Sejumlah laporan telah menemukan kejadian koagulopati pada pasien COVID-19, baik dalam bentuk trombosis arteri maupun vena. Berbagai studi telah melaporkan bahwa pasien COVID-19 mengalami peningkatan risiko trombosis.[1-8]
COVID-19 associated coagulopathy (CAC) merupakan isu yang konsisten dan berkaitan pula dengan morbiditas maupun mortalitas pasien COVID-19. CAC dapat bermanifestasi sebagai mikrotrombus maupun makrotrombus yang menyebabkan kerusakan pada sejumlah organ, termasuk paru-paru, jantung, otak dan ginjal.[9,10]
COVID-19 dan Risiko Koagulopati
Jika dibandingkan dengan penyakit virus lain, pasien COVID-19 menunjukkan angka kejadian maupun keparahan dari kejadian trombosis yang lebih tinggi. Ini dapat ditandai oleh peningkatan kadar D-dimer, C-reactive protein, P-selectin, dan fibrinogen. Patut dicermati bahwa pemanjangan prothrombin time maupun activated partial thromboplastin time tidak selalu menyertai peningkatan kadar D-dimer pada pasien COVID-19, begitu pula dengan penurunan jumlah trombosit.[11-14]
Pada COVID-19, peningkatan kadar D-dimer dijumpai pada sekitar 10% pasien. Hal ini mengindikasikan adanya frekuensi tinggi koagulopati. Temuan hematologinya tidak konsisten dengan gambaran klasik disseminated intravascular coagulation (DIC), namun menunjukkan pula adanya gangguan pada fibrinolisis.[15-17]
Sejumlah bukti mengindikasikan bahwa COVID-19 associated coagulopathy (CAC) melibatkan interaksi kompleks antara proses inflamasi, imunitas, koagulasi, fibrinolitik, komplemen, dan sistem kallikrein-kinin. Adapun hubungan antara respon imun bawaan dengan koagulasi khususnya pada mikrovaskuler dimana terjadi disfungsi sel endotel yang memicu pembentukan bekuan dan inflamasi dinamai dengan immunothrombosis.[17-21]
Saat ini berkembang 3 jalur yang dianggap sebagai mekanisme patologi kunci pada CAC, yakni disfungsi sel endotel vaskular, respon imun hyper-inflammatory, dan hiperkoagubilitas.[10]
Disfungsi Endotel Vaskuler dan Fungsi Antitrombosis
Pada kondisi normal, endotel vaskuler mempunyai permukaan antitrombosis melalui ekspresi molekul yang dapat mencegah baik aktivasi trombosit maupun koagulasi. Selain itu, endotel vaskuler ini dilapisi oleh glikokaliks kaya karbohidrat, termasuk molekul antikoagulan seperti heparin sulfat, yang juga berfungsi untuk memproteksi invasi patogen.[22]
Hal tersebut akan mengalami gangguan jika endotel vaskuler mengalami infeksi patogen, termasuk virus. Disfungsi endotel vaskuler dipandang menjadi kontributor utama pada patogenesis COVID-19 vasculopathy.[10,23-25]
Pada fase awal penyakit, SARS-CoV-2, via angiotensin-converting enzyme 2/ACE-2, menginfeksi pneumosit tipe 2 di paru-paru yang berlokasi dekat dengan jaringan vaskuler alveolar. Kerusakan lanjutan pada alveoli dan endotel mikrovaskuler berujung pada hiperinflamasi, infiltrasi neutrofil, pelepasan neutrophil extracellular trap (NET), aktivasi komplemen, dan trombosis difus mikrovaskuler yang berkontribusi pada perburukan fungsi pernapasan dan prognosis pasien.
Meski demikian, belum jelas apakah kerusakan endotel pada awalnya diawali oleh infeksi langsung oleh virus SARS-CoV-2 atau mengalami kerusakan secara tidak langsung akibat dari cytokine storm.[10,26-28]
Disregulasi Sistem Kallikrein-Kinin dan Jejas Sel Endotel
Interaksi unik antara SARS-CoV-2 dengan reseptor ACE-2 sel inang dapat menimbulkan disfungsi sel endotel sejak tahap awal infeksi. Ikatan SARS-CoV-2 pada ACE-2 di sel epitel paru akan memicu endositosis kompleks SARS-CoV-2-ACE2 dengan mekanisme yang sama dengan SARS-CoV-1. Konsekuensinya, ekspresi kadar ACE2 pada permukaan sel di lokasi infeksi akan turun dan menimbulkan defisiensi ACE-2 secara lokal.[10,29,30]
ACE2 mempunyai 2 fungsi, yakni meregulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem kallikrein-kinin. Kinin merupakan peptida vasoaktif yang memicu relaksasi sel otot polos vaskuler dan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Disregulasi degradasi kinin akibat dari efek langsung virus terhadap ACE2 akan menyebabkan peningkatan aktivitas kinin yang memicu angioedema.
