Profilaksis emboli paru pada pasien COVID-19 merupakan upaya menurunkan mortalitas penyakit. Tromboemboli vena pada pasien COVID-19 dihubungkan dengan peningkatan keparahan penyakit dan kematian. Pasien dengan emboli paru lebih sering membutuhkan ventilator mekanis, perawatan di ruang intensif, serta jangka waktu perawatan lebih lama.[3]
Sejak Desember 2019, dunia mengalami pandemi infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome corona virus -2), yang dinamakan COVID-19 (coronavirus disease 2019). Beberapa penelitian telah menghubungkan patogenesis COVID-19 dengan pola prokoagulan, yang tampaknya berperan pada peningkatan risiko dari kejadian trombosis vena dan arteri.[1,2]
Insidensi tromboemboli vena berkisar 5−10% pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit, dan jauh lebih tinggi pada pasien yang dirawat di ruang intensif (30%). Mayoritas pasien tidak memiliki riwayat tromboemboli vena sebelumnya, dengan manifestasi klinis paling sering adalah emboli paru (4−23%).[1]
Patofisiologi Emboli Paru pada Pasien COVID-19
Predileksi trombosis pada COVID-19 kemungkinan disebabkan oleh dua mekanisme yang berbeda tetapi saling berhubungan, yaitu:
- Hiperkoagulabilitas yang bertanggung jawab pada trombosis pembuluh darah besar
- Cedera pembuluh darah serta endotel yang menyebabkan trombosis mikrovaskular in situ[3]
Hiperkoagulabilitas
Kondisi hiperkoagulabilitas pada COVID-19 dihubungkan dengan beberapa penanda hematologi, termasuk penurunan nilai trombosit, antitrombin, serta hasil thromboelastography (TEG). Selain itu, terjadi peningkatan D-dimer, fibrinogen, faktor VIII, dan faktor von Willebrand (vWF).[4]
Patofisiologi yang mendasari hiperkoagulabilitas pada COVID-19 belum sepenuhnya dimengerti, tetapi bukti terbaru mengindikasikan bahwa proses tersebut dimediasi oleh proses inflamasi dan bersifat bidireksional. Inflamasi alveolar berat menginduksi trombosis inflamasi pada pembuluh darah paru, sehingga menyebabkan hiperkoagulabilitas serta memicu inflamasi yang lebih berat.[3,4]
Cedera Pembuluh Darah dan Endotel
Mekanisme pembentukan trombus sangat bervariasi. Secara umum, inflamasi pada sel imun dan nonimun akan menyebabkan ketidakseimbangan antara kondisi pro dan antikoagulan pada kondisi infeksi. Badai sitokin disebabkan oleh produksi berlebih dari sitokin proinflamasi awal, seperti IL-6 (interleukin-6), IL-22, IL-7 dan CXCL10 (C-X-C motif chemokine 10).[5]
Kondisi tersebut menyebabkan cedera paru, yaitu kerusakan mikrovaskular dan disfungsi endotel, serta terjadi perubahan hemostasis dan muncul trombosis paru in situ. Selain itu, pembentukan trombus juga dapat merupakan proses sekunder akibat trombosis vena dalam.[1]
Skrining dan Diagnosis Emboli Paru pada COVID-19
Berdasarkan Global COVID-19 Thrombosis Collaborative Group dan Polish Cardiac Society (PCS), stratifikasi risiko emboli paru harus dilakukan pada semua pasien yang dirawat di rumah sakit. Stratifikasi menggunakan sistem skoring spesifik, seperti skoring WELLS, modified international medical prevention registry on venous thromboembolism (IMPROVE VTE), revised Geneva score, dan Padua score.[1]
Diagnosis emboli paru diawali dengan kecurigaan klinis, misalnya dispnea yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, serta hipoksemia dengan gambaran rontgen toraks normal. Pada COVID-19, kemungkinan emboli paru seringkali disingkirkan karena gejala dan tanda menyerupai pneumonia.[3]
Strategi yang dianjurkan dan telah divalidasi untuk mendiagnosis emboli paru merupakan kombinasi penilaian klinis, sistem skoring klinis, pengukuran D-dimer plasma, dan pemeriksaan pencitraan. Penilaian klinis dimasukan ke dalam sistem skoring, yang dikombinasikan dengan D-dimer untuk menyingkirkan risiko rendah atau sedang. Kemudian secara hati-hati dilakukan pemeriksaan pencitraan, baik CTPA maupun VQ scan jika CTPA tidak tersedia.[6]
Gambar 1. Algoritma Diagnosis Emboli Paru dengan Kondisi Hemodinamik Tidak Stabil[6]
Gambar 2. Algoritma Diagnosis Emboli Paru dengan Kondisi Hemodinamik Stabil[6]
Pada kasus dengan tanda klinis sugestif emboli paru, atau adanya penurunan klinis meski sudah diberikan profilaksis trombosis, penting untuk mempertimbangkan penilaian pencitraan untuk menegakkan emboli paru, yaitu dengan pemeriksaan CTPA. Bila didapatkan thrombus maka antikoagulan diberikan dosis terapi sesuai panduan terapi pasien emboli paru tanpa COVID-19.[1]
Gambar 3. Pendekatan Kecurigaan Emboli Paru pada Pasien COVID-19[1]
Profilaksis Emboli Paru pada COVID-19
Mayoritas pasien COVID-19 gejala berat, termasuk dengan gagal nafas, komorbid seperti kanker aktif atau gagal jantung, tirah baring lama, serta perawatan intensif, memiliki kualifikasi untuk mendapatkan profilaksis emboli paru di rumah sakit jika tidak ada kontraindikasi.[1,3]
