Penggunaan kortikosteroid pada syok sepsis masih diperdebatkan karena bukti ilmiah yang tersedia masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai manfaatnya. Syok sepsis ditandai dengan disregulasi respons imun terhadap infeksi, yang disertai dengan gangguan sirkulasi, seluler, dan metabolik. Secara teori, penggunaan kortikosteroid dapat memodulasi sistem imun sehingga akan meningkatkan luaran klinis pada pasien dengan syok sepsis.[1,2]
Meski demikian, tidak semua kortikosteroid yang digunakan pada praktik memiliki sifat yang sama. Beberapa kortikosteroid, seperti dexamethasone, memiliki efek imunosupresan yang lebih menonjol. Sementara itu, kortikosteroid lainnya, seperti hydrocortisone, memiliki efek vasoreaktif yang lebih menonjol. Perlu pula dipertimbangkan bahwa kortikosteroid memiliki potensi efek samping seperti hiperglikemia, delirium, retensi cairan, dan infeksi sekunder.[1,3,4]
Mekanisme Kerja Kortikosteroid pada Syok Sepsis
Syok sepsis adalah kondisi yang mengancam jiwa dengan tingkat kematian jangka pendek yang sangat tinggi, mulai dari 45% hingga 50%. Pada praktik, penatalaksanaan syok sepsis umumnya melibatkan antibiotik spektrum luas yang diberikan sesegera mungkin. Selain itu, mungkin diperlukan tata laksana suportif dengan obat vasoaktif dan ventilasi mekanik.
Syok sepsis merupakan bentuk sepsis yang paling berat. Pasien dengan syok sepsis umumnya memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan perfusi. Pasien juga seringkali mengalami peningkatan konsentrasi laktat serum meskipun cukup cairan.
Secara teori, kortikosteroid akan membantu memperbaiki disregulasi sistem imun yang terjadi pada kasus syok sepsis, sehingga akan meningkatkan luaran klinis pasien. Kortikosteroid juga diharapkan mampu meningkatkan tekanan darah pasien dengan memodulasi disregulasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal yang terjadi pada sepsis.[3,5]
Bukti Ilmiah Efikasi Kortikosteroid pada Syok Sepsis
Bukti ilmiah yang tersedia terkait manfaat dari kortikosteroid pada kasus syok sepsis masih saling bertentangan.
Bukti Ilmiah yang Tidak Mendukung
Sebuah studi observasional retrospektif dilakukan pada data dari 208 intensive care unit (ICU) di Amerika Serikat untuk mengevaluasi manfaat dari pemberian kortikosteroid pada sepsis. Studi ini melibatkan 7158 pasien yang didiagnosis sepsis atau syok sepsis berdasarkan kriteria diagnosis lama; serta 5009 pasien yang didiagnosis sepsis atau syok sepsis berdasarkan kriteria diagnosis Sepsis-3. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid tidak meningkatkan kesintasan di rumah sakit (in-hospital survival), terlepas dari kriteria diagnosis mana yang digunakan.[6]
Sebuah uji klinis juga mencoba mengevaluasi efikasi kortikosteroid pada syok sepsis. Uji klinis ini melibatkan 3658 pasien yang telah mendapat vasopresor selama setidaknya 4 jam dan menggunakan ventilasi mekanik. Intervensi yang diberikan adalah hydrocortisone infus 200 mg per hari atau placebo, selama 7 hari atau hingga pasien meninggal ataupun keluar dari ICU. Hasil uji klinis ini menunjukkan bahwa pasien yang mendapat hydrocortisone memiliki angka mortalitas yang serupa dengan kelompok placebo. Meski demikian, kelompok hydrocortisone memiliki durasi lebih singkat terkait penggunaan ventilasi mekanik dan resolusi syok.[1,7]
Bukti Ilmiah yang Mendukung
Di lain pihak, sebuah uji klinis acak terkontrol multisenter melibatkan 1241 pasien dengan syok sepsis yang memerlukan vasopresor dosis tinggi selama setidaknya 6 jam. Uji klinis ini menunjukkan bahwa pemberian hydrocortisone dan fludrocortisone menghasilkan angka mortalitas 90 hari yang lebih rendah dibandingkan placebo. Mortalitas 90 hari ditemukan sebesar 43% pada pasien yang mendapat hydrocortisone dan fludrocortisone, dibandingkan 49,1% pada kelompok placebo (P=0.03).[2]
Potensi Risiko Pemberian Kortikosteroid pada Syok Sepsis
Kortikosteroid mempengaruhi beberapa organ sekaligus. Dalam jumlah yang berlebihan, kortikosteroid dapat menimbulkan efek samping seperti hiperglikemia, hipernatremia, perdarahan saluran cerna, infeksi sekunder akibat efek imunosupresi, kerusakan kulit, memperlama penyembuhan, serta kelemahan otot akibat miopati.[8]
Inflamasi dapat terjadi setelah kortikosteroid dihentikan, terutama jika dihentikan secara tiba-tiba. Pengawasan terhadap pasien setelah penghentian kortikosteroid perlu dilakukan. Pada pasien yang mengalami perburukan setelah penghentian kortikosteroid (seperti syok atau membutuhkan ventilasi mekanik), pemberian kortikosteroid kembali mungkin bermanfaat.[3]
Rekomendasi Penggunaan Kortikosteroid pada Syok Sepsis Menurut Pedoman Klinis
Pedoman Surviving Sepsis Campaign tahun 2021 menyarankan penggunaan kortikosteroid pada kasus syok sepsis sebagai terapi adjuvan pada pasien yang memerlukan terapi vasopresor. Steroid yang digunakan adalah hydrocortisone intravena dalam dosis 200 mg/hari, dapat diberikan sebagai infus kontinyu maupun dalam dosis 50 mg intravena setiap 6 jam.[9]
Kesimpulan
Saat ini, bukti ilmiah yang ada terkait manfaat kortikosteroid dalam terapi syok sepsis masih saling bertentangan. Sebagian bukti mengindikasikan manfaatnya dalam meningkatkan kesintasan, sebagian lagi tidak. Masih diperlukan uji klinis skala besar lebih lanjut sebelum kesimpulan lebih pasti, terkait rasio benefit dan harm, dapat ditarik. Saat ini, penggunaan kortikosteroid disarankan oleh pedoman klinis sebagai adjuvan bagi pasien yang memerlukan vasopresor.
Penulisan pertama oleh: dr. Yenna Tasia