Pendekatan diagnostik laboratorium pada kasus antiphospholipid syndrome (APS) harus dilakukan pada waktu yang tepat. Pemeriksaan pada fase akut dapat memberikan hasil positif palsu, tetapi pemeriksaan laboratorium penting untuk dapat mencegah pasien mengalami catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS) yang dapat mengancam nyawa.[1-4]
Sekilas Mengenai Antiphospholipid Syndrome
Antiphospholipid syndrome (APS), atau yang dulu dikenal sebagai Hughes Syndrome, adalah gangguan autoimun sistemik dengan karakteristik terjadi trombosis vena atau arteri yang rekuren, dengan atau tanpa morbiditas kehamilan, dan pada pemeriksaan laboratorium ditemukan antiphospholipid antibodies (aPL) yang persisten.[1-4]
Prevalensi Antiphospholipid Syndrome
Insidensi APS adalah 5 kasus baru dalam 100.000 populasi per tahun, dengan prevalensi 40−50 kasus per 100.000 individu. Prevalensi terjadinya APS pada pasien asimptomatik adalah 1−5%, dan meningkat menjadi 16−44% pada pasien dengan trombosis ataupun morbiditas kehamilan.[1-4]
APS merupakan penyakit autoimun sistemik dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. APS menjadi penyebab 6% morbiditas kehamilan, 13,5% stroke, 11% infark miokardium, dan 9,5% deep vein thrombosis (DVT).[1-4]
APS dapat terjadi secara primer maupun sekunder. APS primer terjadi pada individu tanpa kondisi atau penyakit penyerta lain, sedangkan APS sekunder terjadi pada individu yang menderita kelainan autoimun lain, seperti systemic lupus erythematosus (SLE), rheumatoid arthritis (RA), systemic sclerosis, atau dermatomyositis.[3-5]
Manifestasi Klinis Antiphospholipid Syndrome
Gambaran klinis APS dapat bervariasi dari tidak adanya gejala hingga terjadinya catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS). Manifestasi klinis APS meliputi episode trombosis pada vena, arteri, atau pembuluh darah kecil yang menyerang berbagai organ maupun jaringan. Manifestasi APS yang paling sering terjadi adalah:
- Tromboemboli vena, yaitu DVT (31,7%), tromboflebitis superficial (9,1%), dan emboli paru (9%)
- Trombosis arteri, yaitu stroke (13%), transient ischaemic attack (7%), dan infark miokardium (2,8%)
- Morbiditas kehamilan pada pasien APS dapat berupa abortus berulang (53,8%), kematian janin (31,2%), preeklampsia (9,5%), eklampsia (4,4%), dan abrupsio plasenta (2%)
- Manifestasi lain yang tidak termasuk dalam kriteria klasifikasi diagnosis (manifestasi non-kriteria APS), di antaranya livedo reticularis, Libman-Sacks endocarditis (lesi katup jantung), trombositopenia, trombosis vena superfisial, nefropati, migraine, chorea, epilepsi, dan mielitis transversa[4-6]
Sebagian kecil penderita APS (<1%) dapat mengalami CAPS, yaitu varian APS yang langka tetapi mengancam nyawa. Karakteristik CAPS adalah:
- Trombosis pada pembuluh darah kecil yang menyerang lebih dari 3 organ, dalam waktu kurang dari 1 minggu
- Terdapat aPL dan konfirmasi histopatologi berupa trombosis tanpa inflamasi pada pembuluh darah[3-5]
CAPS biasanya terjadi akibat adanya faktor pencetus seperti infeksi. CAPS memiliki tingkat mortalitas yang tinggi (50%), yang seringkali diakibatkan oleh trombosis serebral dan jantung, infeksi, dan gagal organ multipel.[3-5]
Pemeriksaan Laboratorium Antiphospholipid Syndrome
