Anak-anak usia berapa pun memiliki kerentanan yang sama terhadap infeksi SARS-CoV-2. Sehingga tetap dibutuhkan vaksin COVID-19 pada populasi anak dan remaja.
Walaupun mayoritas kasus COVID-19 pada anak adalah asimptomatis atau bergejala ringan, 18,4/100.000 anak usia 0-4 tahun, 10,6/100.000 anak usia 5-17 tahun membutuhkan perawatan di rumah sakit. Hanya sepertiga diantaranya bahkan membutuhkan ruang rawat intensif.[1]
Sejak bulan Oktober 2020, lebih dari 200 vaksin dikembangkan dan sudah lebih dari 40 vaksin dalam tahap uji klinis pada dewasa. Walaupun keamanan efektivitas vaksin COVID-19 sudah terbukti pada dewasa, uji klinis pada anak tetap perlu dilakukan.[2,3]
Rasionalisasi Pemberian Vaksin COVID-19 Pada Anak-Anak
Sebuah jurnal yang dibuat oleh Zimet et al. menilai rasionalisasi dan tantangan untuk vaksinasi COVID-19 pada anak-anak dan remaja. Salah satu rasionalisasi vaksinasi COVID-19 pada anak-anak adalah melindungi populasi yang rentan terhadap COVID-19. Berdasarkan data saat ini, anak dengan COVID-19 dapat menularkan ke anak lain maupun orang dewasa disekitarnya. Sehingga populasi ini juga perlu dimasukan ke dalam uji klinis vaksin COVID-19.[4]
Vaksin mRNA yang diberikan sebanyak 2 dosis dengan interval 21 hari seperti Pfizer dan Moderna terbukti memiliki efektifitas 95% dan 94% pada dewasa. Uji klinis pada anak memiliki fokus utama pada keamanan, reaktogenitas, dan imunogenisitas. Anak-anak memiliki ukuran, distribusi lemak, massa otot, dan banyak faktor lain yang berbeda dibandingkan dewasa.[2,3]
Hingga saat ini, beberapa perusahaan telah memulai uji klinis vaksin COVID-19 untuk populasi anak-anak dan remaja. Beberapa vaksin yang telah dilakukan uji coba adalah Sinovac, Pfizer, Moderna, dan AztraZeneca. Namun, perlu diperhatikan, hingga saat ini belum ada data yang diterbitkan dan telah peer-reviewed pada pengembangan vaksin di atas.
Pengembangan Vaksin Sinovac Untuk Populasi Anak dan Remaja
Vaksin Sinovac (Coronavac) yang menggunakan tipe vaksin COVID-19 inaktif dinilai aman dan efektif untuk anak usia 3 – 17 tahun berdasarkan data fase I dan II. Dari uji klinis fase I dan II (72 dan 480 sampel) didapatkan vaksin mampu membentuk respons imun yang memadai dari dosis yang berbeda. Efek samping yang dilaporkanpun cukup ringan, hanya 2 anak usia 3 dan 6 yang dilaporkan memiliki demam pascavaksinasi (overall adverse reaction rate 23,7 – 29%).[5]
Pengembangan Vaksin Pfizer dan Moderna Untuk Populasi Anak dan Remaja
Di Amerika, beberapa vaksin sudah masuk dalam tahap uji klinis pada usia anak seperti Pfizer (vaksin mRNA) yang mulai diujikan untuk usia 12-15 tahun. Sebanyak 2260 remaja usia 12-15 tahun diikutsertakan dalam uji klinis fase 3. Sebanyak 18 kasus covid-19 dilaporkan hanya pada kelompok plasebo. Dari studi ini efektifitas vaksin untuk usia remaja tersebut mencapai 100%.[6] Vaksin Pfizer dan Moderna telah diuji keamanan dan keefektifannya.
Vaksin Pfizer dan Moderna sedang melakukan uji klinis vaksin mRNA nya pada usia 6 bulan sampai 11 tahun dan diperkirakan vaksinasinya sudah dapat dimulai pada akhir tahun 2021 atau awal tahun 2022. Sebanyak 6750 anak usia 6 bulan sampai 11 tahun diikutsertakan pada uji fase 2/3 vaksin mRNA. Studi ini dimulai dengan melakukan tes dengan level dosis yang berbeda, dilakukan secara random, terkontrol dengan plasebo untuk menilai efektifitas dan keamanan vaksin COVID-19 Pfizer pada kelompok usia tersebut.[7,8]
Satu bulan setelah anak (usia 12-15 tahun) mendapatkan vaksin dosis kedua rata-rata titer antibodi SARS-Cov-2 mencapai 1239,5 (lebih tinggi dibandingkan titer antibodi yang terbentuk pada usia 16-25 tahun yaitu sebesar 705,1). Pemberian vaksin ini terbukti 100% meningkatkan respon imun terhadap infeksi SARS-CoV-2 dan terbukti aman.[1,6]
Efek yang umum terjadi pascavaksinasi adalah nyeri pada daerah suntikan, rasa lelah, nyeri kepala, nyeri otot, menggigil, nyeri sendi, dan demam. Anak dengan riwayat alergi saat divaksinasi sebelumnya tidak boleh mendapatkan vaksin ini nantinya.[5]
Penelitian pada remaja berusia 12-17 tahun yang divaksin Moderna baru-baru ini juga menunjukkan bahwa vaksin ini bermanfaat protektif pada populasi usia ini.
