Seperti virus lain, severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dapat mengalami mutasi dan memberikan pengaruh terhadap manajemen COVID-19, mulai dari penegakan diagnosis hingga pengembangan antivirus dan vaksin.
Sebagai bagian dari seleksi alam, virus, termasuk SARS-CoV-2, akan mengalami mutasi dalam penyesuaian terhadap lingkungannya. Kecepatan penyebaran infeksi COVID-19 menimbulkan pertanyaan mengenai apakah evolusi SARS-CoV-2 terjadi akibat mutasi virus.[1,2]
SARS-CoV-2 merupakan virus RNA yang diketahui memiliki laju mutasi yang tinggi bila dibandingkan dengan virus DNA. Mutasi SARS-CoV-2 dapat menyebabkan variasi virus yang berbeda di berbagai belahan dunia dalam hal patogenesis dan virulensi COVID-19. Pemahaman mengenai mutasi dan variasi SARS-CoV-2 diperlukan dalam prediksi transmisi infeksi virus, proteksi imun terhadap re-infeksi, serta pengembangan antivirus dan vaksin terhadap COVID-19. [1-3]
Mutasi virus merupakan salah satu metode adaptasi virus terhadap lingkungannya. Laju mutasi virus berbeda berdasarkan jenis virusnya. Laju mutasi merupakan probabilitas sebuah perubahan dalam informasi genetik yang akan diturunkan ke generasi virus berikutnya. Virus RNA (virus single-stranded) memiliki laju mutasi lebih tinggi dibandingkan virus DNA (virus double-stranded) dan ukuran genom berpengaruh secara negatif dalam laju mutasi. Virus RNA, seperti SARS, influenza, Ebola, hepatitis C, dan retrovirus, memiliki kemampuan untuk mengganti genom dengan cepat sebagai upaya penyesuaian diri terhadap inangnya, penghindaran terhadap imunitas akibat vaksinasi, dan pengembangan resistensi terhadap medikamentosa.[2,4]
Mutasi SARS-Cov-2 dalam Studi
SARS-CoV-2 merupakan virus RNA single-stranded dengan open reading frames (ORFs) yang memiliki polaritas dan variabel positif. Sekitar dua pertiga genom virus ini berada pada ORF pertama, yang ditranslasikan menjadi poliprotein PP1a dan pp1ab. Kedua poliprotein tersebut menyandi 16 non-structural proteins (NSPs). Sisa sepertiga genom virus SARS-CoV-2 lainnya menyandi protein struktural, antara lain protein nucleocapsid (N), glikoprotein spike (S), protein matriks (M), dan protein small envelope (E). Dari keempat protein struktural tersebut, protein S memiliki peran penting dalam menempel dan masuknya virus ke dalam sel inang.[1]
Mutasi pada protein S merupakan faktor besar dalam patogenesis COVID-19, karena mutasi protein S dapat mengubah tropisme virus, termasuk adaptasi virus terhadap inangnya dan patogenesis virus, sehingga pemahaman mengenai mutasi protein S SARS-CoV-2 di berbagai belahan dunia berperan penting dalam pemahaman transmisi virus ini.[1,4]
Mutasi Protein SARS-CoV-2 Berdasarkan Letak Geografis
Sebuah review oleh Abdullahi, et al terhadap berbagai studi yang meneliti mutasi SARS-CoV-2. Review ini menemukan berbagai mutasi terjadi pada daerah berbeda di seluruh dunia. Mutasi berbeda dalam glikoprotein S SARS-CoV-2, di antaranya memiliki single nucleotide variants (SNVs) yang berbeda, ditemukan pada studi di Tiongkok.[1]
Mutasi ini berhubungan dengan variasi patogenesis SARS-CoV-2. Mutasi pada NSP2 dan NSP3 yang mempengaruhi perbedaan virulensi dan patogenesis antara SARS-CoV-2 dan SARS-CoV-1 ditemukan pada studi lain di Italia. Mutasi NSP lain, seperti pada NSP6, NSP11, NSP13, dan glikoprotein S ditemukan pada studi di Inggris. Di Amerika dan Nigeria ditemukan mutasi pada D614G pada protein S, letak mutasi ini diduga meningkatkan transmisi dan evasion pada sistem imun. Studi lain yang dibahas pada review ini sebagian besar menemukan bahwa mutasi SARS-CoV-2 terjadi sebagian besar pada NSP, glikoprotein S, dan RNA-dependent RNA polymerase (RdRp).[1]
Pachetti, et al juga melakukan analisis terhadap 220 genom SARS-CoV-2 yang terdata dalam basis data Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID). Studi ini membagi data dalam 4 area geografis, yaitu Asia, Oceania, Eropa, dan Amerika Utara. Selain menemukan mutasi yang telah dilaporkan sebelumnya, studi ini juga menemukan 8 mutasi novel SARS-CoV-2. Selain itu, studi ini juga menemukan perbedaan laju mutasi total pada keempat area geografis, dengan Amerika Utara dengan laju mutasi total tertinggi, disusul Eropa, Oceania, dan Asia. [5]
Terdapat perbedaan laju mutasi berdasarkan jangka waktu data genom, seperti pada Januari 2020, laju mutasi tertinggi terdapat pada Asia, sedangkan pada Maret 2020, laju mutasi tertinggi ditemukan pada Eropa dan Amerika Utara. Studi ini juga menemukan mutasi pada RdRp pada data genom di Inggris dan Italia yang tidak terlaporkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan virus dan kemungkinan keberadaan strain SARS-CoV-2 yang berbeda pada Eropa, Asia, dan Amerika Utara.[5]
Pengaruh Mutasi Virus dalam Manajemen COVID-19
Mutasi virus dapat memberikan pengaruh terhadap manajemen COVID-19, mulai dari penegakan diagnosis, tatalaksana, hingga pengembangan vaksin. Karena laju mutasinya yang tinggi sebagai virus RNA single-stranded, pemahaman dan pemantauan terhadap mutasi dan variasi SARS-CoV-2 perlu dilakukan dengan seksama.