Antiphospholipid syndrome (APS) merupakan kelainan otoimun dengan karakteristik laboratorium terdapat antiphospholipid antibodies (aPL) yang persisten. Autoantibodi aPL meliputi lupus anticoagulant (LA), anticardiolipin (aCL), dan anti-beta-2 glycoprotein (anti-β2GPI).[5,7]
Lupus Anticoagulant (LA)
LA diyakini menjadi pemeriksaan pilihan untuk mendeteksi aPL yang relevan secara klinis. Pemeriksaan LA sebaiknya dilakukan sebelum terapi antikoagulan diberikan pada pasien. Secara umum, pemeriksaan LA dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu skrining, mixing, dan konfirmasi.[5,7]
Pemeriksaan Skrining:
Pemeriksaan tahap pertama ini dilakukan untuk mengidentifikasi pemanjangan pemeriksaan koagulasi, yaitu dengan pemeriksaan activated partial thromboplastin time (aPTT) dan dilute Russell’s viper venom time (dRVVT).[5,7]
Pemeriksaan Mixing:
Pemeriksaan berikutnya dilakukan untuk mengevaluasi kemungkinan terdapatnya defisiensi faktor koagulasi yang menyebabkan pemanjangan waktu pembekuan. Bila pemanjangan koagulasi diakibatkan oleh defisiensi faktor, maka penambahan plasma normal akan mengakibatkan waktu pembekuan menjadi normal pada pengulangan pemeriksaan. Namun apabila terdapat LA pada plasma pasien, maka waktu pembekuan akan tetap memanjang walaupun telah ditambahkan plasma normal.[5,7]
Pemeriksaan Konfirmasi:
Pemeriksaan terakhir sebagai konfirmasi adalah dengan menambahkan fosfolipid ekstra untuk menetralisasi inhibitor koagulasi dependen fosfolipid yang akan menormalkan hasil pemeriksaan waktu pembekuan. [5,7]
Hasil pemeriksaan LA harus selalu dihubungkan dengan profil aPL lainnya. Adanya kenaikan titer aCL dan anti-β2GP1 dengan hasil pemeriksaan LA yang positif menunjukkan pasien memiliki risiko tinggi untuk terjadinya trombosis. LA merupakan tes prediktif untuk terjadinya trombosis pada penderita APS. Pemeriksaan LA positif yang diikuti dengan hasil aCL atau anti-β2GPI yang positif akan meningkatkan spesifisitasnya dalam mendiagnosis APS.[7,8]
Anti-Cardiolipin (aCL)
aCL adalah protein dalam tubuh yang bekerja melawan kardiolipin. Kardiolipin dan fosfolipid adalah molekul lipid yang ditemukan pada membran sel dan trombosit, yang memiliki peranan penting dalam pengaturan pembekuan darah. Ketika antibodi dihasilkan melawan kardiolipin, hal ini akan mengakibatkan peningkatan resiko pembentukan bekuan darah pada arteri dan vena.[5,7]
Pemeriksaan aCL dilakukan dengan menggunakan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) yang mendeteksi isotipe IgG dan IgM sebagai kriteria diagnosis APS. Hasil aCL positif tanpa manifestasi klinis tidak dapat menegakkan diagnosis APS. Hasil aCL positif hanya bermakna apabila disertai dengan manifestasi trombosis dan keguguran berulang.[5,7]
Hasil aCL harus positif setidaknya dalam dua kali pengambilan sampel dengan jarak waktu minimal 12 minggu untuk memastikan diagnosis. aCL dapat ditemukan meningkat pada penderita APS dan SLE. Sekitar 40% penderita SLE menunjukkan hasil aCL yang positif. Hal ini menunjukkan risiko yang lebih besar menderita APS di masa depan.[7,8]
Anti-Beta2 Glycoprotein (anti-β2GPI)
Beta-2-glikoprotein (β2GPI) merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 50 kDa yang berikatan dengan reseptor permukaan sel dan permukaan bermuatan negatif. β2GPI berperan dalam aktivitas antikoagulan melalui inhibisi agregasi trombosit, inhibisi jalur koagulasi intrinsik, dan aktivasi protein C. Saat β2GPI akan berikatan dengan fosfolipid anion, bentuk β2GPI akan berubah menjadi bentuk terbuka seperti kail ikan (fish-hook form) dengan domain I yang terbuka. Anti-β2GPI akan berikatan dengan epitop pada domain I glikoprotein secara spesifik yang berhubungan erat dengan terjadinya trombosis.[7,9]
