Hingga saat ini disentri yang disebabkan oleh shigella masih menjadi penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada anak di seluruh dunia. Menurut WHO, diare merupakan penyebab terbesar kedua terhadap tingginya angka mortalitas pada anak berusia <5 tahun dan sekitar 525.000 anak di seluruh dunia meninggal akibat diare setiap tahunnya.[1]
Salah satu penyebab tersering diare adalah infeksi saluran cerna, yang dapat disebabkan bakteri, virus, dan parasit. Penularan umumnya terjadi melalui makanan atau air minum yang terkontaminasi, atau dari orang ke orang akibat higiene yang buruk.[1]
Shigella sp. adalah bakteri gram negatif berbentuk batang dan merupakan penyebab utama terjadinya disentri basiler. Shigellosis merupakan penyebab terbesar kedua terjadinya diare cair pada anak berusia <5 tahun di negara yang tingkat pendapatannya rendah dan medium.[1]
Shigella menyebabkan 80-165 juta kasus diare per tahun dan >13% kasus berujung pada kematian. Shigellosis banyak dijumpai di negara-negara berkembang atau low- and middle-income countries (LMIC), termasuk di Indonesia. Artikel ini akan membahas lebih lanjut morbiditas dan mortalitas akibat Shigella pada anak-anak dengan disentri basiler di negara berkembang.[2,3]
Morbiditas Disentri Basiler Akibat Shigellosis Pada Anak-anak di Negara Berkembang
Angka morbiditas diare yang disebabkan oleh infeksi shigella hingga saat ini masih tinggi terutama pada negara yang sedang berkembang, dengan pendapatan menengah kebawah. Hal ini berkaitan dengan sulitnya akses ke layanan medis yang memadai, dan rendahnya tidak tersedianya sarana medis untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologi.[3,4]
Selain itu, kualitas air dan sanitasi yang buruk juga dikaitkan dengan tingginya infeksi shigella di negara yang sedang berkembang. Dan terakhir, sarana dan prasarana medis yang memadai baik untuk menegakkan diagnosis atau untuk pengobatan, sulit untuk didapatkan.[3,4]
Meskipun shigellosis terjadi secara global, tetapi burden of disease terbesar terdapat pada anak-anak di negara berpenghasilan rendah. Infeksi berulang seringkali ditemukan karena terdapat berbagai serotipe yang dapat menimbulkan infeksi. Shigella terdiri dari beberapa spesies yang tersebar di seluruh dunia. S. flexneri, S. boydii, dan S. dysenteriae sering dijumpai di negara-negara berkembang, sedangkan S. sonnei (spesies dengan virulensi terlemah) umum dijumpai di negara-negara maju dan biasanya menyebabkan diare cair disertai demam yang bersifat self-limiting.[4]
Di antara keempat spesies, S. boydii menyebabkan penyakit dengan keparahan sedang dan paling jarang ditemui. S. dysenteriae tipe 1 merupakan strain epidemi yang mengakibatkan penyakit berat yang dapat mengancam nyawa. Virulensi S. flexneri lebih lemah dibandingkan S. dysenteriae, tetapi dapat juga menyebabkan disentri dan nyeri perut. S. flexneri dikaitkan dengan durasi sakit, episode diare, durasi diare berdarah atau berlendir, dan tingkat rawat inap yang lebih tinggi dibandingkan S. sonnei.[4]
Shigella berpotensi menimbulkan epidemi pada kelompok usia anak-anak dan lansia. Infeksi berulang dapat memicu atau menimbulkan eksaserbasi malnutrisi, stunting, mengurangi fungsi imun, dan meningkatkan risiko terjadinya inflammatory bowel disease kronis di kemudian hari. Shigellosis juga dapat menghambat perkembangan kognitif anak, yang dalam jangka panjang dapat berdampak negatif pada kemampuan akademik dan status ekonominya.[3]
Shigellosis dapat menimbulkan komplikasi proktitis atau prolaps rektum pada bayi dan anak-anak akibat invasi organisme pada mukosa kolon yang menyebabkan inflamasi berat di rektum dan kolon bagian distal. Meskipun sangat jarang, perforasi kolon dapat terjadi pada bayi atau anak-anak dengan malnutrisi, dan dikaitkan dengan infeksi S. dysenteriae tipe 1 atau S. flexneri.[5]
Infeksi Shigella pada anak-anak di negara berkembang juga dikaitkan dengan komplikasi ekstra gastrointestinal, seperti bakteremia, hemolytic uremic syndrome (HUS), reaksi leukemoid, kejang, dan ensefalopati.[5]
