ABSTRAK JURNAL 1
Levetiracetam versus Phenytoin for Second-Line Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children (ConSEPT) : An Open-Label, Multicentre, Randomised Controlled Trial
Dalziel SR, Borland ML, Furyk J, et al. The Lancet, 2019. 393(10186): 2135 – 2145. PMID: 31005386.
Abstrak
Latar Belakang : Phenytoin masih menjadi lini kedua standar dalam tata laksana kejang status epileptikus pediatri, setelah benzodiazepine sebagai pengobatan lini pertama gagal, tetapi hanya efektif pada 60% kasus dan berhubungan dengan berbagai efek samping. Sebuah antikonvulsan generasi baru, levetiracetam, dapat diberikan lebih cepat dan berpotensi lebih efektif, serta memiliki profil efek samping yang lebih dapat ditoleransi. Studi ini ingin melihat apakah levetiracetam atau phenytoin yang lebih superior sebagai terapi lini kedua kejang status epileptikus pada pediatri.
Metodologi: ConSEPT merupakan uji klinis acak, label terbuka, dan multicentre yang dilakukan di 13 instalasi gawat darurat di Australia dan Selandia Baru. Anak-anak berusia antara 3 bulan dan 16 tahun, dengan kejang status epileptikus yang gagal diobati dengan benzodiazepine sebagai lini pertama, dikelompokkan secara acak (rasio 1:1) menggunakan urutan randomisasi berdasarkan blok permutasi yang dihasilkan komputer (blok berukuran 2 dan 4). Dikelompokkan berdasarkan lokasi penelitian dan usia (≤ 5 tahun, > 5 tahun) untuk mendapatkan phenytoin 20 mg/kg (melalui infus intravena atau intraoseus selama lebih dari 20 menit) atau levetiracetam 40 mg/kg (melalui infus intravena atau intraoseus selama lebih dari 5 menit). Luaran primer dari penelitian ini adalah berhentinya aktivitas kejang secara klinis 5 menit setelah pemberian obat melalui infus selesai. Analisis yang dilakukan adalah intention to treat. Uji klinis ini terdaftar dalam Australian and New Zealand Clinical Trials Registry dengan nomor ACTRN12615000129583.
Hasil: Antara 19 Maret 2015 dan 29 November 2017, sejumlah 639 anak dibawa ke instalasi gawat darurat dengan kejang status epileptikus. 127 anak luput dari perekrutan dan 278 anak tidak memenuhi kriteria eligibilitas. Orang tua dari satu anak menolak untuk memberi persetujuan, sehingga terdapat 233 anak (114 diberikan phenytoin dan 119 diberikan levetiracetam) dalam populasi intention to treat.
Berhentinya aktivitas kejang secara klinis 5 menit setelah pemberian obat melalui infus selesai terlihat pada 68 (60%) pasien dalam kelompok phenytoin dan 60 (50%) pasien dalam kelompok levetiracetam.
Satu subjek pada kelompok phenytoin meninggal pada hari ke-27 karena ensefalitis hemoragik; kematian tersebut tidak diduga disebabkan oleh obat yang diteliti. Tidak ditemukan efek samping serius lainnya.
Interpretasi: Levetiracetam tidak lebih superior dibandingkan phenytoin sebagai tata laksana lini kedua pada kejang status epileptikus pediatri.
ABSTRAK JURNAL 2
Levetiracetam versus Phenytoin for Second-Line Treatment of Paediatric Convulsive Status Epilepticus (EcLiPSE):A Multicentre, Open-Label, Randomised Trial
Lyttle MD, Rainford NEA, Gamble C, et al. The Lancet, 2019. 393(10186): 2125 – 2134. PMID: 31005385.
Abstrak
Latar Belakang: Phenytoin merupakan obat antikonvulsan intravena lini kedua yang direkomendasikan untuk tata laksana kejang status epileptikus pada anak di Inggris Raya; beberapa bukti mengindikasikan bahwa levetiracetam dapat digunakan sebagai alternatif yang lebih efektif dan aman. Uji klinis ini membandingkan efikasi dan keamanan phenytoin dengan levetiracetam sebagai tata laksana lini kedua pada kejang status epileptikus pasien anak.
