Mayoritas konjungtivitis akut disebabkan oleh infeksi virus dan alergi. Namun, banyak pasien mendapat terapi antibiotik, walaupun sebenarnya konjungtivitis virus bisa sembuh sendiri (self limiting).
Konjungtivitis akut adalah inflamasi konjungtiva dengan durasi kurang dari 4 minggu. Konjungtivitis menduduki peringkat 10 besar penyakit yang sering ditemui pada rawat jalan di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa konjungtivitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktik klinis sehari-hari.[1,2]
Alasan Penggunaan Antibiotik untuk Konjungtivitis Akut dan Risikonya
Virus (60-80%) dan allergen merupakan etiologi utama konjungtivitis akut pada orang dewasa. Konjungtivitis akut umumnya bersifat self-limited dan biasanya sembuh dalam 7-14 hari tanpa pemberian antibiotik, sehingga tata laksana utama yang dianjurkan adalah terapi suportif. Tetes mata antibiotik lebih dianjurkan pada pasien dengan konjungtivitis bakterial akut yang berat.[1,3–6]
Walaupun tata laksana yang dianjurkan adalah terapi suportif, masih banyak pasien yang tetap mendapatkan antibiotik topikal sebagai tata laksana empiris. Hal ini karena adanya persepsi bahwa antibiotik “tidak berbahaya”; kesulitan membedakan konjungtivitis virus dan bakteri; serta adanya keinginan praktisi untuk meminimalisir kemungkinan komplikasi akibat infeksi bakteri, padahal komplikasi berat konjungtivitis akut, yaitu keratitis, jarang terjadi dan tidak ada bukti bahwa penggunaan antibiotik dapat mengurangi risiko komplikasi tersebut.[1,3–5,7]
Antibiotik topikal bersifat toksik untuk permukaan mata, dapat menimbulkan resistensi bila digunakan secara irasional, dan tentunya memakan biaya pengobatan. Maka dari itu, American Academy of Ophthalmology (AAO) menyarankan untuk menunda pemberian antibiotik pada konjungtivitis virus dan pada kasus konjungtivitis yang etiologinya belum diketahui.[5,7]
Komplikasi Pemberian Antibiotik Topikal
Penggunaan antibiotik yang tidak pada tempatnya dapat memberikan beberapa dampak, antara lain meningkatkan pengeluaran yang tidak diperlukan untuk pembelian antibiotik (tidak cost-effective), meningkatnya risiko resistensi antibiotik, dan gangguan flora normal di permukaan mata. Sebanyak empat dosis pemberian tetes mata antibiotik dapat memberikan perbedaan signifikan pada flora mata dan meningkatkan risiko terjadinya multidrug-resistant.[3,5,9,13]
Selain itu, 20% antibiotik topikal yang digunakan tersedia dalam bentuk kombinasi dengan kortikosteroid. Kortikosteroid diketahui dapat meningkatkan shedding adenovirus (60-95% etiologi konjungtivitis virus), namun di sisi lain juga dapat memperpanjang durasi infeksi virus dan risiko reaktivasi infeksi laten herpes okular.[1,3,5,11,13]
Komplikasi lain yang serius adalah reaksi alergi terhadap antibiotik yang diberikan. Gejala yang timbul antara lain epiphora, edema kelopak mata, chemosis, injeksi konjungtiva, hiperemi, dan rhinitis dalam 30 menit sampai dengan 24-72 jam setelah dilakukan tetesan obat mata.[14,15]
Membedakan Konjungtivitis Virus dan Bakteri
Kesulitan membedakan antara konjungtivitis akut yang disebabkan oleh bakteri dan virus menjadi salah satu alasan seringnya penggunaan antibiotik. Konjungtivitis secara umum ditandai dengan eritema dan injeksi konjungtiva. Pada sebagian kecil pasien, ditemukan adanya keterlibatan kelopak mata dan limfadenopati. Gejala lain konjungtivitis akut adalah pruritus ringan, sensasi benda asing, fotofobia ringan, tanpa penurunan tajam penglihatan.[5,6,8]
Konjungtivitis Bakteri
Adanya krusta yang terbentuk terutama saat bangun tidur dan sekret yang hiperpurulen (Gonococcus) atau mukopurulen (non gonococcal), mengindikasikan konjungtivitis bakteri. Diagnosis pasti didapatkan dengan melakukan kultur dari sampel swab konjungtiva yang terinfeksi, namun metode ini dapat memberikan hasil false positive karena adanya flora normal pada permukaan konjungtiva.[1,8–10]
