Kriteria rapuh secara luas digunakan untuk menentukan kelayakan vaksinasi COVID-19 pada lansia. Vaksinasi COVID-19 pada lansia yang rentan merupakan sebuah tantangan karena populasi ini dapat diuntungkan dari pemberian vaksin, tetapi juga dikhawatirkan mengalami efek yang tidak diinginkan dari vaksin yang baru dikembangkan ini.
Dalam gerontologi, rapuh didefinisikan sebagai sindrom biologis yang terdiri dari berkurangnya respons dan kompensasi terhadap stresor, yang diakibatkan oleh penurunan fungsi kumulatif dari sistem fisiologis tubuh, serta menimbulkan kerentanan yang tidak diharapkan. Prevalensi rapuh diketahui meningkat dengan semakin menuanya individu dan merupakan risiko tinggi terhadap gangguan kesehatan, mencakup morbiditas, jatuh, kematian, dan perawatan di institusi khusus.[1]
Terdapat dua hipotesis etiologi kerapuhan, yaitu perubahan fisiologis dari penuaan itu sendiri dan dampak dari komorbiditas atau penyakit yang berat. Rapuh berbeda dengan disabilitas, komorbiditas, atau bahkan usia yang sangat lanjut. Usia semata-mata adalah angka yang menggambarkan berlalunya waktu kronologis sejak lahir, sedangkan penuaan berarti peningkatan risiko kegagalan tubuh akibat akumulasi defisit tubuh. Tingkat kerapuhan tidak sama untuk setiap usia kronologis. Namun, prevalensi dan tingkat kerapuhan diketahui meningkat seiring dengan bertambahnya usia.[1,2]
Kriteria Rapuh dan Interpretasinya
Kriteria Fried atau biasa dikenal dengan frailty phenotype (FP) mencakup beberapa komponen yang dapat dinilai secara klinis.
Tabel 1. Kriteria RAPUH berdasarkan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Nilai 0 mencerminkan orang tersebut segar dan tidak rapuh, skor 1-2 memiliki risiko menengah akan luaran yang buruk, dan 3-5 diartikan sebagai rapuh.[3] Definisi dan kriteria kerapuhan berpotensi digunakan sebagai alat ukur risiko klinis dan prognosis kesehatan. Orang lanjut usia rapuh prediktif terhadap berbagai masalah kesehatan dan komorbid yang tinggi. Penggunaan kriteria ini tidak membutuhkan biaya yang besar dan dapat menjadi alat penapisan untuk mengidentifikasi orang dengan kerapuhan.[4]
Hal ini penting dilakukan untuk mengorientasi pelayanan kesehatan agar dapat memfasilitasi kebutuhan kelompok tersebut. Di beberapa negara maju, kriteria ini mulai diterapkan secara sebagai penapisan pada unit gawat darur atau poliklinik umum, yang kemudian akan dirujuk ke klinik geriatri atau klinik kerapuhan.[4]
Penggunaannya belum diterapkan secara luas dan belum ada konsensus mengenai topik ini. Penelitian lebih lanjut mengenai implementasi kriteria kerapuhan sangat diperlukan.[4,5]
Dalam hal pandemi COVID-19, kerapuhan menjadi salah satu justifikasi dan dasar penentuan kelayakan vaksin COVID-19 pada lansia.[1,2]
Kriteria Rapuh pada Vaksinasi COVID-19
Pandemi COVID-19 selama dua tahun terakhir telah menelan banyak korban jiwa. Tingkat mortalitas diketahui terutama meningkat secara eksponen pada kelompok usia di atas 50 tahun. Meskipun demikian, tingkat keparahan COVID-19 sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga fatal di setiap kelompok usia, termasuk pada kelompok lansia. Variasi tersebut salah satunya dapat dijelaskan oleh spektrum kerapuhan yang terdapat pada setiap kelompok usia.[2]
Lansia bukanlah sebuah kelompok usia dengan karakteristik kesehatan yang sama. Namun, usia lanjut meningkatkan variasi karakteristik kesehatan akibat akumulasi defisit sepanjang hidupnya. Berbagai penelitian menunjukkan kerapuhan lebih penting daripada usia kronologis untuk memprediksi kualitas hidup dan mortalitas pasien COVID-19.[6]
Berdasarkan data tersebut, vaksin COVID-19 kemudian diprioritaskan untuk kelompok lanjut usia dan rapuh, terutama lansia yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, seperti panti werdha. Vaksin terutama penting sebagai kompensasi immunosenescence dan penurunan respons imun sel pada lanjut usia yang rapuh.[2]
Bukti Ilmiah Kerapuhan dan Vaksinasi COVID-19
Sayangnya, mayoritas penelitian mengenai vaksin COVID-19 gagal mempertimbangkan kerapuhan sebagai bagian dari sampelnya. Meskipun terdapat penelitian yang menargetkan kelompok lansia, tetapi berbagai kriteria mengeksklusi kerapuhan dan morbiditas sehingga hanya menginklusi lansia yang stabil.[2,6]
Pemerintah negara lain telah menjalankan strategi yang berbeda dalam pendistribusian vaksin, di mana awalnya diprioritaskan untuk lansia terutama pada berbagai panti werdha. Dari distribusi awal tersebut kemudian didapatkan tingkat fatalitas akibat vaksin yang lebih tinggi pada lansia yang tinggal di panti werdha dibandingkan lansia sehat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa fatalitas COVID-19 maupun vaksin COVID-19 berhubungan dengan tingkat kerapuhan dan disabilitas, bukan usia kronologis.[2,6]
Pada akhirnya, implementasi vaksin COVID-19 terbukti menekan morbiditas dan mortalitas infeksi COVID-19 pada kelompok rentan. Negara lain telah mengambil langkah strategi yang berbeda mengenai grup mana yang diprioritaskan untuk mendapat vaksin. Namun, di sisi lain, laporan kematian pada awal distribusi vaksin COVID-19 telah menyebar luas dan menimbulkan ketakutan akan vaksin tersebut. Hal ini sebetulnya dapat dicegah dengan mengikutsertakan lansia rapuh pada saat penelitian awal vaksin untuk mengevaluasi efeknya pada kelompok tersebut, untuk mengoptimalkan strategi terbaik pendistribusian vaksin pada kelompok ini.[2,6]
Kesimpulan
Kerapuhan merupakan hasil kumulatif defisit tubuh mengakibatkan kerentanan terhadap berbagai macam disfungsi. Usia kronologis tidak sama dengan kerapuhan, tetapi prevalensi kerapuhan diketahui meningkat seiring dengan bertambahnya usia kronologis.
Oleh karena orang yang rapuh rentan terhadap berbagai penyakit, mencakup COVID-19, kriteria ini juga dipakai sebagai salah satu pertimbangan untuk menentukan apakah kelompok tersebut termasuk prioritas atau eksklusi vaksin, tergantung pada peraturan yang berlaku di tiap negara. Sayangnya, belum banyak penelitian di bidang ini, sehingga studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk memaksimalkan pemanfaatan kriteria ini.