Perlu tidaknya pemberian antiplatelet untuk profilaksis tromboemboli pada penerima vaksin COVID-19 AstraZeneca sering ditanyakan karena beberapa penerima vaksin ini dilaporkan mengalami blood clot (bekuan darah). Meskipun tergolong langka, efek samping ini telah membuat beberapa negara menghentikan penggunaan vaksin ini dan tentunya menimbulkan kekhawatiran.
Di Indonesia, vaksin COVID-19 AstraZeneca diperbolehkan untuk digunakan. Vaksin ini kemudian memunculkan banyak pertanyaan tentang perlu tidaknya obat tertentu seperti antiplatelet diresepkan untuk mencegah pembentukan blood clot.
Antiplatelet adalah golongan obat yang berfungsi untuk mencegah agregasi platelet dan pembentukan trombus. Obat ini biasanya digunakan untuk terapi stroke dan sindrom koroner akut. Beberapa contoh obat antiplatelet yang sering digunakan adalah aspirin, clopidogrel, ticagrelor, dipyridamole, dan eptifibatide.[1,2]
Sekilas tentang Mekanisme Kerja Antiplatelet
Saat terjadi kerusakan jaringan vaskular, platelet akan beragregasi untuk menciptakan sumbatan dan menghentikan perdarahan. Namun, pada kondisi patologis, trombosis bisa mengganggu fungsi koroner dan serebrovaskular. Pemberian antiplatelet pada pasien stroke dan sindrom koroner akut ditujukan untuk mencegah trombosis ini.
Antiplatelet yang berbeda memiliki mekanisme kerja yang berbeda pula. Contohnya, aspirin bekerja dengan cara menghambat enzim cyclooxygenase-1 (COX-1), sehingga terjadi inhibisi produksi thromboxane-A2.[1-4]
Di lain sisi, clopidogrel, ticlopidine, dan prasugrel merupakan golongan thienopyridine yang bekerja dengan cara menghambat agregasi platelet yang diinduksi oleh adenosine diphosphate (ADP). Clopidogrel merupakan generasi thienopyridine yang paling umum digunakan karena tidak menyebabkan toksisitas bone marrow seperti ticlopidine. Saat ini clopidogrel digunakan untuk profilaksis sekunder infark miokard, stroke, dan penyakit arteri perifer.[1-3,5]
Laporan tentang Kejadian Tromboemboli Pasca Vaksin COVID-19 AstraZeneca
Vaksin COVID-19 AstraZeneca merupakan vaksin viral vektor yang diberikan secara intramuskular dalam 2 dosis. Uji klinis pada tahun 2020 menunjukan bahwa efektivitas vaksin ini mencapai 76% pada 22–90 hari setelah dosis pertama, lalu mencapai 81,3% setelah dosis kedua.[10]
Hasil uji klinis juga menunjukkan bahwa vaksin ini aman dan bisa ditoleransi dengan baik. Efek samping yang dilaporkan umumnya bersifat ringan dan menghilang setelah 1–2 hari, misalnya nyeri pada lokasi injeksi, kelelahan, nyeri kepala, nyeri otot, demam, dan rasa menggigil. Akan tetapi, tromboemboli memang bisa terjadi meskipun dianggap sebagai kasus yang langka.[11-14]
Kejadian tromboemboli akibat vaksin AstraZeneca menyebabkan negara-negara Eropa menghentikan sementara penggunaan vaksin ini pada Maret 2021. Namun, European Medicines Agency (EMA) menyatakan bahwa jumlah kejadian tromboemboli pasca vaksinasi AstraZeneca sebenarnya tidak melebihi jumlah kejadian tromboemboli pada populasi umum. Hingga 10 Maret 2021, hanya ada 30 kejadian tromboemboli pada 5 juta penerima vaksin AstraZeneca.[14]
Penelitian di Denmark pada tahun 2021 juga menunjukan hal serupa. Dari tahun 2010–2018, insidensi tromboemboli per 1.000 person-years adalah 1,76 pada grup usia 18–99 tahun dan 0,95 pada grup usia 18–64 tahun. Jika angka ini diestimasikan pada populasi 5 juta jiwa, maka insidensi akan menjadi 169 kasus tromboemboli per minggu dan 736 kasus per bulan. Data ini menunjukkan bahwa insidensi tromboemboli setelah pemberian vaksin AstraZeneca tidak melebihi insidensi di populasi umum.[15]
Teori tentang Patofisiologi Tromboemboli Pasca Vaksin COVID-19 AstraZeneca
Society of Thrombosis and Haemostasis Research (GTH) kemudian mengklarifikasi patofisiologi terjadinya tromboemboli setelah vaksinasi AstraZeneca. Vaksinasi ini mungkin menginduksi formasi antibodi terhadap antigen platelet. Hal ini menyebabkan aktivasi masif platelet. Keluhan dapat terjadi dalam 4–16 hari pasca vaksinasi.