Bakteremia terutama terjadi pada anak-anak dengan malnutrisi, terutama anak <5 tahun. Bakteremia akibat infeksi Shigella ditandai leukositosis, hipotermia, demam >39,50C, dehidrasi berat, dan letargi.[5]
Reaksi leukemoid (peningkatan leukosit hingga >50.000/mm3) terjadi pada 4% pasien dengan infeksi Shigella, terutama pada anak-anak 2-10 tahun, berdasarkan sebuah studi di Bangladesh.[5]
Kejang merupakan komplikasi neurologis paling sering pada Shigellosis. Kejang yang terjadi umumnya berkaitan dengan demam, peningkatan leukosit imatur, hiponatremi, dan hiperkalemia. Kejang biasanya berupa kejang umum. Kejang terjadi pada 10% pasien dari semua kelompok usia, dan paling sering terjadi pada anak <15 tahun. Ensefalopati dengan letargi, confusion, dan nyeri kepala dijumpai pada 40% anak-anak yang dirawat inap akibat infeksi Shigella.[5]
Meskipun relatif jarang terjadi, HUS adalah penyebab gagal ginjal akut paling sering pada bayi dan anak-anak. 90% kasus HUS pada anak terjadi setelah diare, yang dapat terjadi akibat infeksi S. dysenteriae tipe 1. HUS dapat muncul pada akhir minggu pertama setelah gejala disentri dengan manifestasi klinis berupa anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopenia, dan gagal ginjal akut.[5]
Balita, anak-anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, anak-anak yang baru sembuh dari campak, dan anak-anak dengan malnutrisi memiliki risiko morbiditas lebih tinggi. Apabila terinfeksi oleh Shigella, mereka akan memiliki klinis penyakit yang lebih berat dan lebih berisiko mengalami kematian.[6]
Mortalitas Disentri Basiler Akibat Shigellosis Pada Anak-anak di Negara Berkembang
Angka mortalitas tertinggi kedua pada seluruh usia di tahun 2016 disebabkan oleh shigellosis, yakni sebesar 212.438 kematian (13% dari total kematian akibat diare). Pada anak berusia <5 tahun, shigella menyebabkan kematian sebanyak 63.713 kasus.[3]
Tingkat mortalitas diare yang disebabkan oleh infeksi shigella mengalami penurunan dari sebanyak 6.45 kematian per 10.000 penduduk di tahun 1990 menjadi 2,87 kematian per 100.000 penduduk di tahun 2016. Namun demikian, shigellosis masih menjadi penyebab tingginya angka mortalitas pada penduduk di negara berkembang, khususnya Asia Selatan.[3]
Angka mortalitas tertinggi pada anak berusia <5 tahun yang disebabkan oleh shigellosis adalah di Sub Sahara Afrika Barat, yaitu sebesar 29.027 kematian. Angka mortalitas terendah akibat diare pada anak berusia <5 tahun adalah di Eropa Barat. Mortalitas disentri basiler dapat meningkat secara signifikan jika disertai bakteremia (20%) dan/atau HUS (>50%), terutama pada anak-anak dengan malnutrisi. Meskipun tidak dikaitkan dengan defisit neurologis tertentu, kejang pada kasus Shigellosis dikaitkan dengan risiko kematian lebih tinggi.[3,5]
Case fatality rate disentri basiler dapat mencapai 15% pada pasien dengan infeksi S. dysenteriae tipe 1 yang membutuhkan rawat inap. Angka tersebut meningkat seiring dengan keterlambatan berobat dan tatalaksana dengan antibiotik yang kurang efektif. Di negara-negara Timur Tengah dan Far East, angka mortalitas akibat infeksi S. dysenteriae dapat mencapai 20-25%.[6]
Kesimpulan
Infeksi shigella (shigellosis) merupakan penyebab terbanyak disentri yang mengakibatkan diare sedang hingga berat. Hal ini menjadikan shigella sebagai penyebab kematian kedua terbanyak akibat diare. Pada 2016, terdapat 63.713 kematian akibat Shigella pada anak-anak <5 tahun. Shigellosis banyak dijumpai di negara-negara berkembang atau low- and middle-income countries (LMIC). Spesies Shigella yang sering ditemukan di negara berkembang adalah S. flexneri, S. boydii, dan S. dysenteriae.
Infeksi Shigella pada anak-anak di negara berkembang dikaitkan dengan komplikasi ekstra gastrointestinal, seperti bakteremia, hemolytic uremic syndrome (HUS), reaksi leukemoid, kejang, dan ensefalopati. Bakteremia dan HUS dapat meningkatkan mortalitas secara signifikan. Kejang pada kasus infeksi Shigella pun dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.