COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 varian delta telah menjadi variant of concern karena menyebabkan peningkatan kasus yang cepat di seluruh dunia. Dokter dan tenaga kesehatan perlu memahami varian delta, terutama implikasinya terhadap karakter transmisi penyakit, tingkat keparahan penyakit (morbiditas dan mortalitas), dan pengaruhnya terhadap pemeriksaan diagnostik serta efikasi vaksin COVID-19. Juga mengetahui tentang epidemiologi, letak mutasi, dan patogenesisnya.
Epidemiologi SARS-CoV-2 Varian Delta
SARS-CoV-2 varian delta pertama kali teridentifikasi di Maharashtra India, pada bulan Desember 2020. Kemudian menyebar dengan cepat dan mengakibatkan peningkatan kasus harian COVID-19 hingga 30.000 kasus di New Delhi pada akhir April 2020. Pada bulan Juni 2021, varian Delta telah menjadi penyebab gelombang baru COVID-19 di Inggris, di mana varian ini telah menjadi 90% penyebab COVID-19.[1-3,8]
Di Indonesia, varian delta telah terdeteksi di beberapa wilayah. Pada pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) terhadap 70 sampel acak pasien COVID-19 di Kudus, Jawa Tengah setelah libur Idul Fitri 2021, ditemukan 82% sampel merupakan varian delta.[7]
Varian delta telah diklasifikasikan sebagai variant of concern oleh WHO, Public Health England (PHE), dan Centers for Disease Control (CDC). Dipercaya varian ini memiliki kemampuan transmisi yang tinggi, serta kemampuan penghindaran terhadap imunitas akibat riwayat infeksi atau vaksinasi COVID-19 sebelumnya.[1-3]
Penamaan Varian SARS CoV-1
Setiap virus, termasuk SARS-CoV-2, akan mengalami mutasi yang dapat mempengaruhi karakteristik virus. Dalam penanganan COVID-19, terdapat berbagai sistem penamaan terhadap varian baru SARS-CoV-2, di mana label paling sering digunakan adalah label WHO dan label Pango.
WHO mengelompokkan berbagai varian baru virus yang memiliki risiko tertentu terhadap penanggulangan pandemi menjadi dua kelompok, yaitu Variants of Interest (VOI) dan Variants of Concern (VOC). VOI merupakan varian yang telah teridentifikasi menyebabkan transmisi dalam lingkup komunitas atau terdeteksi pada beberapa negara, seperti varian zeta (P.2), eta (B.1.525), dan kappa (B.1.617.1).[3,4]
Sedangkan VOC merupakan VOI yang terbukti menyebabkan perubahan pada kemampuan transmisi, virulensi, dan gejala. VOC juga terbukti mengubah efektifitas dari upaya pengendalian penyakit, termasuk pemeriksaan diagnostik dan tata laksana. Saat ini yang masuk dalam VOC adalah varian alfa (B.1.1.7), beta (B.1.351), dan delta (B.1.617.2). Status VOI dan VOC akan terus berubah sesuai hasil penelitian dan pengamatan virus.[3,4]
Letak Mutasi SARS-CoV-2 Varian Delta
Varian Delta dengan label Pango B.1.617.2 merupakan varian yang telah termasuk dalam variant of concern (VOC), karena penyebarannya yang cepat dan kemungkinan kemampuannya dalam menghindari kekebalan dari vaksin. Belum ada data yang cukup mengenai mutasi virus ini, tetapi diperkirakan terdapat dua atau lebih mutasi protein spike yang berperan.[5,6]
Salah satu mutasi yang diyakini menjadi karakteristik khas varian delta adalah P681R, yang terjadi di dekat furin cleavage site. Furin cleavage site merupakan bagian dari protein spike yang memiliki peran penting dalam virulensi dan patogenesis SARS-CoV-2. Sehingga mutasi P681R mempengaruhi dinamika replikasi virus dan meningkatkan kemampuan virus dalam menginfeksi sel saluran napas.[5,6]
Selain itu, terdapat mutasi lain seperti mutasi L452R yang meningkatkan kemampuan infeksi dan fusi ke sel, serta mutasi E484Q yang menyebabkan resistensi terhadap neutralizing antibodies (NAb) dari riwayat infeksi maupun vaksinasi COVID-19.[5,6]
Patogenesis SARS-CoV-2 Varian Delta
Mutasi pada virus SARS-Cov-2 varian delta meningkatkan kemampuan replikasi, infeksi, dan fusi virus ke dalam sel saluran napas. Kemampuan tersebut menyebabkan peningkatan viral load pada orang yang terinfeksi. Hal ini didukung dari hasil pemeriksaan PCR COVID-19 pada orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 varian delta, yaitu menunjukkan nilai cycle threshold (CT) value yang cenderung lebih rendah.[1,5,6]
Viral load yang tinggi menjelaskan kemungkinan penyebab varian delta memiliki kecepatan transmisi yang tinggi, serta menyebabkan pasien lebih cepat terinfeksi dengan paparan virus yang rendah.[1,5,6]
Implikasi Varian Delta Terhadap Transmisi, Morbiditas, dan Mortalitas
Pada penelitian oleh Campbell et al terhadap 1.722.652 data sequence COVID-19, ditemukan peningkatan transmisi varian delta hingga 97% dari SARS-CoV-2 referensi ( Wuhan-Hu-1). Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan variant of concern lainnya, seperti alfa pada 29%, beta pada 25%, dan gamma pada 38%.[7-9]
Belum banyak data mengenai morbiditas COVID-19 yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 varian delta. Penelitian oleh Sheikh et al pada pasien COVID-19 di Skotlandia mendapatkan varian delta sebagian besar menginfeksi pasien usia lebih muda. Selain itu, pasien terinfeksi varian delta berisiko 2 kali lebih besar membutuhkan rawat inap daripada varian alfa. Risiko ini semakin meningkat pada pasien dengan komorbiditas.[1,10]
Hingga saat ini, belum ada data mengenai mortalitas COVID-19 akibat varian delta. Namun, diduga varian delta tidak menyebabkan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan varian lainnya.[1,10]
Implikasi Varian Delta Terhadap Pemeriksaan Diagnostik
Mutasi SARS-CoV-2 dapat mempengaruhi manajemen COVID-19, termasuk pemeriksaan diagnostik molekuler, seperti pemeriksaan antigen rapid diagnostic test (RTA) maupun polymerase chain reaction test (PCR). Food and Drug Administration (FDA) Amerika telah merekomendasikan klinisi untuk mewaspadai kemungkinan false negative pada pemeriksaan diagnostik molekuler akibat mutasi SARS-CoV-2. VOC varian alfa (B.1.1.7) diketahui menyebabkan penurunan sensitivitas beberapa produk pemeriksaan diagnostik molekuler.