Autoantibodi yang terdapat pada pasien APS akan menstabilkan β2GPI yang berada dalam bentuk fishhook. Kompleks Anti-β2GPI akan terikat pada reseptor dari berbagai jenis sel termasuk sel endotel, platelet dan trofoblas. Ikatan ini akan memicu terjadinya respons intraseluler dan inflamasi yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan resiko trombosis dan keguguran pada penderita APS.[7,9]
Kriteria Diagnosis Klinis dan Laboratorium Antiphospholipid Syndrome
Hingga saat ini, kriteria diagnosis APS mengacu pada kriteria Sydney tahun 2006 yang dikeluarkan pada Eleventh International Congress on Antiphospholipid Antibodies. Diagnosis APS dapat ditegakkan apabila didapatkan minimal 1 kriteria klinis dan 1 kriteria laboratorium.[3,4,8]
Kriteria Klinis
Kriteria klinis yaitu terdapatnya 1 atau lebih episode trombosis vena, arteri, atau pembuluh darah kecil, dan/atau morbiditas kehamilan. Trombosis dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan histologi, sedangkan morbiditas kehamilan didefinisikan sebagai salah satu kondisi berikut ini:
- Satu atau lebih kematian janin dengan morfologi normal pada usia ≥10 minggu kehamilan
- Satu atau lebih kelahiran prematur sebelum usia 34 minggu yang disebabkan oleh eklampsia, preeklampsia, atau insufisiensi plasenta
- Tiga atau lebih abortus atau kematian embrio (<10 minggu), tanpa adanya kelainan kromosom ayah dan ibu, kelainan anatomi, atau penyebab hormonal[3,4,8]
Kriteria Laboratorium
Kriteria laboratorium yaitu terdapatnya aPL pada 2 atau lebih pemeriksaan dengan jarak minimal 12 minggu, dan tidak lebih dari 5 tahun setelah terjadinya manifestasi klinis. Kriteria laboratorium berupa:
- IgG dan/atau IgM aCL dengan titer moderat atau tinggi (>40 unit GPL atau MPL atau >99th persentil)
- Antibodi ß2-glikoprotein-1 IgG atau IgM dengan titer >99th persentil
- Adanya aktivitas lupus antikoagulan (LA)[3,4,8]
Kesimpulan
Pemeriksaan aPL harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium pada waktu yang tepat. Beberapa pendapat ahli menyatakan bahwa pemeriksaan aPL sebaiknya tidak dilakukan pada saat fase akut setelah episode trombosis, atau 12 minggu pertama, untuk menghindari hasil positif palsu. Namun, pemeriksaan ini dapat memberikan informasi dalam menegakkan diagnosis, terutama pada pasien CAPS.
Pemeriksaan aPL yang positif baru akan bermakna apabila disertai dengan manifestasi klinis dan episode trombosis. Pemeriksaan LA merupakan pemeriksaan pilihan sebagai prediktor terjadinya episode trombosis. Pemeriksaan anti-β2GPI bermakna dalam menilai faktor risiko komplikasi kehamilan dan episode trombosis. Sedangkan pemeriksaan aCL akan bermakna apabila disertai dengan manifestasi trombosis dan keguguran berulang.
Oleh karena itu, pemeriksaan aPL yang positif harus selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan ulangan dengan jarak minimal 12 minggu untuk menyingkirkan hasil positif aPL transien yang dapat dijumpai pada penyakit infeksi. Diagnosis APS sebaiknya tidak ditegakkan apabila hasil positif aPL terjadi lebih dari 5 tahun setelah manifestasi klinis.[4,8,10]