Sekret purulen pada konjungtivitis bakteri ini tidak selalu muncul pada semua pasien, sehingga dapat menjadi salah satu penyulit dalam membedakan konjungtivitis virus dan bakteri. Studi yang dilakukan oleh Bhattacharyya et al. pada 110 responden dengan konjungtivitis bakteri menemukan bahwa sekret purulen dan mukopurulen hanya didapatkan pada 58,18% dan 41,8% responden.[8]
Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis virus biasanya unilateral, kemudian menjadi bilateral dalam beberapa hari, dengan disertai edema palpebra dan serta sekret mata yang berair (serosa). Fotofobia dan rasa gatal pada mata jarang ditemukan pada konjungtivitis virus. Fotofobia lebih sering ditemukan pada konjungtivitis bakteri, sedangkan rasa gatal lebih sering ditemukan pada konjungtivitis alergi. Deteksi antigen pada swab konjungtiva untuk mengetahui penyebab konjungtivitis virus memiliki sensitivitas 89% dan spesifitas 94%.[1]
Konjungtivitis virus juga dapat memberikan manifestasi berupa konjungtivitis hemoragik akut dan konjungtivitis folikular. Konjungtivitis hemoragik akut ditandai dengan perdarahan subkonjungtiva yang diawali petekie. Konjungtivitis folikular ditandai dengan terbentuknya folikel-folikel kecil pada konjungtiva palpebra. [1,11] Tabel 1 berisi ringkasan perbedaan konjungtivitis virus dan bakteri.
Tabel 1. Konjungtivitis Virus dan Bakteri
Konjungtivitis Virus | Konjungtivitis Bakteri |
| |
|
|
Sumber: dr. Felicia Sutarli, 2020
Apakah Pemberian Antibiotik Topikal Dapat Ditunda?
Konjungtivitis akut bersifat self-limiting, sehingga pemberian antibiotik topikal sebenarnya dapat ditunda. Selain itu, terdapat studi yang menunjukkan bahwa pemberian antibiotik topikal pada konjungtivitis bakterial hanya memberikan sedikit efek remisi gejala.[3,9,12]
Strategi tata laksana konjungtivitis akut yang disarankan adalah menunda pemberian antibiotik dan memberikan terapi suportif. Terapi suportif mencakup membersihkan mata dengan air steril dan bola kapas, kompres hangat, hand and eyelid hygiene, dan penggunaan air mata buatan secara temporer untuk mengurangi rasa tidak nyaman. Apabila dengan tata laksana suportif yang adekuat selama 2 hari tidak terjadi perbaikan gejala, maka baru dipertimbangkan pemberian antibiotik topikal.[9]
Uji klinis mengenai perbandingan pemberian antibiotik secepatnya dan yang ditunda pada 307 responden dewasa dan anak-anak dengan konjungtivitis akut, menunjukkan bahwa kedua kelompok memiliki durasi dan tingkat keparahan gejala yang mirip. Studi ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik dapat dikurangi, walaupun tentunya harus dibarengi dengan edukasi pasien mengenai, tata laksana suportif, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).[9]
Meskipun demikian, antibiotik dapat digunakan pada pasien dengan konjungtivitis akut yang berat, yang ditandai dengan lakrimasi berlebihan, kemerahan, serta edema pada konjungtiva dan fornix.[6]
Kesimpulan
Konjungtivitis akut adalah inflamasi pada konjungtiva yang bersifat self-limited, dengan durasi penyakit kurang dari 4 minggu. Konjungtivitis akut sering disebabkan oleh virus. Sifat natural konjungtivitis akut adalah self-limited, namun banyak pasien tetap diobati dengan antibiotik. Studi yang ada menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna terkait durasi dan tingkat keparahan penyakit antara pasien yang mendapat antibiotik topikal dengan yang tidak. Selain itu, penggunaan antibiotik yang irasional dapat menyebabkan peningkatan biaya pengobatan, risiko resistensi bakteri, perubahan flora normal mata, dan reaksi alergi. Antibiotik dapat dipertimbangkan pada kasus konjungtivitis bakterial akut yang berat atau jika gejala tidak membaik setelah 2 hari terapi suportif.