Pengobatan selama fase intensif tuberkulosis (TB) menggunakan kombinasi empat jenis obat antituberkulosis, untuk menurunkan jumlah bakteri Mycobacterium tuberculosis dengan cepat. TB merupakan etiologi mortalitas terkait infeksi terbanyak di seluruh dunia. WHO memperkirakan 2 milyar orang memiliki TB laten. Secara global, pada 2009 terdapat 1.700.000 kematian akibat TB.[1]
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi multisistemik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Predileksi TB paling sering adalah paru-paru, di mana 85% pasien TB datang dengan keluhan saluran pernapasan. TB ekstrapulmonal dapat terjadi sebagai bagian dari infeksi primer atau lanjutan.[1,2]
WHO 2017 merekomendasikan regimen pengobatan TB, yang disebabkan oleh M. tuberculosis yang tidak resisten, berupa pengobatan selama 6 bulan dengan beberapa jenis obat sekaligus (multidrug). Terapi empiris dimulai dengan regimen 4 obat, yaitu isoniazid (INH), rifampin (RIF), pyrazinamide (PZA), dan etambutol (EMB) atau streptomisin.[1-3]
Namun, penelitian oleh Dorman,et al. (2021), yang membandingkan 4 regimen pengobatan selama 4 bulan versus 6 bulan, menemukan bahwa pemberian 4 bulan tidak inferior daripada pemberian 6 bulan untuk pengobatan TB fase intensif. Oleh karena itu, WHO mengeluarkan rapid communication, selama persiapan pedoman TB 2021, yang memverifikasi bahwa pengobatan fase intensif untuk TB yang tidak resisten terhadap obat ini harus menggunakan program pengobatan 4 bulan.[6,7]
Regimen Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase, yakni fase intensif dan fase lanjutan. Selama fase intensif, ketika load bakteri sangat tinggi, keempat jenis obat dikombinasi untuk menurunkan jumlah bakteri M. tuberculosis dengan cepat. Pada fase lanjutan, obat yang dikonsumsi lebih sedikit, dengan tujuan mengeliminasi bakteri yang tersisa.[2,3]
Berikut merupakan regimen pengobatan TB berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diurutkan dari efektivitas tertinggi hingga terendah.[4]
Tabel 1. Regimen Pengobatan TB
No | Fase Intensif | Fase Lanjutan | Keterangan | ||
Obat | Interval dan Dosis (Durasi Minimal) | Obat | Interval dan Dosis (Durasi Minimal) | ||
1 | INH RIF PZA EMB | 7 hari/minggu sebanyak 56 dosis (8 minggu) atau 5 hari/minggu sebanyak 56 dosis (8 minggu) | INH RIF | 7 hari/minggu sebanyak 126 dosis (18 minggu) atau 5 hari/minggu sebanyak 90 dosis (8 minggu) | Regimen yang lebih direkomendasikan untuk pasien baru TB paru. |
2 | INH RIF PZA EMB | 7 hari/minggu sebanyak 56 dosis (8 minggu) atau 5 hari/minggu sebanyak 56 dosis (8 minggu) | INH RIF | 3 hari/minggu sebanyak 54 dosis (18 minggu) | Regimen alternatif ketika pengobatan tiap hari di fase lanjutan sulit tercapai. |
3 | INH RIF PZA EMB | 3 hari/minggu sebanyak 24 dosis (8 minggu) | INH RIF | 3 hari/minggu sebanyak 54 dosis (18 minggu) | Hati-hati pada pasien dengan HIV atau TB paru dengan kavitasi. Terlewatnya dosis dapat mengakibatkan gagalnya pengobatan, relaps, dan resistensi terhadap obat. |
4 | INH RIF PZA EMB | 7 hari/minggu sebanyak 14 dosis lalu 2 hari/minggu sebanyak 12 dosis (durasi total 8 minggu) | INH RIF | 2 hari/minggu sebanyak 36 dosis (18 minggu) | Jangan gunakan regimen 2x/minggu pada pasien HIV atau pasien dengan hasil BTA positif dan/atau TB paru dengan kavitasi. Jika dosis terlewat, maka efektivitas pengobatan akan jauh berkurang. |
Keterangan: INH = isoniazid; RIF = rifampin; PZA = pyrazinamide; EMB = etambutol |
Sumber: Krisandryka, 2022.[4]
Pengobatan Fase Intensif
Regimen yang lebih direkomendasikan pada fase intensif, untuk mengobati pasien TB dewasa, adalah kombinasi isoniazid, rifampin, pyrazinamide, dan etambutol/streptomisin. Perlu diperhatikan bahwa dosis harian lebih disarankan daripada dosis intermiten.[1,3]
Jika perlu dilakukan, pemberian dosis intermiten digunakan pada pasien dengan risiko relaps rendah dan hasil tes HIV negatif. Contoh risiko relaps rendah adalah organisme yang sensitif terhadap obat-obatan, tidak ada kavitasi pada paru, dan hasil bakteri tahan asam (BTA) negatif pada awal pengobatan.[1,3]
Pasien yang diobati dengan pyrazinamide perlu melakukan pemeriksaan asam urat baseline dan periodik. Sementara, pasien yang mendapat terapi etambutol jangka panjang perlu melakukan pemeriksaan visus dan persepsi warna merah-hijau baseline dan periodik.[1]
Directly observed therapy (DOT) atau pengawas menelan obat (PMO) direkomendasikan pada semua pasien, untuk memastikan kepatuhan pasien minum obat antituberkulosis.[1]