Pengembangan Vaksin AstraZeneca-Oxford Untuk Populasi Anak dan Remaja
Kelompok penelitian Oxford juga sedang melakukan uji klinis vaksin covid-19 pada anak usia 6-17 tahun. Uji klinis fase 2 ini melibatkan 300 sukarelawan, sebanyak 240 akan mendapatkan vaksin covid-19 dan sisanya akan mendapatkan vaksin meningitis sebagai plasebo.[9]
Saat ini, uji klinis vaksin AstraZeneca pada populasi anak-anak sedang diberhentikan dan sedang menunggu keputusan dari Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA) di Inggris. Di beberapa negara yang sudah menyediakan berbagai vaksin COVID-19 tidak merekomendasikan vaksin AstraZeneca untuk pediatrik. Akan tetapi, WHO masih menyarankan pemberian vaksin AstraZeneca untuk populasi selain anak-anak.[10]
Rekomendasi Pemberian Vaksin COVID-19 pada Populasi Pediatrik
Rekomendasi pemberian vaksin COVID-19 pada anak sudah dianjurkan secara internasional dan nasional. CDC menganjurkan pemberian vaksin Pfizer-Biontech pada populasi anak. Indonesia (BPOM dan IDAI) juga telah mengeluarkan rekomendasi pemberian vaksin Sinovac untuk anak usia 12 - 17 tahun.
Rekomendasi Internasional Vaksin COVID-19
CDC telah menganjurkan untuk vaksinasi anak usia 12 tahun keatas. Saat ini vaksin pilihan untuk populasi anak ialah vaksin Pfizer-BioNTech yang dinilai aman dan efektif untuk populasi ini. Walaupun terdapat laporan efek samping berat seperti miokarditis dan perikarditis pada populasi remaja dan dewasa muda pasca vaksin COVID-19, namun CDC tetap menilai manfaat vaksin COVID-19 lebih penting dibandingkan risiko.[11]
Rekomendasi BPOM dan IDAI Terkait Vaksin pada Anak
Saat ini IDAI dan BPOM telah mengeluarkan rekomendasi vaksin Sinovac untuk populasi 12 hingga 17 tahun. IDAI menilai, berdasarkan uji klinis fase I/II vaksin Sinovac dinilai efektif dan aman untuk rentang usia 12 - 17 tahun (serokonversi fase 2: 96,8% - 100%). KIPI yang dilaporkan termasuk ringan-sedang dengan laporan demam dan nyeri di lokasi suntikan. Dosis yang diberikan adalah 3 mikrogram dan diberikan sebanyak dua kali dengan jarak 1 bulan menunjukan keamanan serta imunogenitas yang lebih baik.[12]
Kontraindikasi penyuntikan vaksin Sinovac pada anak usia 12 - 17 tahun adalah defisiensi imun primer, penyakit imun tidak terkontrol, penyakit sindrom Guillain-Barre, mielitis transversa, acute demyelinating encephalomyelitis, anak dengan kanker dalam kemoterapi/radioterapi, sedang menjalani pengobatan imunosupresan, demam > 37,5 derajat C, pascaimunisasi lain kurang dari 1 bulan, hamil, hipertensi tidak terkendali, diabetes mellitus tidak terkendali, dan penyakit-penyakit kronik atau kelainan kongenital tidak terkendali.[12]
Kesimpulan
Risiko infeksi SARS-CoV-2 sama pada semua usia dengan gejala yang bervariasi. Pemberian vaksin COVID-19 pada anak dapat memberikan manfaat secara medis dan dapat mengatasi transmisi komunitas.
Sejak bulan Juni 2021, Ikatan Dokter Anak Indonesia telah mengeluarkan rekomendasi pemberian vaksin Sinovac untuk anak 12 - 17 tahun. Kejadian ikutan pasca imunisasi, sesuai dengan uji klinis fase I/II, dilaporkan ringan-sedang seperti demam dan nyeri di lokasi suntikan. Serokonversi dosis ke II yang dilaporkan mencapai > 90%. IDAI menganjurkan pemberian dosis 3 mikrogram dengan 2 kali suntikan dalam jangka waktu 1 bulan.
Namun, tidak semua populasi anak dapat diberikan vaksin Sinovac. Beberapa kontraindikasi adalah pada anak dengan penyakit autoimun, anak dengan kanker yang menjalani kemoterapi/radioterapi, dalam pengobatan imunosupresan, dan penyakit kronis yang tidak terkendali. Akan tetapi, anak dengan komorbiditas dilaporkan memiliki risiko mortalitas dan risiko infeksi yang lebih parah bila terkena COVID-19.
Direvisi oleh: dr. Renate Parlene Marsaulina