Menyusui dianggap sebagai mekanisme penularan penyakit hepatitis B dan C secara vertikal yang paling umum terjadi. Sejumlah antigen seperti HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV telah terdeteksi ada dalam air susu ibu (ASI) sehingga ASI dianggap infeksius. Namun, berbagai penelitian membuktikan bahwa menyusui tidak meningkatkan risiko penularan hepatitis B dan C dari ibu ke anak.[1-3]
Bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif pada 3-4 bulan pertama telah ditemukan memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami beberapa masalah kesehatan seperti gastroenteritis, infeksi saluran pernapasan, otitis media, infeksi saluran kemih, alergi, dan necrotizing enterocolitis.
Selain itu, menyusui eksklusif juga dapat menurunkan risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2, kanker payudara, kanker ovarium, penyakit kardiovaskular, dan penurunan berat badan pasca partum pada ibu. Oleh karena itu, ASI sampai sekarang tetap menjadi pilihan utama, bahkan untuk anak dari ibu yang terinfeksi hepatitis B dan C.[4,5]
Keberadaan Virus Hepatitis B dan C pada ASI
Penemuan virus hepatitis B pada ASI penderita hepatitis B kronis sudah dilaporkan melalui beberapa studi. Ferrer AM, et al. meneliti tes serologi pada ASI penderita hepatitis B pasca melahirkan. Pada minggu ke-2 pasca melahirkan, HBV DNA ditemukan pada level yang cukup signifikan pada ASI dari kedua payudara. Selain itu, infeksi hepatitis B pada ASI penderita juga telah dikonfirmasi melalui kadar HBsAg yang positif. Hasil ini didukung oleh studi lain dengan ditemukannya titer HBeAg positif pada ASI penderita hepatitis B. Akan tetapi, pada minggu ke-12 setelah melahirkan, terdapat penurunan drastis baik pada level HBV DNA dan juga HBsAg, yang menjadi negatif saat bulan ke-6 pasca melahirkan.[2,6]
Virus hepatitis C juga telah dilaporkan ditemukan pada ASI dan/atau kolostrum penderita hepatitis C. Studi Extremera AR, et al. menemukan bahwa sekitar 20% ASI penderita hepatitis C memiliki kadar HCV RNA yang tinggi. Beberapa studi lainnya juga menemukan terdapatnya HCV RNA pada ASI penderita hepatitis C aktif.[3,7,8]
Bukti Klinis Hepatitis tidak ditransmisikan melalui ASI
Penemuan infeksi hepatitis pada ASI menimbulkan beberapa spekulasi mengenai transmisi hepatitis melalui ASI. Sebuah studi meta analisis oleh Zheng Y, et al. meneliti mengenai risiko infeksi hepatitis B pada bayi yang sudah divaksin hepatitis B dan pemberian ASI eksklusif dari ibu dengan hepatitis B kronis. Berdasarkan 32 studi, didapatkan hasil risk difference (RD) infeksi hepatitis B pada bayi konsumsi ASI eksklusif dibandingkan susu formula sebesar -0,8% (95% confidence interval [CI]: -1,6%, 0,1%). Hal ini menunjukkan bahwa menyusui oleh ibu dengan hepatitis B kronis tidak meningkatkan risiko infeksi hepatitis B pada bayi yang sudah divaksinasi saat lahir. Umumnya, transmisi hepatitis B dari ibu ke bayi disebabkan oleh kontak darah saat lahir.[1]
Studi Montoya-Ferrer A, et al. dan studi lainnya juga menyatakan hal yang sama, bahwa ASI bukanlah rute efektif untuk transmisi hepatitis B. Hal ini juga didukung oleh studi dengan menggunakan mikroskop elektron yang memperlihatkan bahwa HBsAg pada ASI hanyalah partikel-partikel sehingga tidak efektif dalam menularkan penyakit.[1,2,6]
Sama halnya dengan hepatitis B, transmisi virus hepatitis C melalui ASI juga sampai sekarang belum terbukti. Sebuah systematic review dari 14 studi kohort dengan 2971 partisipan juga tidak menemukan adanya hubungan antara menyusui pada penderita hepatitis C dengan risiko transmisi pada bayi. Sekitar satu dari tiga transmisi hepatitis C dari ibu ke bayi terjadi saat dalam kandungan pada masa akhir kehamilan.[3,8,9]
Penjelasan mengenai tidak terjadinya transmisi infeksi hepatitis dari ASI ke bayi sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, beberapa studi telah menyatakan bahwa ASI yang berisi laktoferin memiliki aktivitas antivirus yang berperan dalam melawan berbagai virus, seperti hepatitis, adenovirus, sitomegalovirus, virus herpes simpleks, dan human immunodeficiency virus (HIV).
Selain itu, terdapat studi juga menemukan bahwa laktoferin dan besi serta zink yang tersaturasi pada laktoferin dapat menginhibisi amplifikasi DNA virus hepatitis B. Selain itu, menyusui secara eksklusif juga dapat mencegah terjadinya stasis susu dan pembengkakan payudara yang dapat meningkatkan risiko peningkatan virus hepatitis pada ASI.[2,5]
Profilaksis Transmisi Hepatitis B dan C secara Vertikal
Vaksinasi hepatitis B sebagai tindakan preventif transmisi hepatitis B sudah terbukti efektif dan sudah diaplikasikan dalam praktik sehari-hari. Studi prospektif dari Zhang L, et al. meneliti efektivitas imunisasi dengan kombinasi immunoglobulin hepatitis B (HBIG) dan vaksin hepatitis B dalam pencegahan transmisi hepatitis B dari ibu HbsAg positif ke bayinya.