Penyesuaian Pengobatan Fase Intensif
Pengobatan tuberkulosis fase intensif untuk pasien-pasien tertentu memerlukan sedikit penyesuaian dalam regimen obat.[1]
Pengobatan Tuberkulosis pada Ibu Hamil
TB aktif pada ibu hamil harus mendapat pengobatan, bahkan pada trimester pertama. Regimen yang dapat digunakan untuk pengobatan fase intensif adalah isoniazid, rifampin, dan etambutol. Di Amerika Serikat, pyrazinamide digunakan pada ibu hamil dengan TB multidrug-resistant (MDR-TB). Namun, di negara-negara lain, pyrazinamide umum digunakan untuk mengobati TB pada ibu hamil. Streptomisin perlu dihindari karena dapat berakibat buruk pada janin.[1]
Pengobatan Tuberkulosis pada Pasien HIV
Regimen obat pada pasien HIV-positif sama dengan pasien-pasien pada umumnya, tetapi dapat diperlukan penyesuaian dosis. Namun, rifampin dihindari pada pasien HIV-positif yang sedang mengkonsumsi obat golongan inhibitor protease. Pada kasus demikian, rifabutin dapat digunakan sebagai pengganti rifampin.[1]
Pengobatan Tuberkulosis pada Kasus Monodrug-Resistant
Pada kasus monodrug resistant, ada beberapa perubahan regimen yang perlu dilakukan, seperti:
- TB yang resisten terhadap isoniazid (dengan/tanpa resistensi streptomisin) dapat diobati dengan regimen rifampisin, pyrazinamide, dan etambutol selama 6 bulan.
- TB yang hanya resisten terhadap rifampisin dapat diberikan regimen isoniazid, fluoroquinolone (levofloxacin atau moxifloxacin), dan etambutol selama 12–18 bulan, tergantung respon klinis. Pyrazinamide diberikan selama fase intensif, yaitu 2 bulan pertama.
- Monoresistensi terhadap pyrazinamide berhubungan dengan usia muda, infeksi HIV, dan penyakit ekstrapulmonal. Pada kasus tersebut, isoniazid dan rifampisin dapat diberikan selama 9 bulan. Etambutol diberikan selama fase intensif, yaitu 2 bulan pertama.[1]
Pengobatan Tuberkulosis pada Kasus Multidrug-Resistant (MDR-TB)
MDR-TB adalah isolat TB yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, serta kemungkinan juga resisten terhadap obat lainnya. Jika ditemukan kasus MDR-TB, sebaiknya dilakukan tes sensitivitas obat molekuler, sehingga regimen disesuaikan dengan hasil pemeriksaan.[1]
Pada fase intensif, diberikan setidaknya 5 jenis obat dari daftar berikut: fluoroquinolone, bedaquiline, linezolid, clofazimine, cycloserine, aminoglikosida, etambutol, pyrazinamide, delamanid, ethionamide, atau para-aminosalicylic acid. Fase intensif untuk MDR-TB sebaiknya berlangsung selama 5–7 bulan. Obat harus diberikan setiap hari (tidak ada dosis intermiten), dan pasien harus selalu memiliki pengawas menelan obat (PMO).[1]
Rekomendasi WHO Terbaru
Pada 2017, WHO mengeluarkan rekomendasi terbaru (revisi dari rekomendasi tahun 2010) mengenai pengobatan TB untuk kasus TB paru yang sensitif terhadap regimen pengobatan. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Regimen yang direkomendasikan tetap 2HRZE/4HR. Regimen yang mengandung fluorokuinolon untuk diberikan selama 4 bulan sebaiknya tidak digunakan.
- Penggunaan tablet fixed-dose combination (FDC) lebih direkomendasikan dibanding obat-obatan terpisah.
- Penggunaan dosis tiga kali seminggu tidak direkomendasikan, baik pada fase intensif maupun lanjutan. Dosis harian tetap menjadi metode yang direkomendasikan.
- Pada pasien TB yang memerlukan pengobatan ulang, regimen kategori II tidak lagi direkomendasikan. Regimen ditentukan berdasarkan hasil tes sensitivitas obat.[5]
Kesimpulan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi multisistemik yang disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB merupakan etiologi mortalitas terkait infeksi terbanyak di seluruh dunia. Regimen pengobatan TB yang disebabkan M.tuberculosis yang tidak resisten berupa pengobatan selama 6 bulan dengan beberapa jenis obat sekaligus (multidrug). Terapi empiris dimulai dengan regimen 4 obat, yaitu isoniazid, rifampin, pyrazinamide, etambutol/streptomisin.
Pengobatan TB dibagi menjadi 2 fase, yakni fase intensif dan fase lanjutan. Selama fase intensif, ketika load bakteri sangat tinggi, keempat jenis obat dikombinasi untuk menurunkan jumlah bakteri M.tuberculosis dengan cepat.
Terdapat 2 cara pemberian dosis regimen obat, yakni dosis harian dan dosis intermiten (2 kali/minggu atau 3 kali/minggu). Namun, penggunaan dosis intermiten tidak direkomendasikan oleh WHO, baik pada fase intensif maupun lanjutan. Dosis harian tetap menjadi metode yang direkomendasikan. Regimen yang direkomendasikan untuk TB paru yang sensitif terhadap obat adalah 2HRZE/4HR.
Penulisan pertama oleh: dr. Immanuel Tarigan