Metodologi: EcLiPSE merupakan uji klinis acak, label terbuka yang dilakukan di 30 instalasi gawat darurat di pusat pelayanan sekunder dan tersier di Inggris Raya. Subjek penelitian berusia 6 bulan sampai dengan 18 tahun, dengan kejang status epileptikus yang membutuhkan tata laksana lini dua. Diacak (1:1) dengan sistem randomisasi komputer untuk menerima levetiracetam (40 mg/kg dalam 5 menit) atau phenytoin (20 mg/kg selama setidaknya 20 menit), dikelompokkan berdasarkan tempat pelayanan. Luaran primer adalah waktu sejak randomisasi hingga berhentinya kejang status epileptikus, yang dianalisis dalam populasi intention-to-treat yang dimodifikasi (menyingkirkan subjek yang tidak membutuhkan tata laksana lini kedua setelah randomisasi dan subjek yang tidak memberikan persetujuan). Uji klinis ini terdaftar dalam ISRCTN, dengan nomor ISRCTN22567894.
Hasil: Antara 17 Juli 2015 dan 7 April 2018, 1432 pasien dievaluasi berdasarkan kriteria eligibilitas. Setelah mengeksklusi pasien yang tidak memenuhi kriteria, 404 pasien dirandomisasi. Setelah mengeksklusi subjek yang tidak mendapatkan tata laksana lini dua dan subjek yang tidak memberikan persetujuan, 286 subjek yang dirandomisasi mendapatkan tata laksana dan diambil datanya: 152 dialokasikan ke dalam kelompok levetiracetam dan 134 ke dalam kelompok phenytoin.
Kejang status epileptikus berhenti pada 106 (70%) anak pada kelompok levetiracetam dan pada 86 (64%) anak dalam kelompok phenytoin. Median waktu sejak randomisasi sampai dengan berhentinya kejang status epileptikus adalah 35 menit pada kelompok levetiracetam dan 45 menit pada kelompok phenytoin.
Satu subjek yang mendapat levetiracetam dan selanjutnya mendapatkan phenytoin meninggal karena edema serebral katastrofik yang tidak berhubungan dengan kedua obat yang diteliti. Satu subjek yang mendapat phenytoin mengalami efek samping serius yang berhubungan dengan pengobatan (hipotensi dianggap dapat mengancam jiwa secara langsung [efek samping serius] dan peningkatan kejang fokal dan penurunan kesadaran dianggap bermakna secara medis [dicurigai sebagai reaksi simpang yang tidak diharapkan]).
Interpretasi: Walaupun levetiracetam tidak lebih superior secara bermakna dibandingkan dengan phenytoin, hasil studi ini digabungkan dengan laporan profil keamanan sebelumnya dan perbandingan kemudahan pemberian levetiracetam, menyarankan bahwa levetiracetam dapat digunakan sebagai alternatif dari phenytoin sebagai pilihan pertama obat antikonvulsan lini kedua dalam tata laksana kejang status epileptikus pasien anak.
Ulasan Alomedika
Kedua jurnal ini membandingkan efikasi dan keamanan dua obat antikonvulsan lini kedua dalam menghentikan kejang status epileptikus pada anak. Obat yang dibandingkan adalah phenytoin dan levetiracetam untuk mengetahui mana yang merupakan pilihan terapi lebih baik berdasarkan uji klinis acak label terbuka.
Kedua uji klinis tersebut dilakukan karena belum terdapat bukti yang kuat mengenai perbandingan kedua obat tersebut sebagai terapi lini kedua dalam tata laksana kejang status epileptikus pasien anak. Beberapa studi melaporkan bahwa levetiracetam memiliki efikasi yang baik dalam menghentikan kejang status epileptikus pada anak dengan efek samping yang lebih jarang. Namun terdapat berbagai kekurangan dalam penelitian-penelitian tersebut, misalnya adanya bias seleksi, ukuran sampel yang kecil, dilakukan pada populasi dewasa, atau adanya heterogenitas luaran yang diteliti.
Ulasan Hasil Penelitian
Luaran utama dari studi EcLiPSE adalah durasi sejak randomisasi hingga berhentinya aktivitas kejang yang dinilai oleh dokter yang merawat. Hal ini kurang tepat, karena durasi tersebut juga mencakup durasi bebas kejang setelah pemberian obat lini pertama dan durasi lamanya kejang hingga obat diberikan, yang mungkin berbeda pada setiap pasien.
Selain itu, penilaian berhentinya kejang yang dilakukan bersifat subjektif oleh klinisi yang merawat. Penilaian ini akan lebih baik jika dilakukan oleh lebih dari satu orang klinisi, yang tidak mengetahui obat apa yang diberikan pada pasien. Hal ini penting agar tidak terdapat bias penilaian aktivitas kejang yang dipengaruhi oleh informasi mengenai obat yang diberikan.
