Presbikusis atau age-related hearing loss, berdampak signifikan terhadap kualitas hidup lansia, sehingga skrining dini menjadi langkah penting. Menurut National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NIDCD), sekitar 1 dari 3 orang dewasa berusia 65 hingga 74 tahun mengalami gangguan pendengaran, dan hampir 50% penderita gangguan pendengaran berusia 75 tahun ke atas.[1]
Dampak dari gangguan pendengaran yang tidak ditangani bukan hanya terbatas pada hambatan komunikasi. Risiko demensia, depresi, penyakit kardiovaskular, dan risiko jatuh didapati berhubungan dengan gangguan pendengaran. Selain itu, terdapat hubungan antara gangguan pendengaran dengan penghasilan lebih rendah, pengangguran, serta meningkatnya isolasi sosial dan emosional dibandingkan dengan individu sehat.[2,3]
Meskipun presbikusis memiliki prevalensi tinggi dan berdampak pada kualitas hidup, belum banyak pedoman klinis berbasis bukti dan multidisiplin yang tersedia untuk memandu klinisi dalam penapisan kondisi ini. Sebagian besar fokus dari pedoman klinis adalah pengobatan bagi mereka yang mengalami presbikusis.[1,4]
Rekomendasi Skrining Presbikusis
Pedoman dari American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) merekomendasikan agar semua pasien berusia ≥50 tahun menjalani skrining presbikusis pada setiap kunjungan medis. Rekomendasi ini didasarkan pada satu uji klinis dan beberapa studi observasional dengan kualitas bukti agregat derajat C, namun dengan tingkat keyakinan tinggi bahwa manfaat skrining lebih besar dibandingkan potensi risikonya.
Menurut panel AAO-HNSF, manfaat utama skrining pada populasi usia tersebut meliputi identifikasi dini gangguan pendengaran, memfasilitasi intervensi tepat waktu, meningkatkan komunikasi pasien–keluarga–tenaga kesehatan, serta memperkuat kesadaran klinisi terhadap dampak luas presbikusis. Selain itu, skrining berkontribusi pada peningkatan keamanan pasien dengan mencegah kejadian merugikan akibat gangguan komunikasi.
Dalam hal metode, tidak ada satu metode atau teknik skrining spesifik yang ditetapkan sebagai standar. Oleh sebab itu, skrining bisa dilakukan menggunakan:
- Pertanyaan sederhana seperti “Apakah Anda mengalami kesulitan mendengar?”
- Penggunaan kuesioner presbikusis seperti Hearing Handicap Inventory for the Elderly (HHIE)
- Pemeriksaan klinis sederhana, seperti whispered voice dan finger rub
- Metode berbasis teknologi, seperti audiometri portabel atau aplikasi smartphone.
Frekuensi skrining masih belum disepakati. Ada yang menganjurkan skrining setiap 3 tahun setelah usia 50 tahun, tetapi ada pula yang menganjurkan setiap 5 tahun pada usia 50–65 tahun dan setiap 1–3 tahun setelah usia 65 tahun.[1]
Langkah Lanjutan Setelah Skrining Presbikusis
Apabila hasil skrining mengindikasikan adanya presbikusis, langkah yang direkomendasikan adalah pemeriksaan telinga menggunakan otoskopi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan penyebab yang dapat diatasi, seperti serumen prop, infeksi, atau kelainan struktur kanalis auditorius dan membran timpani. Identifikasi kondisi tersebut penting karena bersifat reversibel dan dapat diatasi tanpa perlu intervensi lanjutan yang lebih kompleks.
Langkah berikutnya adalah pemeriksaan audiometri, yang dianggap sebagai baku emas untuk menilai derajat dan tipe gangguan pendengaran. Pure tone audiometry (PTA) memberi informasi frekuensi spesifik, membedakan jenis gangguan pendengaran, dan bisa menjadi dasar perencanaan terapi selanjutnya.
Apabila hasil diagnostik menunjukkan kondisi selain presbikusis, seperti gangguan pendengaran asimetris, gangguan konduktif atau campuran, maupun skor pengenalan kata yang buruk, pasien harus dievaluasi lebih lanjut atau dirujuk ke spesialis THT.[1]
Rekomendasi Skrining Presbikusis Menurut Pedoman Klinis di Indonesia
Hingga kini, belum ada pedoman klinis di Indonesia yang membahas secara spesifik mengenai gangguan pendengaran pada lansia. Namun, berdasarkan Pedoman Teknis Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2016, deteksi gangguan pendengaran pada kelompok lansia dilakukan melalui kegiatan Posbindu.
Jenis pemeriksaan yang dilakukan adalah tes suara. Jika hasil dari deteksi dini ditemukan gangguan pendengaran, maka pasien perlu dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.[5]
Kesimpulan
Skrining presbikusis disarankan pada semua pasien berusia ≥50 tahun pada setiap kunjungan medis, dengan manfaat utama berupa identifikasi dini, intervensi tepat waktu, serta peningkatan komunikasi dan keselamatan pasien. Metode skrining dapat berupa pertanyaan sederhana, kuesioner, pemeriksaan klinis (whispered voice, finger rub), hingga pemeriksaan seperti audiometri.
Jika hasil skrining positif, langkah lanjutan meliputi pemeriksaan otoskopi untuk menyingkirkan penyebab reversibel, dilanjutkan audiometri sebagai baku emas, dan rujukan ke THT bila ditemukan kondisi lain. Di Indonesia sendiri, pedoman spesifik skrining presbikusis belum tersedia, dan deteksi dini masih mengacu pada program Posbindu dengan tes suara sederhana sebelum pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk evaluasi lanjutan.