Vaksin ini masih digunakan karena manfaat protektifnya dinilai melebihi risiko dampak negatif yang ditimbulkan. Selain itu, angka insidensi tidak mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan populasi umum dan ada kemungkinan trombosis akibat kondisi medis lain belum dapat disingkirkan.[16]
Rekomendasi terkait Antiplatelet dan Vaksin COVID-19 AstraZeneca
Hingga saat ini tidak ada rekomendasi dari organisasi-organisasi kesehatan nasional maupun internasional untuk memberikan antiplatelet pada penerima vaksin COVID-19 AstraZeneca untuk profilaksis tromboemboli. Pemberian antiplatelet untuk indikasi ini belum didukung oleh bukti manfaat yang jelas.
Bahkan, bagi pasien yang berisiko mengalami tromboemboli vena (VTE) pun, misalnya pasien yang dirawat inap dengan penyakit akut atau penyakit kritis serta orang berisiko yang bepergian jarak jauh, profilaksis lini pertama yang dianjurkan oleh mayoritas pedoman klinis adalah low-molecular-weight heparin dan bukan antiplatelet. Selain itu, penggunaan antiplatelet juga memiliki risiko perdarahan, terutama risiko perdarahan saluran cerna.[17]
Pada pasien yang sedang menderita COVID-19 pun, National Institute of Health (NIH) sebenarnya tidak menganjurkan pemberian antiplatelet sebagai upaya pencegahan VTE maupun trombosis arteri kecuali bila pasien memiliki indikasi lain. NIH menyatakan bahwa penggunaan antiplatelet dan antikoagulan bisa dilakukan bila pasien memang rutin mengonsumsi obat ini untuk kondisi medis lain.[8]
Di Indonesia, rekomendasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) menyatakan bahwa pasien yang memiliki riwayat trombosis atau sedang menggunakan terapi antikoagulan maupun antiplatelet dimasukkan dalam kelompok dengan perhatian khusus. Jika menurut dokter pasien layak divaksinasi AstraZeneca, lakukan pemantauan efek samping nyeri kepala hebat, sesak napas, mata kabur, dan kaki bengkak unilateral pada hari ke-4 hingga ke-20 setelah vaksinasi.
Hal ini sejalan dengan rekomendasi dari Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency yang menyarankan agar pasien berkonsultasi dengan dokter jika mengalami hal-hal berikut 4 hari pasca vaksinasi AstraZeneca:
- Nyeri kepala berat yang tidak berkurang setelah pemberian antinyeri atau semakin memburuk saat berbaring
- Nyeri kepala yang tidak umum yang disertai dengan pandangan kabur, kebingungan, sulit berbicara, kelemahan, rasa kantuk, atau kejang
- Ruam yang tampak seperti lebam kecil atau perdarahan pada kulit
- Sesak napas, nyeri dada, pembengkakan kaki, atau nyeri perut persisten[13,18]
Kesimpulan
Pemberian antiplatelet untuk profilaksis tromboemboli pada penerima vaksin COVID-19 AstraZeneca saat ini tidak termasuk dalam rekomendasi berbagai organisasi kesehatan karena belum didukung bukti manfaat yang jelas. Selain itu, kejadian tromboemboli akibat vaksin COVID-19 AstraZeneca merupakan efek samping yang dinilai langka.
Mayoritas pedoman klinis yang ada tentang profilaksis tromboemboli vena pada orang yang berisiko juga umumnya menyarankan low-molecular-weight heparin sebagai lini pertama dan bukan antiplatelet. Oleh karena itu, pemberian antiplatelet untuk profilaksis tromboemboli pada penerima vaksin COVID-19 AstraZeneca tanpa indikasi lain tidak dianjurkan, terutama karena hal ini juga berisiko menimbulkan perdarahan.
Pasien yang memiliki riwayat trombosis atau yang sedang menggunakan antikoagulan maupun antiplatelet untuk indikasi medis lain dapat menerima vaksin COVID-19 AstraZeneca bila disetujui oleh dokter yang merawatnya. Namun, dokter sebaiknya memantau efek samping seperti nyeri kepala hebat, sesak napas, mata kabur, dan kaki bengkak unilateral pada hari ke-4 hingga ke-20 setelah vaksinasi.
Pasien dan keluarga diedukasi untuk segera menemui dokter jika mengalami nyeri kepala yang disertai pandangan kabur, kebingungan, kesulitan bicara, kelemahan, rasa kantuk, dan kejang. Selain itu, gejala yang juga perlu diwaspadai adalah ruam di kulit, sesak napas, nyeri dada, pembengkakan kaki, atau nyeri abdominal yang persisten setelah pemberian vaksin AstraZeneca.