Meskipun sering dianggap sebagai kontrasepsi definitif, kehamilan tetap dapat terjadi pada pasien yang sudah menjalani ligasi tuba. Ligasi tuba adalah salah satu jenis kontrasepsi permanen yang dilaporkan bisa mencegah kehamilan sampai 99%. Tindakan ini juga dikenal sebagai pengikatan tuba atau sterilisasi. Pada prosedur ini, tuba falopi dipotong dan diikat untuk mencegah kehamilan seumur hidup.
Ligasi tuba mencegah sel telur bergerak dari ovarium dan turun ke rahim melalui tuba falopi. Tindakan ini juga menghalangi sperma untuk naik ke tuba falopi menuju sel telur. Prosedur ini tidak memengaruhi siklus menstruasi, dapat dilakukan kapan saja, serta sering dianggap sebagai kontrasepsi yang paling manjur. Meski begitu, data menunjukkan bahwa kehamilan tetap kerap terjadi pada pasien yang sudah menjalani ligasi tuba.[1,2]
Kemungkinan Kehamilan Setelah Ligasi Tuba
Meskipun ligasi tuba merupakan metode kontrasepsi permanen dan ireversibel, kegagalan ligasi tuba bisa menimbulkan kehamilan, yang mana lebih sering menyebabkan kehamilan ektopik dibandingkan kehamilan intrauterin. Penyebab kegagalan ligasi tidak diketahui secara pasti, tetapi adanya fistula, ujung kornua yang terbuka, dan salpingektomi yang tidak lengkap adalah beberapa teori yang bisa menerangkan hal tersebut.[3,4]
Sebuah penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa angka kejadian kehamilan 12 bulan setelah ligasi tuba adalah sebesar 2,9%. Angka ini meningkat menjadi 8,4% pada 120 bulan setelah ligasi tuba.[1]
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa tingkat kegagalan ligasi tuba lebih tinggi pada pasien yang menjalani prosedur ini di usia <28 tahun. Risiko kegagalan juga meningkat pada pasien dengan riwayat patologi inflamasi di pelvis, seperti penyakit radang panggul dan kehamilan ektopik.[2]
Tingkat Kegagalan Ligasi Tuba Berdasarkan Metode yang Digunakan
Sebuah studi membandingkan kejadian kehamilan setelah sterilisasi tuba dengan histeroskopi dengan laparoskopi. Studi yang melibatkan 109.277 prosedur sterilisasi tuba ini menunjukkan bahwa sterilisasi histeroskopi memiliki tingkat kejadian kehamilan yang lebih rendah dibandingkan laparoskopi, dengan tingkat kehamilan pada ligasi histeroskopi 0,36% dan laparoskopi 0,46%.[5]
Dalam uji klinis lain, sterilisasi dengan klip titanium dibandingkan dengan salpingektomi parsial. Kemungkinan kehamilan dalam 2 tahun pasca tindakan dilaporkan sebesar 1,7% pada penggunaan klip titanium dan sebesar 0,4% pada salpingektomi.[6]
Sebuah tinjauan Cochrane mengevaluasi 19 uji klinis, dengan total 13.209 partisipan, untuk membandingkan berbagai metode ligasi tuba. Tinjauan ini menunjukkan bahwa mayoritas metode ligasi tuba memiliki tingkat kehamilan pasca tindakan kurang dari 5/1000 dalam waktu 1 tahun setelah prosedur. Meski demikian, komplikasi minor dan kegagalan teknis lebih sering pada metode cincin dibandingkan klip. Elektrokoagulasi dilaporkan menyebabkan lebih sedikit nyeri pascaoperasi dibandingkan teknik Pomeroy yang dimodifikasi dan metode cincin.[7]
Risiko Kehamilan Ektopik Pasca Ligasi Tuba
Ligasi tuba bertujuan untuk menghalangi pergerakan ovum dan sperma, namun jika terjadi kegagalan prosedur, misalnya akibat rekanalisasi spontan atau pembentukan fistula, ovum yang telah dibuahi masih dapat masuk ke tuba falopi. Dalam situasi ini, tuba yang mengalami perubahan atau penyempitan tidak dapat mendukung pergerakan zigot ke uterus, sehingga meningkatkan risiko implantasi di dalam tuba.[1-3]
Risiko kehamilan ektopik tampaknya paling tinggi pada wanita yang menjalani sterilisasi tuba dengan koagulasi bipolar sebelum usia 30 tahun, dengan risiko dilaporkan sebesar 17,1 kehamilan ektopik per 1.000 prosedur. Salpingektomi bilateral dianggap sebagai metode yang paling baik untuk mencegah terjadinya kehamilan ektopik pasca ligasi tuba.[8]
Kesimpulan
Ligasi tuba sering dianggap sebagai kontrasepsi definitif yang paling manjur dalam mencegah kehamilan. Meski demikian, data dari berbagai studi menunjukkan bahwa kehamilan masih tetap dapat terjadi, yang mana kehamilan lebih sering terjadi sebagai kehamilan ektopik dibandingkan intrauterin.
Dalam sebuah studi besar di Amerika Serikat, kehamilan dilaporkan terjadi pada 2,9% wanita yang menjalani ligasi tuba dalam 12 bulan terakhir. Angka ini meningkat menjadi 8,4% setelah 120 bulan. Oleh sebab itu, edukasi yang adekuat dan proporsional mengenai risiko kehamilan pasca tindakan tetap diperlukan pada pasien yang menjalani konseling untuk ligasi tuba.