Aktivasi berlebihan sistem kallikrein-kinin secara sistemik yang terjadi akibat COVID-19 akan menimbulkan “kinin storm”. Kondisi ini menimbulkan peningkatan permeabilitas vaskuler, inflamasi dan kerusakan organ.[10,31-33]
Hiperinflamasi dan Koagulopati
Pada respon imun awal dari infeksi virus, faktor kemotaksis yang dihasilkan di lokasi virus-mediated injury akan merekrut neutrofil. Neutrofil selain berfungsi untuk fagositosis juga melepaskan sejumlah enzim proteolitik, kemokin, sitokin, reactive oxygen species, serta akan membentuk neutrophil extracellular trap (NET). NET ini merupakan struktur seperti jaring yang terdiri dari DNA, histon, protein mikrobisidal, enzim oksidasi, koagulan, dan faktor komplemen.[34]
Selama fase awal aktivasi imunitas bawaan, NET memicu pembentukan bekuan melalui ekspresi faktor jaringan fungsional dan “menangkap” trombosit. Proses ini sudah terdokumentasi pada kasus COVID-19, dimana terjadi peningkatan kadar plasma NET dan vesikel ekstrasel faktor jaringan yang berkorelasi dengan pembentukan trombus, status keparahan fungsi pernapasan dan risiko kematian.[35]
Serum dari pasien COVID-19 derajat berat dapat menstimulasi pembentukan NET (NETosis) dan memicu aktivasi komplemen secara berlebihan. Proses tersebut secara konsisten sudah terbukti pada kasus COVID-19. Selain itu, analisis post-mortem jaringan pasien COVID-19 secara konsisten menemukan deposit fragmen dari aktivasi komplemen pada pembuluh darah berbagai organ termasuk microvascular and macrovascular endotheliopathy dan trombosis.[36,37]
Sejumlah studi dari serum pasien COVID-19 menunjukkan hiperaktivasi komplemen lebih awal dan persisten bersamaan dengan peningkatan kadar fragmen proteolitik yang dapat memprediksi luaran yang buruk. Temuan tersebut menunjukkan pula bahwa SARS-CoV-2 dapat memicu aktivasi komplemen melalui jalur klasik, jalur alternatif, maupun jalur lektin.[10,38-43]
Hiperkoagulabilitas
Studi telah mendokumentasikan peningkatan aktivitas prokoagulan bersama dengan supresi aktivitas fibrinolitik pada pasien COVID-19. Sebuah studi yang membandingkan abnormalitas pada pasien COVID-19 rawat inap terhadap pasien sepsis oleh sebab lain menunjukkan adanya peningkatan kadar plasma soluble thrombomodulin pada kedua grup, disertai pembentukan fibrin yang berlebihan (meski delayed) dengan resistensi fibrin terhadap fibrinolisis.
Meski demikian, ada perbedaan pula antara keduanya. Plasma dari pasien sepsis menunjukkan normal thrombin generation potential, sedangkan plasma pasien COVID-19 menunjukkan peningkatan laju pembentukan thrombin. Selain itu, perbedaan ditemukan pada delayed plasmin generation, dimana COVID-19 mempunyai normal plasmin-generating potential.[44-47]
Bukti penelitian turut menemukan adanya perbedaan pada regulasi gen yang menkoding protein koagulasi maupun fibrinolitik pada pasien COVID-19. Ditemukan peningkatan transkripsi faktor jaringan pada sampel sel-sel alveolar pasien COVID-19 dan hal ini berkaitan pula dengan derajat keparahan COVID-19. SARS-CoV-2 berhubungan dengan upregulation gen yang mengkode protein faktor prokoagulan bersama dengan downregulation gen yang mengkode antikoagulan.[48-53]
Implikasi Klinis COVID-19 Associated Coagulopathy (CAC)
Sehubungan dengan penambahan data ilmiah mengenai COVID-19 associated coagulopathy (CAC), perlu dipertanyakan apakah pemberian antikoagulan atau antiplatelet atau kombinasi keduanya dapat bermanfaat pada kasus pasien COVID-19.