Profilaksis dengan Antikoagulan
Berbagai panduan perhimpunan dan komunitas merekomendasikan antikoagulan profilaksis untuk pasien COVID-19 yang tidak memiliki kontraindikasi. Kontraindikasi pemberian antikoagulan adalah perdarahan aktif atau trombositopenia berat.[1,3,7]
Rekomendasi obat untuk profilaksis pada pasien COVID-19 adalah:
Unfractionated heparin (UFH) secara intravena, misalnya heparin dengan dosis 10.000−15.000 IU setiap hari, selama minimal 7 hari
Low molecular weight heparin (LMWH) secara subkutan, misalnya enoxaparin dengan dosis 40−60 mg setiap hari, selama minimal 7 hari
- Fondaparinux secara subkutan[1]
Pada dosis standar, obat-obatan di atas lebih menjadi pilihan karena waktu paruh yang pendek, dan memiliki interaksi lebih sedikit dengan obat lain dalam pengobatan COVID-19. Selain efek antitrombotik, UFH dan LMWH juga memiliki efek antiinflamasi dan antiviral. Selain itu, profilaksis nonfarmakologi dapat menggunakan stoking kompresi secara bertingkat atau serial.[1]
Studi Manfaat Trombofilaksis dengan Heparin
Penelitian oleh Tang et al, pada tahun 2020 di Wuhan China yang melibatkan 449 pasien COVID-19 gejala berat, menyimpulkan bahwa tingkat kematian dalam 28 hari pasien COVID-19 berat lebih rendah pada kelompok yang diberikan heparin daripada tanpa heparin.[8]
Pada pasien dengan sepsis induced coagulopathy score >4 yang diberikan heparin memiliki mortalitas 40%, sedangkan tanpa antikoagulan profilaksis mencapai 64,2%. Pada pasien dengan D-dimer >3 mg/mL (enam kali lebih tinggi daripada range normal) memiliki mortalitas 32,8%, lebih rendah daripada tanpa antikoagulan profilaksis yaitu 52,4%.[8]
Profilaksis Emboli Paru pada COVID-19 di Indonesia
Berdasarkan panduan Kemenkes Indonesia, untuk setiap pasien COVID-19 gejala sedang hingga berat yang dirawat di rumah sakit, direkomendasikan pemberian antikoagulan profilaksis jika tidak terdapat kontraindikasi. Kontraindikasi meliputi jumlah trombosit <25.000/ìL atau memiliki manifestasi perdarahan, pasien bedah saraf, atau perdarahan aktif.[9]
Pemberian antikoagulan profilaksis dapat dipilih antara LMWH 0,4 mL (40 mg), diberikan 1 kali setiap hari melalui injeksi subkutan, atau UFH 5.000 unit 2 kali/hari secara subkutan. Peningkatan dosis profilaksis antikoagulan diberikan pada pasien kritis, termasuk pasien saat atau setelah dirawat di unit intensif sesuai dengan tabel dibawah. [9]
Tabel 1. Penggunaan Antikoagulan pada Pasien Kritis
Profilaksis Emboli Paru Setelah Rawat Inap
Beberapa kriteria pasien yang perlu diberikan profilaksis antikoagulan setelah rawat inap adalah:
- Penurunan mobilitas
- Komorbiditas seperti kanker
Modified IMPROVE VTE risk score ≥4
Modified IMPROVE VTE risk score >2, dengan D-dimer di atas 2 kali nilai ambang batas atas normal
- Usia >75 tahun
- Usia >60 tahun, dengan D-dimer diatas 2 kali nilai ambang batas atas normal
- Usia 40−60 tahun, dengan D-dimer diatas 2 kali nilai ambang batas atas normal dan riwayat tromboemboli vena sebelumnya[1,10]
Enoxaparin, rivaroxaban, atau betrixaban peroral diberikan selama jangka waktu tertentu. Rekomendasi dosis sebagai berikut:
Enoxaparin: dosis 40 mg sekali sehari selama 6−14 hari
Rivaroxaban: dosis 10 mg sekali sehari selama 31−39 hari
- Betrixaban: dosis inisial 160 mg pada hari ke-1, diikuti 80 mg sekali sehari selama 35−42 hari[1]
Kesimpulan
Pasien COVID-19 dengan emboli paru lebih sering membutuhkan ventilator mekanis, perawatan di ruang intensif, dan jangka waktu perawatan yang lama. Predileksi trombosis pada COVID-19 kemungkinan disebabkan oleh kondisi hiperkoagulabilitas yang bertanggung jawab pada trombosis pembuluh darah besar, dan cedera pembuluh darah serta endotel yang menyebabkan trombosis mikrovaskular in situ.
Stratifikasi risiko emboli paru harus dilakukan pada semua pasien yang mengalami perawatan di rumah sakit. Stratifikasi tersebut menggunakan sistem skoring spesifik, seperti modified international medical prevention registry on venous thromboembolism (IMPROVE VTE), revised Geneva score dan Padua score.
Berbagai panduan perhimpunan dan komunitas merekomendasikan antikoagulan profilaksis untuk pasien COVID-19 yang tidak memiliki kontraindikasi. Beberapa kontraindikasi terapi antikoagulan adalah perdarahan aktif dan trombositopenia berat (< 25.000/ìL).
Pilihan trombofilaksis pada pasien COVID-19, berdasarkan rekomendasi yang ada, adalah unfractionated heparin (UFH) secara intravena, dan low molecular weight heparin (LMWH) atau fondaparinux secara subkutan. Obat-obatan tersebut, pada dosis standar, memiliki waktu paruh pendek dan interaksi lebih sedikit dengan obat penatalaksanaan COVID-19 lain dibandingkan antikoagulan oral.