaksinasi mencapai 1–76 per 10.000 populasi. Kejadian aritmia lebih tinggi pada pemberian vaksin mRNA dan lebih rendah pada vaksin yang dibuat dari virus yang diinaktivasi.
Insidensi aritmia pada pemberian vaksin mRNA adalah 22–76 per 10.000 populasi yang divaksin, sedangkan pada vaksin yang dibuat dari virus yang diinaktivasi adalah 1–3 per 10.000 populasi yang divaksin.[21]
Sedangkan berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bahtla et al., pada 700 pasien COVID–19 yang dirawat inap, sekitar 4% mengalami fibrilasi atrium, 1,2% dilaporkan bradiarritmia, dan 1,4% mengalami nonsustained ventricular tachycardia (NSVT).
Akan tetapi, kejadian aritmia pada studi ini lebih banyak ditemukan pada mereka dengan penyakit sistemik berat dan bukan hanya karena infeksi COVID–19 saja. Selain itu, penggunaan obat–obatan seperti azithromycin dan hydroxychloroquine mungkin mempengaruhi kejadian aritmia karena efek sampingnya, seperti pemanjangan interval QT.[17]
Gagal Jantung dan Syok Kardiogenik
Gagal jantung yang dilaporkan berhubungan dengan penyakit COVID–19 dapat terjadi dengan/tanpa syok kardiogenik. Gejala spesifik yang timbul antara lain disfungsi sistolik de novo, miokarditis, maupun mioperikarditis. Selain itu, dilaporkan juga adanya kardiomiopati yang dimediasi sitokin maupun stress–induced cardiomyopathy.
Pada pasien dengan gagal jantung ini ditemukan juga adanya dekompensasi sistolik akut atau kronik dengan atau tanpa peningkatan troponin, disfungsi sistolik atau diastolik rekurens, dan gagal jantung dengan preserved LVEF.[5–7,11]
Selain karena reaksi inflamasi dan infeksi virus, adanya gagal jantung ini dilaporkan pula berhubungan dengan ARDS. Karena adanya kejadian dan risiko gagal jantung ini, terapi cairan intravena pada pasien COVID–19 harus dilakukan dengan hati–hati dan pemberian cairan yang terlalu agresif perlu harus dihindari.[2]
Efusi Perikardium
Efusi perikardium dengan atau tanpa tamponade jantung juga dilaporkan pada pasien yang menderita COVID–19. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Sawalha et al., dari total 14 kasus miokarditis/mioperikarditis yang dilaporkan pada pasien COVID–19, sebanyak 5 kasus mengalami efusi perikardium.
Efusi perikardium diduga berhubungan dengan miokarditis/myoperikarditis yang dialami pasien. Akan tetapi, masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai mekanisme yang mendasari hal ini.[5–7,11,18]
Komplikasi Tromboemboli
Komplikasi tromboemboli yang berhubungan dengan COVID–19 yang telah dilaporkan antara lain tromboemboli arteri, deep vein thrombosis (DVT), trombus intrakardiak, trombus mikrovaskular, emboli paru, dan stroke.[5–7,11]
Kejadian tromboemboli ini diduga berhubungan dengan inflamasi sistemik yang menghasilkan sitokin proinflamasi serta interaksi virus SARS–CoV–2 dan trombosit. Selain itu, diduga infeksi oleh SARS–CoV–2 berhubungan dengan viral–mediated microvascular trauma serta disfungsi endotel, baik pembuluh darah besar maupun kecil, serta arteri maupun vena.[2,14]
Setelah periode vaksinasi, menurut studi meta analisis yang dilakukan Zuin et al., pada 29.078.950 pasien, kejadian emboli paru, DVT, maupun tromboemboli vena masih ditemukan. Cumulative rate untuk emboli paru adalah 0,1–4,5%, sedangkan untuk DVT mencapai 0,5–5,4%.