Bukti Ilmiah Manfaat Pemberian Antikoagulan atau Antiplatelet Masih Inkonklusif
Sebuah meta analisis terkini dari data 13 uji klinis acak terkontrol (n=7364 pasien) menunjukkan bahwa pemberian dosis terapeutik antikoagulan dapat menurunkan kejadian trombosis maupun kematian pada pasien COVID-19 rawat inap dengan derajat moderat. Namun, hanya menunjukkan sedikit manfaat pada pasien COVID-19 derajat berat.[54]
Data yang ada masih terbatas dalam mengevaluasi penerapan antiplatelet terhadap kasus COVID-19. Laporan kasus serial maupun studi retrospektif observasional melaporkan hasil yang kontradiktif tentang manfaat pemberian antiplatelet dalam dosis terapeutik pada kasus COVID-19 derajat sedang hingga berat.[9,55]
Sebuah tinjauan sistematik dan meta-analisis yang melibatkan data dari 23 studi menunjukkan bahwa terapi antiplatelet bermanfaat untuk mengurangi risiko mortalitas. Namun, hasil analisis terpisah pada data dari 4 uji klinis acak terkontrol justru tidak menemukan manfaat serupa.[56]
Data lainnya dari studi kohort propensity matched terhadap 242 pasien COVID-19 rawat inap menunjukkan bahwa pemberian kombinasi antikoagulan bersama antiplatelet atau antikoagulan tunggal berkaitan dengan less-in-hospital all-cause mortality. Hasil ini didukung dengan temuan tidak adanya peningkatan risiko perdarahan mayor maupun minor seiring penggunaan antiplatelet atau antikoagulan.[57]
Pedoman dan Konsensus Penanganan Koagulopati pada COVID-19
International Society on Thrombosis and Haemostasis telah menerbitkan pedoman interim terhadap pengenalan dan penatalaksanaan koagulopati COVID-19. Pedoman tersebut menyorot sejumlah faktor penting meliputi peningkatan kadar D-dimer dan hubungannya dengan prognosis buruk, trombositopenia, dan bahaya late onset DIC. Pedoman ini merekomendasikan pemberian low molecular weight heparin (LMWH) profilaksis untuk hal tersebut.[58,59]
British Society of Hematology (BSH) menyarankan penggunaan skor DIC ISTH sebagai faktor prognostik pada pasien COVID-19 dalam memandu penatalaksanaan profilaksis. BSH turut menyarankan penggunaan unfractionated heparin atau LMWH dengan dosis profilaksis.[59,60]
American Society of Hematology merekomendasikan tromboprofilaksis dengan LMWH atau fondaparinux kecuali risiko perdarahan lebih besar daripada risiko trombosis. Untuk pasien dengan kontraindikasi antikoagulasi, direkomendasikan penggunaan alat kompresi pneumatik.[59,61]
American College of Cardiology merekomendasikan profilaksis antikoagulan pada pasien COVID-19 yang membutuhkan perawatan di ICU, demikian pula dengan mereka yang menderita pneumonia, gagal napas, atau memiliki faktor komorbid seperti imobilitas berkepanjangan, kanker, gagal jantung, dan kehamilan. Profilaksis ini dapat diperpanjang setelah rawat jalan bagi pasien berisiko tinggi trombosis, seperti mobilitas yang masih terbatas, kanker aktif, dan kadar D-dimer yang masih tinggi saat dipulangkan.[59,62]
Kesimpulan
Bukti yang tersedia telah menyokong konsep bahwa COVID-19 associated coagulopathy (CAC) melibatkan interaksi kompleks antara respon imun bawaan, jalur koagulasi dan fibrinolisis, serta endotel vaskuler yang menghasilkan kondisi prokoagulan. Penerapan terapi blood thinner, seperti antikoagulan atau antiplatelet, pada kasus COVID-19 rawat inap derajat sedang hingga berat menjadi pilihan rasional yang dapat berkontribusi pada prognosis pasien yang lebih baik. Meski demikian, hasil studi saat ini masih inkonklusif dan uji klinis skala besar lebih lanjut masih diperlukan.