Pencegahan penularan toxoplasmosis secara vertikal dari ibu hamil ke janin dapat dilakukan dengan deteksi dini, diikuti dengan pemberian spiramisin pada ibu. Hal ini dapat menurunkan angka kejadian infeksi kongenital hingga 60%.[1]
Toxoplasma gondii merupakan patogen yang dapat menginfeksi janin dalam kandungan yang ditransmisikan oleh darah ibu dan melewati sawar plasenta. Infeksi toxoplasmosis yang dapat menyebabkan kebutaan dan gangguan sistem saraf pusat pada janin ini dapat dicegah.[1]
Toxoplasmosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii. Penyakit ini sering kali asimtomatis atau menyebabkan gejala nonspesifik (flu-like symptoms). Toxoplasmosis dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok, yaitu didapat pada pasien imunokompeten, didapat atau teraktivasi ulang pada pasien imunodefisiensi, okular dan kongenital.[2,3]
Toxoplasmosis kongenital pada umumnya tidak menimbulkan gejala pada sekitar 75% bayi baru lahir yang terinfeksi. Semakin awal awitan infeksi dari Ibu, misalnya trimester pertama, semakin berat gejala toxoplasmosis kongenital yang timbul.[3]
Kematian janin dapat terjadi saat kehamilan sehingga menimbulkan aborsi spontan, atau lahir mati. Kelahiran prematur juga dapat disebabkan oleh infeksi toxoplasma. Gejala yang dapat timbul pada bayi dengan toxoplasmosis kongenital adalah keterlibatan susunan saraf pusat, korioretinitis, kalsifikasi intrakranial dan hidrosefalus.[3]
Transmisi Komunitas Toxoplasma gondii
Dua rute utama penularan Toxoplasma ke manusia adalah melalui oral dan kongenital. Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara seperti menelan daging dan makanan lain yang terinfeksi oleh T. gondii, termasuk air yang terkontaminasi, transplantasi atau transfusi darah terkontaminasi, dan penularan transplacental.[3]
Proses transmisi lainnya terjadi pada wanita yang terinfeksi kronis dan terjadi aktivasi ulang karena kondisi immunocompromised, misalnya menderita AIDS atau dalam pengobatan dengan kortikosteroid.[1]
Transmisi Toxoplasma gondii dari Ibu ke Janin
Risiko transmisi dari Ibu ke janin dipengaruhi oleh jumlah takizoit pada darah Ibu dengan parasitemia, indeks kematangan plasenta dan respon imunologi terhadap T. gondii. Penelitian di Brazil menemukan bahwa kontak intens dengan binatang peliharaan, misalnya anjing dan kucing, lingkungan kotor dengan banyak serangga, seperti kecoa dan tikus, status edukasi yang rendah, serta higienitas yang kurang baik merupakan faktor risiko terjadinya toxoplasmosis gestasional.[4]
Frekuensi transmisi vertikal toxoplasmosis meningkat seiring bertambahnya usia gestasi. Pada ibu hamil yang tidak diobati, angka penularan sekitar 25% pada trimester pertama, 54% pada trimester kedua, dan 65% pada trimester ketiga. Tidak ada bukti transmisi T. gondii melalui ASI atau kontak langsung.[1–3]
Pencegahan Infeksi Toxoplasma
Pencegahan infeksi toxoplasmosis kongenital melibatkan pencegahan infeksi primer pada ibu hamil atau pencegahan penularan transplasental setelah terjadi infeksi pada ibu dan pencegahan sekunder pada janin yang terinfeksi dan bayi baru lahir. Pencegahan sekunder ini bergantung pada deteksi dini dan inisiasi terapi yang tepat untuk anak.[3]
Pencegahan primer infeksi Toxoplasma rekomendasi dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) adalah sebagai berikut:
- Daging / unggas harus dimasak hingga matang (suhu setidaknya 71–74° C selama 3 menit)
- Buah dan sayuran harus dikupas atau dicuci bersih sebelum dimakan
- Talenan, piring, alat masak terkait, dan tangan harus selalu dicuci dengan air hangat dan sabun setelah kontak dengan daging mentah, unggas, makanan laut, atau buah-buahan atau sayuran yang tidak dicuci
- Wanita hamil harus mengenakan sarung tangan saat berkebun dan selama kontak dengan tanah atau pasir
- Wanita hamil harus menghindari membersihkan kotoran kucing[5]
Pemeriksaan Penunjang pada Toxoplasma
Toxoplasmosis pada ibu hamil sering tidak bergejala, sehingga edukasi dan deteksi dini dengan skrining serologi adalah strategi yang dapat dilakukan.[1]
Pemeriksaan Serologi
Infeksi Toxoplasma gondii dapat didiagnosis menggunakan tes serologi, ultrasonografi (USG), dan amniosentesis. Pemeriksaan serologi untuk toxoplasmosis yang umum dilakukan adalah pengukuran kadar IgM dan IgG anti toxoplasma. Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan pada awal trimester pertama kehamilan.[2,3]
Setelah infeksi akut, titer antibodi IgM akan naik dimulai hari ke 5, mencapai kadar maksimum pada bulan 1–2 dan tidak menutup kemungkinan untuk menetap selama beberapa tahun. Titer IgG biasanya terdeteksi dalam 1 sampai 2 minggu setelah infeksi akut, mencapai puncak pada 12 minggu sampai 6 bulan, dan biasanya tetap terdeteksi seumur hidup.[2,3]