Hingga saat ini, belum ada data mengenai implikasi varian delta terhadap pemeriksaan diagnostik molekuler, karena mutasi yang telah diketahui pada varian delta tidak berkaitan dengan pemeriksaan diagnostik. Namun, klinisi tetap perlu mewaspadai kemungkinan false negative pada pemeriksaan terhadap pasien COVID-19 varian delta.[6,11]
Implikasi Varian Delta Terhadap Vaksinasi COVID-19
SARS-CoV-2 varian delta dicurigai memiliki kemampuan menghindari neutralizing antibodies (NAb) dari vaksinasi COVID-19. Hal ini diketahui dari munculnya outbreak COVID-19 pada petugas kesehatan di India yang telah menerima vaksinasi ChadOx-1 (vaksin Oxford-AstraZeneca), dengan hasil pemeriksaan genome sequencing menunjukkan dominasi infeksi varian delta.[12,13]
Pada populasi petugas kesehatan, penelitian menunjukkan transmisi varian delta lebih cepat dibandingkan varian lainnya. Namun, penelitian juga memberikan hasil bahwa dua jenis vaksin, Oxford-AstraZeneca (ChAdOx1) dan Pfizer-BioNTech (BNT162b2), masih dapat memberikan imunitas terhadap varian delta meskipun dengan efikasi yang menurun jika dibandingkan dengan varian alfa.[12,13]
Satu dosis vaksin Oxford-AstraZeneca maupun Pfizer-BioNTech dapat mengurangi risiko terjadinya gejala COVID-19 akibat infeksi varian delta sebesar 33%. Lebih rendah daripada mengurangi risiko COVID-19 varian alfa yang mencapai 93%.[12,13]
Dosis kedua vaksin Oxford-AstraZeneca meningkatkan perlindungan terhadap varian delta hingga 50%. Sedangkan dosis kedua vaksin Pfizer-BioNTech meningkatkan perlindungan terhadap varian delta hingga 66%. Keduanya lebih rendah daripada mengurangi risiko varian alfa, di mana dosis kedua vaksin Oxford-AstraZeneca melindungi hingga 60% dan vaksin Pfizer-BioNTech hingga 88% terhadap varian alfa.[12,13]
Vaksin lain yang digunakan luas di Indonesia, yaitu vaksin Sinovac (CoronaVac), belum diketahui efektifitasnya dalam perlindungan terhadap varian delta.
Kesimpulan
Berdasarkan kategori WHO, SARS-CoV-2 varian Delta (B 1.167.2) telah masuk dalam kelompok variant of concern (VOC). Varian ini telah teridentifikasi menyebabkan transmisi dalam lingkup komunitas atau terdeteksi pada beberapa negara, dan telah terbukti menyebabkan perubahan pada kemampuan transmisi, virulensi, dan gejala penyakit.
SARS-CoV-2 varian delta telah menyebar dan menyebabkan perubahan pada epidemiologi pandemi COVID-19. Varian Delta diketahui memiliki kemampuan transmisi yang cepat dan penghindaran kekebalan (neutralizing antibodies), baik dari riwayat infeksi maupun riwayat vaksinasi COVID-19 sebelumnya.
Belum ada data yang cukup mengenai morbiditas dan mortalitas varian delta, tetapi varian ini diketahui meningkatkan risiko kebutuhan rawat inap pasien COVID-19, dengan peningkatan risiko pada pasien dengan komorbiditas. Saat ini, terdapat dua jenis vaksin yang memberikan imunitas terhadap COVID-19 akibat varian delta, yaitu Oxford-AstraZeneca (ChAdOx1) dan Pfizer-BioNTech (BNT162b2). Meskipun kedua vaksin tersebut tidak lebih efektif dibandingkan mengurangi COVID-19 akibat varian lain.