Osório, et al melakukan analisis terhadap 1825 data genom SARS-CoV-2 yang tercatat dalam basis data GISAID. Studi membandingkan data genom SARS-CoV-2 dengan data Wuhan-Hu-1 sebagai data genom virus yang didapatkan dari isolat virus pneumonia pada pasar di Wuhan, Tiongkok dan menganalisis kesesuaian binding site pada 33 oligonucleotide yang digunakan oleh berbagai center serta World Health Organization (WHO) untuk pemeriksaan RT-qPCR deteksi SARS-CoV-2 pada sampel manusia.
Analisis yang dilakukan menemukan bahwa terdapat mutasi setidaknya satu genom pada 79% (26 dari 33) binding site yang digunakan untuk pemeriksaan RT-qPCR. Selain itu, ditemukan substitusi tiga nucleotide (GGG tersubstitusi menjadi AAC) di awal binding site pada 14% genom yang diisolasi dari 24 negara berbeda. Hal ini menunjukkan kemungkinan tidak efektifnya RT-qPCR dalam mendeteksi hingga 14% variasi SARS-CoV-2.[6]
Pengaruh Mutasi SARS-CoV-2 terhadap Medikamentosa COVID-19
Pada studi oleh Pachetti, et al yang telah dibahas sebelumnya, analisis menemukan adanya mutasi pada gen RdRp pada data genom di Inggris dan Italia. Review yang dilakukan oleh Abdullahi, et al juga mendapati berbagai studi yang menemukan adanya mutasi RdRp pada genom SARS-CoV-2.[1]
Mutasi gen RdRp dapat mengganggu pengembangan tatalaksana medikamentosa COVID-19, terutama beberapa polymerase inhibitors yang sedang dalam tahap uji klinis, seperti favipiravir, galidesivir, remdesivir, ribavirin, penciclovir, galidesivir, dan ponatinib. Obat lain, seperti simeprevir, filibuvir, dan tegobuvir juga bekerja dengan mengikat RdRp. Mutasi RdRp dapat menyebabkan penurunan efikasi obat hingga peningkatan resistensi obat. Tingginya mutasi gen RdRp SARS-CoV-2 menunjukkan keperluan studi lebih lanjut mengenai efek mutasi RdRp terhadap obat-obat antivirus.[1,5]
Pengaruh Mutasi SARS-CoV-2 terhadap Pengembangan Vaksin COVID-19
Selain pengaruhnya pada RT-qPCR dan tatalaksana medikamentosa, mutasi SARS-CoV-2 dapat mempengaruhi pengembangan vaksin dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. SARS-CoV-2 masuk ke dalam sel melalui ikatan glikoprotein S dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) inang, sehingga pengembangan vaksin COVID-19 dilakukan dengan target glikoprotein S sebagai antibody-mediated neutralisation.[1]
Namun, pada review yang dilakukan oleh Abdullahi, et al, glikoprotein S merupakan salah satu lokasi mutasi SARS-CoV-2 terbanyak. Selain itu, analisis yang dilakukan Phelan, et al pada 5.349 data genom SARS-CoV-2, didapatkan 512 mutasi glikoprotein S. Analisis ini menunjukkan mutasi glikoprotein S dapat mempengaruhi efikasi vaksin karena masuknya vaksin ke tubuh inang akan meningkatkan proses seleksi dan dapat memaksa virus untuk mengalami mutasi dengan frekuensi lebih tinggi.[1,7,8]
Kesimpulan
SARS-CoV-2 merupakan virus RNA single-stranded yang diketahui memiliki laju mutasi yang tinggi. Mutasi SARS-CoV-2 yang telah didata oleh beberapa studi didapatkan pada NSP, glikoprotein S, dan RdRp. Mutasi yang telah terjadi dapat menghambat manajemen COVID-19, seperti penegakan diagnosis dengan RT-qPCR, tatalaksana medikamentosa, hingga pengembangan vaksin.
Mutasi binding site oligonucleotide dapat mengurangi efektifitas RT-qPCR dalam deteksi berbagai variasi SARS-CoV-2. Mutasi gen RdRp dapat mengganggu pengembangan dan efikasi medikamentosa antivirus COVID-19. Mutasi glikoprotein S dapat mempengaruhi pengembangan vaksin COVID-19. Mutasi dan variasi SARS-CoV-2 merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan manajemen COVID-19.