Berdasarkan studi didapatkan pula bahwa profilaksis untuk trombosis tidak berhubungan dengan penurunan kejadian trombosis pada pasien dengan infeksi COVID–19. Akan tetapi walaupun studi dilakukan setelah periode vaksinasi, status vaksinasi dan varian virus tidak didapatkan pada studi ini.[22]
Komplikasi Kardiovaskular Jangka Panjang setelah COVID–19
Belum terdapat banyak data yang melaporkan komplikasi kardiovaskular jangka panjang akibat infeksi SARS–CoV–2. Akan tetapi, terdapat beberapa laporan komplikasi kardiovaskular kronis yang dinilai berhubungan dengan COVID–19, seperti miokarditis fulminans, henti jantung, dan fibrosis ventrikel yang ditemukan sampai beberapa minggu setelah viral load kembali normal.[1]
Adanya cedera kardiak, disfungsi vaskular dan trombosis dicurigai menjadi penyebab komplikasi kronis ini. Namun, perlu diperhatikan bahwa selain cedera kardiovaskular yang ditimbulkan, beberapa obat seperti hydroxychloroquine, favipiravir, remdesivir, kortikosteroid, antisitokin (seperti tocilizumab), dan terapi plasma konvalesens juga memiliki risiko kardiotoksisitas.
Hydroxychloroquine meningkatkan pH serum dan menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit, sehingga pasien berisiko mengalami perpanjangan interval QT dan aritmia. Begitu pula dengan terapi medikamentosa lainnya seperti azithromycin, remdesivir, kortikosteroid, dan tocilizumab yang memiliki risiko efek samping kardiovaskular, seperti aritmia, retensi cairan, hipotensi dan hipertensi. Semua obat ini sudah tidak direkomendasikan untuk terapi COVID–19, kecuali kortikosteroid untuk infeksi kritis.[1,2,3]
Wang et al. melakukan studi kohort dari 1 Januari 2019 sampai 31 Maret 2022 dengan membandingkan 690.892 pasien COVID–19 survivor dan 690.892 pasien kontrol yang dilakukan follow up selama 12 bulan. Kelompok COVID–19 survivor memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami komplikasi kardiovaskular, dengan risiko miokarditis dan emboli paru yang paling tinggi.
Komplikasi kardiovaskular lainnya yang ditemukan pada follow up studi ini adalah hipertensi, aritmia, gagal jantung kongestif, kardiomiopati, syok kardiogenik, infark miokard, sampai dengan henti jantung. Akan tetapi, rata–rata partisipan studi adalah orang Amerika, sehingga tidak diketahui apakah applicable dengan penduduk Asia. Selain itu, adanya kombinasi berbagai obat yang diberikan mungkin mempengaruhi hasil studi.[9]
Kelainan Kardiovaskular Akibat COVID–19 Setelah Periode Vaksinasi
Setelah periode vaksinasi, komplikasi kardiovaskular masih ditemukan. Selain berhubungan dengan infeksi COVID–19, risiko ini juga ditemukan meningkat setelah vaksinasi mRNA untuk COVID–19. Berdasarkan studi meta analisis oleh Pillay et al. pada 46 studi (>10.000 responden), dilaporkan kejadian miokarditis dan perikarditis setelah vaksinasi pada usia 12–39 tahun.
Kejadian miokarditis dan perikarditis ini dilaporkan lebih rendah pada pemberian dosis kedua yang berjarak ≥31 hari dari dosis pertama, dibandingkan <30 hari. Selain itu, komplikasi kardiovaskular lainnya terkait vaksinasi yang telah dilaporkan adalah immune thrombotic thrombocytopenia (TTS), trombosis vena serebral, tromboemboli vena, TIA, stroke, infark miokard akut, aritmia, dan vaskulitis. Pengkajian lebih lanjut mengenai keamanan vaksin perlu dilakukan.[13,14]
Kesimpulan
Manifestasi kardiovaskular yang dilaporkan berhubungan dengan kejadian COVID–19 infeksi adalah hipertensi, sindrom koroner akut, miokarditis dan cedera miokardium, aritmia, gagal jantung dengan atau tanpa syok kardiogenik, efusi perikardium dan tromboemboli.
Mekanisme pasti yang mendasari komplikasi kardiovaskular ini belum dapat dijelaskan dengan baik, tetapi kemungkinan besar berhubungan dengan infeksi virus SARS–CoV–2, reaksi inflamasi sistemik yang luas, penyakit yang sudah ada sebelumnya, serta efek samping obat–obatan yang digunakan.
Belum banyak data yang membahas komplikasi kardiovaskular jangka panjang pada pasien COVID–19. Akan tetapi, dilaporkan adanya kejadian miokarditis fulminans, henti jantung, fibrosis ventrikel, dan emboli paru pada beberapa studi dengan periode follow up maksimal 1 tahun. Efikasi dan keamanan vaksin COVID–19 perlu dikaji lebih lanjut terkait kejadian miokarditis dan komplikasi kardiovaskular lainnya pascavaksinasi.