Beberapa hal yang dapat memberikan informasi tambahan mengenai efikasi obat, seperti pemberian obat antikejang lain atau obat-obatan anestesi dalam tata laksana kejang, dan perawatan di unit rawat intensif setelah pemberian obat, dievaluasi sebagai luaran sekunder.
Pada studi ConSEPT, luaran primernya adalah berhentinya aktivitas kejang 5 menit setelah obat selesai diberikan melalui infus, yaitu 10 menit setelah pemberian levetiracetam dan 25 menit setelah pemberian phenytoin. Penilaian aktivitas kejang tersebut dilakukan oleh klinisi yang merawat dan direkam dengan video. Meskipun penilaian ini bersifat subjektif, aktivitas kejang juga direkam dengan video, untuk selanjutnya diinterpretasi oleh beberapa klinisi yang tidak mengetahui obat yang diberikan.
Luaran sekunder yang diteliti dalam penelitian ini mencakup beberapa variabel yang menggambarkan efikasi obat yang diteliti, yaitu berhentinya aktivitas kejang dan perlunya rapid sequence induction (RSI) 2 jam setelah pemberian obat tanpa pemberian obat antikejang lainnya, durasi waktu hingga berhentinya kejang, serta perlunya perawatan di unit rawat intensif. Meskipun pemantauan dilakukan hanya 2 jam setelah pemberian obat, hal ini sudah tepat karena waktu kerja leviracetam 1,5 jam dengan waktu paruh 6-8 jam.
Pada studi EcLiPSE, evaluasi tentang keamanan dari kedua obat yang diteliti dilakukan dengan mendata temuan efek samping yang terjadi pada pasien setelah pemberian obat. Dalam studi ini, efek samping dijabarkan secara rinci.
Pada studi ConSEPT, evaluasi keamanan tidak hanya meliputi efek samping, namun juga kebutuhan intubasi, ventilasi tekanan positif, dan resusitasi jantung paru.
Kelebihan Penelitian
Kelebihan kedua penelitian ini adalah meneliti secara spesifik pengobatan lini dua yang tercantum dalam pedoman klinis setempat mengenai tata laksana kejang status epileptikus pada anak. Kedua penelitian tersebut juga menambah wawasan literatur dalam melakukan penelitian tanpa persetujuan, yang merupakan hal penting dalam melakukan studi uji klinis dengan setting gawat darurat.
Kelebihan lain studi ConSEPT adalah melakukan perekaman video dalam mengevaluasi berhentinya aktivitas kejang, yang kemudian dinilai oleh lebih dari satu klinisi yang tidak mengetahui obat apa yang diberikan kepada pasien. Hal ini merupakan suatu upaya penilaian yang ‘lebih objektif’ dibandingkan dengan penilaian oleh klinisi yang merawat saja.
Limitasi Penelitian
Keterbatasan kedua penelitian tersebut mencakup desain studinya yang menggunakan desain label terbuka. Pada kedua penelitian tersebut tidak ada penyamaran bagi klinisi yang melakukan penilaian klinis setelah pemberian obat, sehingga memungkinkan adanya bias penilaian kejang.
Selain itu, berhentinya aktivitas kejang sebagai luaran primer pada kedua studi tersebut dievaluasi dengan penilaian klinis, sebuah parameter yang bersifat subjektif. Penilaian secara klinis ini juga bisa kurang akurat karena klinisi mungkin saja menganggap gerakan serupa kejang sebagai kejang. Pada kedua studi tidak dilakukan penilaian penghentian kejang secara objektif, misalnya dengan menggunakan EEG, namun hal ini bisa dimaklumi karena setting studi adalah instalasi gawat darurat.
Pada studi EcLiPSE, luaran primernya adalah waktu antara randomisasi hingga berhentinya kejang. Hal ini kurang menggambarkan efikasi obat karena dalam waktu tersebut juga tercakup waktu bebas kejang setelah pemberian obat lini pertama yang bervariasi antar pasien.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Ketersediaan kedua obat ini memungkinkan penerapan hasil studi pada fasilitas kesehatan sekunder dan tersier di Indonesia. Namun, hal ini perlu dikonfirmasi dengan penelitian serupa di Indonesia untuk mengevaluasi efikasi spesifik pada populasi anak di Indonesia. Hal ini karena adanya perbedaan karakteristik populasi, misalnya penyebab dasar kejang status epileptikus dan pilihan obat antikejang oral yang digunakan sebagai rumatan di Indonesia. Selain itu, sebelum hasil studi ini diaplikasikan di Indonesia, perlu dilihat juga perbandingan efikasi dan keamanan levetiracetam dengan asam valproat, yang juga merupakan obat antikejang lini kedua yang dipakai secara luas di Indonesia.