Berdasarkan total sampel 1202 ibu dengan hepatitis B aktif dan bayinya yang berumur 8-12 bulan yang sudah dilakukan imunisasi, didapatkan bahwa kegagalan imunoprofilaksis pada bayi yang menggunakan kombinasi vaksin hepatitis B dengan HBIG lebih rendah dibandingkan hanya menggunakan vaksin hepatitis B (7,9% vs 16,9%). Oleh sebab itu, penggunaan kombinasi vaksin hepatitis B dan HBIG ditemukan efektif dalam menurunkan transmisi vertikal dari ibu hepatitis B ke anaknya.[10,11]
Praktik penggunaan antivirus pada ibu hamil telah dilakukan untuk mencegah transmisi hepatitis vertikal saat intrauterin dan perinatal. Sebuah studi meta analisis telah membuktikan bahwa pemberian lamivudin dapat menurunkan risiko transmisi hepatitis B dari ibu ke anak sampai 80%. Beberapa obat lainnya, seperti tenofovir dan emtricitabine juga telah ditemukan memiliki efikasi dalam menurunkan transmisi ibu ke anak. Risiko transmisi vertikal hepatitis C juga sudah ditemukan menurun saat diberikan terapi antivirus, seperti sofosbuvir, ledipasvir, dan ombitasvir.[12,13]
Studi Seo KI, et al. telah membuktikan efikasi penggunaan antivirus pada trimester akhir dalam menurunkan risiko transmisi hepatitis dari ibu ke anak. Akan tetapi, waktu dan jangka pemberian terapi yang tepat masih belum dapat dipastikan. Selain itu, antivirus juga diketahui dapat disekresikan ke ASI dan mempunyai efek samping pada bayi seperti neutropenia. Oleh karena itu, pemberian terapi antivirus pada ibu yang sedang menyusui masih membutuhkan studi lebih lanjut.[2,13]
Rekomendasi Menyusui pada Ibu dengan Hepatitis B dan C
World Health Organization (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) merekomendasikan agar seluruh ibu penderita hepatitis B atau C disarankan untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi walaupun ditemukan virus hepatitis pada ASI penderita hepatitis B atau C. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga sudah mengeluarkan rekomendasi bahwa menyusui secara eksklusif aman untuk bayi dan ASI tidak dapat menularkan infeksi hepatitis dari ibu ke bayi.[9,11,14-16]
Kondisi Khusus Pemberhentian Menyusui pada Ibu dengan Hepatitis B dan C
Pada kondisi puting ibu penderita hepatitis B atau C mengalami perdarahan atau lecet maka sebaiknya praktik menyusui dapat dihentikan sementara. Hal ini disebabkan transmisi hepatitis B dan C dapat terjadi melalui darah dan sampai sekarang studi mengenai keamanannya masih sangat terbatas. Pemberian ASI dengan media lain, seperti cup feeder dan sendok, atau pemberian susu formula dapat diberikan sambil menunggu puting ibu sembuh sempurna.[9,14-16]
Rekomendasi Profilaksis Transmisi Hepatitis B dan C secara Vertikal
Pemberian kombinasi vaksin hepatitis B dan immunoglobulin hepatitis B (HBIG) dapat diberikan dalam kurang dari 24 jam pertama pada bayi lahir dari ibu dengan hepatitis B aktif untuk mencegah penularan. Dosis vaksinasi kedua, ketiga, dan seterusnya dapat mengikuti jadwal vaksinasi yang sudah ditentukan. Pemberian antivirus pada ibu yang sedang menyusui sampai sekarang masih dipertanyakan.[10,11]
Berdasarkan rekomendasi American Association for Study of Liver Diseases (AASLD) dan European Association for the Study of Liver (EASL), ibu tidak dilarang untuk memberikan ASI pada saat pengobatan antivirus sedang berlangsung. Antivirus yang direkomendasikan pada ibu menyusui adalah lamivudin, telbivudine, dan tenofovir. Akan tetapi, Asian Pacific Association for the Study of the Liver (APASL) merekomendasikan ibu yang sedang menjalani terapi antivirus untuk tidak menyusui bayinya dikarenakan keamanan obat pada bayi yang masih dipertanyakan.[9,15]
Kesimpulan
Menyusui seringkali dianggap dapat menularkan hepatitis B dan C secara vertikal. Virus hepatitis B dan C memang telah diteliti terdapat dalam ASI penderita, tetapi studi lain menunjukkan bahwa menyusui tidak meningkatkan risiko penularan hepatitis B dan C dari ibu ke anak.
Berbagai panduan, seperti World Health Organization (WHO), Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan agar ASI eksklusif tetap diberikan kepada bayi dengan ibu penderita hepatitis. Oleh karena itu, klinisi tidak perlu ragu untuk menyarankan ibu yang terinfeksi hepatitis B dan C agar tetap menyusui bayinya.
Pencegahan transmisi hepatitis B secara vertikal dapat dilakukan dengan imunisasi kombinasi antara vaksin hepatitis B dan immunoglobulin hepatitis B (HBIG) pada bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis B aktif. Pencegahan dengan antivirus juga telah ditemukan dapat menurunkan risiko transmisi hepatitis dari ibu ke anak. Akan tetapi pemberian antivirus pada ibu menyusui sampai sekarang masih kontroversi dan masih dibutuhkan studi lebih lanjut.