Pasien dengan IgG dan IgM anti toxoplasma yang negatif tetap disarankan untuk pemeriksaan serial pada ibu hamil yang berisiko terkena infeksi selama kehamilan. Terdeteksinya antibodi IgG dan tidak adanya antibodi IgM menunjukkan infeksi lama. Hasil IgM anti toxoplasma yang positif sulit diinterpretasi karena mungkin mengindikasikan infeksi yang baru saja terjadi atau karena adanya kadar antibodi IgM yang rendah dari infeksi sebelumnya.[2]
Hasil tes IgM yang positif atau samar harus diikuti oleh pengujian konfirmasi atau jika dicurigai infeksi akut pengujian ulang IgM dan IgG dianjurkan dalam 2 hingga 3 minggu setelahnya. Kenaikan 4 kali lipat titer antibodi IgG pada tes serial menunjukkan infeksi baru.[2,3]
PCR Amniocentesis
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dari cairan amnion dilakukan pada usia kehamilan 18 minggu (waktu optimal) atau sesegera mungkin pada wanita hamil dengan kecurigaan toxoplasmosis. Secara statistik sensitivitas pemeriksaan ini paling tinggi hasilnya ketika infeksi ibu terjadi pada usia kehamilan 17–21 minggu.[6]
Pemeriksaan PCR pada cairan amnion dipertimbangkan untuk wanita hamil (tanpa kontraindikasi untuk prosedur) dengan kondisi berikut:
- Memiliki hasil tes serologi sugestif infeksi yang diperoleh selama kehamilan atau sesaat sebelum pembuahan
- Memiliki bukti gangguan janin dengan pemeriksaan ultrasonografi (contoh: ventrikulomegali atau kalsifikasi hepar atau otak), atau
- Dalam kondisi imunosupresi, kecuali pada infeksi HIV, karena risiko menginfeksi janin selama amniosentesis[1]
Ultrasonografi Janin
Pemeriksaan ultrasonografi direkomendasikan untuk wanita yang dicurigai atau didiagnosis terinfeksi akut selama atau sesaat sebelum kehamilan. Sekitar dua pertiga kasus toxoplasmosis kongenital tidak menunjukkan kelainan apapun pada pemeriksaan ultrasonografi. Temuan sonografi positif untuk infeksi T. gondii antara lain kalsifikasi intrakranial, mikrosefali, hidrosefalus, pelebaran ventrikel, hepatosplenomegali, asites, dan retardasi pertumbuhan intrauterin yang berat.[2]
Kriteria Diagnosis Toxoplasma Kongenital
Kriteria diagnostik untuk toxoplasma kongenital berdasarkan American Academy of Pediatrics adalah salah satu di antara pilihan berikut:
- IgG anti toxoplasma yang persisten selama 12 bulan dari kelahiran (baku emas)
- IgG dan IgM yang positif dengan atau tanpa IgA anti toxoplasma positif
- Hasil positif dari PCR dari cairan amnion
- IgG positif tanpa IgM dan/atau IgA anti toxoplasma dengan pemeriksaan serologi yang mengarahkan pada infeksi akut ibu saat kehamilan dan gejala dari toxoplasmosis kongenital[7]
Pengobatan Toxoplasmosis pada Wanita Hamil
Spiramisin, obat golongan makrolid, tidak dapat menembus sawar plasenta tetapi terkonsentrasi dalam plasenta, sehingga tidak dapat digunakan untuk kasus infeksi janin yang sudah dikonfirmasi dengan PCR, namun dapat mencegah transmisi vertikal.[8]
Spiramisin diberikan pada usia gestasi di bawah 18 minggu pada wanita hamil dengan kecurigaan adanya infeksi Toxoplasma. Negative conversion rate yang digunakan sebagai prediktor efektivitas pengobatan spiramisin pada populasi umum untuk infeksi toxoplasma adalah 84.3%.[8]
Spiramisin dapat diberikan melalui rute oral dalam dosis 1 gram sebanyak 3 kali per hari, selama 18 minggu pertama kehamilan, atau sepanjang masa kehamilan jika hasil PCR amniosentesis dinyatakan negatif. Beberapa studi meragukan efektivitas dari spiramisin sebagai profilaksis, tetapi penelitian-penelitian ini menggunakan sampel yang relatif kecil dan desain penelitian yang kurang dalam pengacakan sampel dan kontrol.[1,9]
IDSA (Infectious Disease Society of America) tetap merekomendasikan pemberian spiramisin untuk wanita dengan kecurigaan atau sudah dikonfirmasi infeksi T. gondii akut pada 18 minggu pertama kehamilan. Spiramisin dapat diteruskan selama masa kehamilan bila hasil PCR dari amniosentesis dinyatakan negatif.[1,9]
Meta analisis tahun 2021 mendapatkan penurunan transmisi toksoplasmosis secara vertikal setelah pemberian spiramisin pada ibu hamil yang didiagnosis atau diduga terinfeksi T. gondii.[10]
Kesimpulan
Toxoplasmosis, penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii dapat menginfeksi orang pada umumnya, ibu hamil dan janinnya. Sebagian besar toxoplasmosis tidak menimbulkan gejala, sehingga pemeriksaan serologi rutin pada Ibu hamil direkomendasikan. Pencegahan dini pada wanita hamil dengan infeksi toxoplasma dengan spiramisin dapat menurunkan angka kejadian infeksi kongenital hingga 60%.[1]
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan adalah IgG dan IgM anti toxoplasma pada darah yang dapat menunjukkan adanya infeksi lama ataupun infeksi akut. Kenaikan 4 kali lipat titer antibodi IgG menunjukkan infeksi baru. Konfirmasi infeksi akut (titer IgM yang positif) yang menyebabkan infeksi pada janin dapat dilakukan dengan amniosentesis dan PCR (Polymerase Chain Reaction) pada cairan amnion.[2]
Pencegahan yang dapat diberikan pada wanita dengan kecurigaan infeksi Toxoplasma dan dengan usia gestasi di bawah 18 minggu adalah pemberian spiramisin.[9,10]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra