Red flags atau tanda bahaya kasus konstipasi pada bayi sangat penting dikenali untuk membedakan penyebab fungsional dengan penyebab organik. Artikel ini akan berfokus pada populasi infant, yaitu bayi usia >28 hari hingga <1 tahun.
Kriteria diagnosis konstipasi pada infant dan anak yang lebih besar ternyata cukup berbeda. Berdasarkan kriteria Roma IV, untuk infant dan toddler hingga usia 4 tahun, konstipasi disebut kronik apabila terdapat minimal 2 gejala berikut selama minimal 1 bulan:
- Frekuensi defekasi ≤ 2 kali per minggu
- Riwayat retensi feses berlebihan
- Riwayat pengeluaran feses yang nyeri dan keras
- Riwayat feses dengan diameter besar
- Adanya massa feses yang besar di rektum[1,2]
Etiologi Konstipasi pada Bayi
Prevalensi konstipasi pada infant bervariasi berdasarkan berbagai studi, dengan kisaran 5-27%. Mayoritas kasus konstipasi ini berkaitan dengan penyebab fungsional, sedangkan penyebab organik sangatlah jarang dan dapat dieksklusi secara klinis. Momen umum bayi mengalami konstipasi fungsional adalah saat bayi disapih dan mulai diperkenalkan susu formula atau makanan pendamping ASI yang lebih padat.
Perlu dicatat bahwa pola defekasi bayi memiliki spektrum normal yang luas. Secara umum, infant memiliki pola defekasi sekitar 3-4 kali/hari, sedangkan balita sekitar 2-3 kali/hari. Buang air besar (BAB) kurang dari 3 kali per minggu, defekasi yang menyakitkan atau retensi, dengan atau tanpa encopresis dianggap sebagai konstipasi.[1,3,4]
Penyebab Organik
Penyebab organik konstipasi bisa berkaitan dengan kelainan struktural spesifik seperti stenosis anus atau anal imperforata. Konstipasi juga bisa berkaitan dengan kelainan neurologi yang menyebabkan kontraksi tonus otot lemah pada sfingter ani, sehingga saat defekasi malah terjadi penutupan bukan relaksasi otot. Contoh kelainan neurologi yang bisa menyebabkan konstipasi adalah myelomeningocele, spina bifida okultisme, tumor korda spinalis, atau infeksi.
Konstipasi bisa juga berkaitan dengan penyebab metabolik seperti diabetes insipidus, hiperkalsemia, hipokalemia, atau hipotiroidisme. Penyebab organik lainnya termasuk gangguan usus seperti penyakit Celiac, intoleransi protein susu sapi, cystic fibrosis, penyakit Hirschsprung, dan irritable bowel syndrome.[4]
Penyakit Hirschsprung:
Penyakit Hirschsprung adalah penyebab organik yang perlu diwaspadai. Penyakit Hirschsprung dapat menyebabkan megakolon toksik jika diagnosis terlewatkan. Gejala penyakit Hirschsprung umumnya muncul saat lahir dengan keterlambatan dalam pengeluaran mekonium. Anak laki-laki lebih banyak terpengaruh dibandingkan perempuan, dengan rasio 4:1. Penyakit Hirschsprung juga lebih banyak ditemukan pada penderita sindrom Down.[4]
Penyebab Fungsional
Penyebab fungsional didefinisikan sebagai kesulitan buang air besar akibat penyebab yang tidak berkaitan dengan kelainan pada organ. Pada bayi, konstipasi mungkin berkaitan dengan kurangnya konsumsi cairan. Konstipasi pada bayi juga bisa berkaitan dengan perubahan, seperti berganti dari ASI ke susu formula, memulai makanan pendamping ASI, dan alergi makanan.
Penyebab psikologis atau perilaku termasuk perilaku menahan buang air yang menyebabkan konstipasi seperti setelah merasakan buang air besar yang menyakitkan karena adanya fisura anus, toilet training, reaksi stres, dan juga pada autisme dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).[4]
Red Flags Konstipasi pada Infant
Red flags atau tanda bahaya konstipasi dapat membantu mengenali penyebab organik yang memerlukan terapi segera, seperti penyakit Hirschsprung. Red flags konstipasi pada infant adalah:
- Memiliki riwayat pengeluaran mekonium >48 jam pasca kelahiran aterm atau memiliki riwayat penyakit Hirschsprung di keluarga
Ribbon stools atau feses yang menyerupai pasta gigi
- Darah pada feses tanpa fisura ani
Gagal tumbuh atau berat badan menurun
- Konstipasi yang disertai demam
- Muntah hijau
- Distensi abdomen yang signifikan
- Abnormalitas anal: Posisi anus abnormal, celah gluteus menyimpang, fistula perianal
- Tanda-tanda spina bifida, seperti kekuatan, tonus, atau refleks ekstremitas bawah menurun; refleks anal atau refleks kremaster negatif; adanya rambut di tulang belakang atau lekukan pada sakrum[2-6]
Manajemen Konstipasi pada Bayi yang Memiliki Red Flags
Tata laksana pasien dengan red flags konstipasi pada bayi sangat tergantung dari penyebabnya. Penegakan diagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang tepat dibutuhkan dalam manajemen bayi konstipasi dengan red flags.
Anamnesis
Pada anamnesis, dokter perlu memastikan bahwa pasien benar mengalami konstipasi sesuai dengan kriteria Roma IV. Tanyakan pada orangtua bagaimana konsistensi feses berdasarkan Bristol Stool Form Scale.
Identifikasi apakah ada riwayat pengeluaran mekonium >48 jam pasca kelahiran pada bayi yang lahir aterm. Adanya riwayat pengeluaran mekonium >48 jam pasca kelahiran aterm atau memiliki riwayat penyakit Hirschsprung di keluarga perlu meningkatkan kecurigaan ke arah penyakit Hirschsprung atau cystic fibrosis.
Tanyakan apakah feses berbentuk ribbon stool. Adanya ribbon stool atau feses berbentuk pasta gigi meningkatkan kecurigaan ke arah stenosis anal.
Gejala penyerta juga perlu ditanyakan. Ini termasuk muntah yang disertai dengan perut kembung, kesulitan pertambahan berat dan panjang badan anak, serta konstipasi disertai dengan demam.[2-6]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dan penunjang dapat dilakukan untuk rule-in dan rule-out diagnosis banding. Pemeriksaan fisik yang pertama adalah pemeriksaan inspeksi area perianal untuk tampilan, posisi, dan patensi dari anus. Adanya fistula, fisura multipel, anus yang terlalu rapat, anus yang posisinya terlalu ke anterior dan ketiadaan refleks anal mengindikasikan bahwa penyebab konstipasi bukan idiopatik.
Pada pemeriksaan abdomen, perut yang terdistensi secara signifikan merupakan tanda klinis yang perlu diwaspadai. Dokter juga perlu memeriksa regio tulang belakang lumbosakral dan gluteal. Adanya otot gluteus yang asimetris atau mendatar, didapatkan bukti agenesis sakral, skoliosis, adanya perubahan warna atau lubang di regio tulang belakang lumbosakral mengarah ke spina bifida.
Selain itu, dokter juga perlu melakukan pemeriksaan neuromuskular ekstremitas bawah bayi, termasuk tonus, kekuatan, dan refleks. Adanya deformitas seperti talipes atau club foot, refleks abnormal, tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah lemah, dan tanda neuromuskular abnormal lain yang bukan disebabkan kondisi yang telah ada sebelumnya, misalnya cerebral palsy, perlu diwaspadai.[3-6]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dilakukan pada kasus konstipasi fungsional, tetapi dilakukan pada kasus konstipasi dengan red flags. Pemeriksaan penunjang yang digunakan disesuaikan dengan arah diagnosis pasien. Pemeriksaan penunjang yang mungkin bermanfaat untuk deteksi awal adalah rontgen abdomen.
Biopsi rektum bisa bermanfaat untuk konfirmasi penyakit Hirschsprung. Kadar T4 bebas dan thyroid stimulating hormone (TSH) dapat bermanfaat jika terdapat kecurigaan hipotiroidisme. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pengukuran kadar kalsium darah, ultrasonografi, dan endoskopi.[4-6]
Tata Laksana
Apabila ditemukan red flags konstipasi pada bayi, dokter perlu segera merujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut kepada dokter spesialis yang sesuai. Jangan melakukan tata laksana konstipasi fungsional, seperti penggunaan laksatif, sebelum dipastikan tidak ada kelainan organik dan anatomis yang menyebabkan konstipasi.
Konstipasi fungsional dapat diobati dengan laksatif yang dapat dilanjutkan selama minimal 8 minggu. Laksatif osmotik merupakan lini pertama, laksatif stimulan dapat ditambahkan. Pilihan farmakologi lainnya termasuk agonis serotonin yang meningkatkan motilitas lambung dan aktivator kanal klorida. Pada konstipasi kronis yang refrakter terhadap pengobatan dengan agen motilitas dan pencahar selama lebih dari 4-6 bulan, lakukan evaluasi ulang untuk penyebab organik. Pada kondisi konstipasi terkait penyebab organik atau anatomis, pilihan terapi mungkin mencakup ileostomi, kolostomi, atau kolektomi total.[4-6]