Rufinamide merupakan salah satu pilihan terapi adjuvan pada pasien epilepsi yang resisten terhadap pengobatan. Epilepsi merupakan suatu kondisi gangguan aktivitas elektrik di otak yang menimbulkan manifestasi kejang. Manifestasi kejang pada setiap individu sangat bervariasi, dapat berupa gangguan gerak, gangguan sensasi, hingga kehilangan kesadaran, serta dapat terjadi berulang kali dengan ataupun tanpa pencetus di mana dan kapan saja. [1] Meskipun terapi pembedahan (reseksi) pada fokus epilepsi dilaporkan dapat menghasilkan luaran bebas kejang, sepertiga pasien dilaporkan mengalami kejang kembali setelah 3-5 tahun pasca pembedahan. Bangkitan kejang epilepsi yang tidak terkontrol mengakibatkan hilangnya sel neuron yang berdampak pada gangguan kognisi, memori, hingga menyebabkan kematian mendadak.[2]
Rufinamide termasuk golongan obat baru yang telah disetujui FDA sebagai terapi tambahan pada epilepsy, terutama pada sindrom Lennox-Gastaut. Namun, banyaknya perdebatan mengenai efikasi dan efek samping obat ini menjadi pertimbangan dalam pemilihan terapi.[3,4]
Rufinamide dan Tata Laksana Epilepsi
Hingga saat ini, terapi epilepsi berpusat pada penghentian atau penurunan frekuensi bangkitan kejang sehingga meminimalisir efek yang tidak diinginkan. [1,3,4] Kebanyakan kasus dapat dikontrol menggunakan monoterapi OAE (Obat Antiepilepsi). Tetapi pada beberapa individu pemberian monoterapi tidak menghasilkan respon bermakna atau dikenal sebagai resistensi obat, sehingga diperlukan obat lain sebagai tambahan atau adjuvan untuk dapat mengontrol kejang. Selain itu, resistensi obat lebih banyak ditemukan pada kasus bangkitan fokal dibandingkan dengan bangkitan umum.[1]
Rufinamide merupakan derivat triazole dengan spektrum luas yang secara struktural berbeda dengan OAE lainnya. [3,4,5] Rufinamide memiliki kemiripan unsur dengan antifungal dan fungisidal.[3] Obat ini berkembang pada tahun 2004 dan telah disahkan oleh FDA pada tahun 2005 sebagai terapi adjuvan bagi kejang parsial dengan atau tanpa kejang umum sekunder pada dewasa dan anak berusia 12 tahun ke atas; dan terapi adjuvan pada kasus yang berhubungan dengan Lennox-Gastaut pada anak usia 4 tahun ke atas hingga dewasa.[3,4,5]
Mekanisme kerja rufinamide belum terlalu jelas hingga saat ini. Secara in vitro, obat ini berperan dalam menstabilisasi kanal natrium kemudian membatasi keluaran potensial aksi dan mencegah aktivasi kanal natrium. Oleh karenanya, terjadi penurunan hipereksitabilitas neuronal dan propagasi potensial aksi.[3] Rufinamide efektif untuk menurunkan frekuensi kejang absans, absans tipikal, dan kejang atonik. Target dosis rufinamide adalah sekitar 45 mg/kg/hari. Dosis yang digunakan untuk pasien anak dengan berat <30 kg dititrasi mulai dosis 200 mg/hari, sedangkan pasien anak dengan berat >30 kg dimulai dengan dosis dua kali lipat yakni 400 mg/hari. Pasien kemudian dievaluasi dan dosis dapat dititrasi setiap 2 minggu sebesar 5 mg/kg/hari.[4]
Efikasi Rufinamide dalam Tata Laksana Epilepsi
Rufinamide merupakan salah satu jenis OAE (Obat Antiepilepsi) yang digunakan sebagai adjuvan terutama pada kasus epilepsi fokal. [1] Dalam suatu studi, dilaporkan bahwa rufinamide meningkatkan respon terapi sebesar 50-75%. [2] Hal ini sejalan dengan studi lain oleh Kim et al mengenai efikasi dan toleransi rufinamide sebagai terapi adjuvan pada 53 subjek dengan kasus Lennox-Gastaut, Dravet, dan epilepsi general yang tidak terklasifikasi. Dalam studi ini ditemukan bahwa 50% pasien mengalami pengurangan kejang selama 3 dan 6 bulan dengan respon tertinggi pada kasus sindrom Lennox Gastaut (30%) dan epilepsi dengan kejang tonik atau spasme (38.5%) dibandingkan kasus Dravet dan kejang mioklonik.[6]
Sebuah meta analisis yang mengevaluasi efikasi dan keamanan rufinamide pada kasus epilepsi berat dan resisten pengobatan juga menunjukkan hasil serupa. Meta analisis ini mengevaluasi 15 studi dengan total 1847 partisipan. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan rufinamide menghasilkan pengurangan frekuensi kejang sebesar 50% atau lebih dibandingkan kontrol (mendapat terapi standar tanpa rufinamide).[7]
Tinjauan Cochrane terbaru mengevaluasi efikasi dan tolerabilitas penggunaan rufinamide sebagai terapi adjuvan pada kasus epilepsi resisten obat. Peneliti Cochrane meninjau 6 uji klinis dengan total sampel 1759 partisipan. Risk ratio keseluruhan untuk penurunan frekuensi kejang 50% atau lebih adalah sebesar 1,79. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan rufinamide sebagai tambahan terapi OAE konvensional lebih efektif secara signifikan dibandingkan plasebo dalam menurunkan frekuensi kejang pada pasien epilepsi fokal resisten obat. Walau demikian, perlu diketahui bahwa studi yang dianalisis semuanya disponsori oleh produsen obat rufinamide, memiliki durasi studi yang pendek, dan belum meneliti mengenai penggunaan jangka panjang rufinamide.[8]
Tolerabilitas Rufinamide
Efek samping paling umum dari rufinamide, sejalan dengan jenis antiepilepsi lainnya, adalah berupa gangguan pada sistem saraf pusat dan gastrointestinal, dengan puncak awitan pada periode titrasi dengan derajat keparahan ringan hingga sedang. [4] Komplikasi yang paling sering dikeluhkan berupa nyeri kepala, pusing, mual, dan muntah.[7] Komplikasi lain yang juga banyak dilaporkan adalah kelelahan, mengantuk, dan pandangan ganda.[1]
Kesimpulan
Bukti ilmiah yang ada saat ini mengindikasikan bahwa rufinamide memiliki potensi yang baik untuk terapi epilepsi yang resisten terhadap pengobatan. Rufinamide sebagai terapi tambahan pada regimen konvensional telah dilaporkan mampu mengurangi frekuensi kejang hingga 50% atau lebih. Namun, studi lebih lanjut dengan risiko funding bias lebih kecil dan durasi studi lebih panjang masih diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut efikasi dan keamanannya.