Salah satu penyakit autoimun yang dikaitkan dengan efek samping vaksin adalah Sindrom Guillain-Barre. Vaksinasi merupakan upaya pencegahan terjadinya penyakit infeksi yang berperan dalam menurunkan angka mortalitas dan morbiditas. Vaksin yang digunakan dalam program imunisasi harus aman dan efektif. Akan tetapi, tidak ada vaksin yang sepenuhnya bebas risiko dari munculnya efek samping. Pada umumnya, efek samping pemberian vaksin merupakan reaksi yang ringan dan tidak berbahaya, seperti nyeri pada tempat suntikan dan demam. Namun, pada beberapa kasus, efek samping yang timbul dapat menjadi berat dan fatal, seperti kondisi hipersensitivitas atau terjadinya penyakit autoimun.[1,2]
Sekilas tentang Sindrom Guillain-Barre (GBS)
Sindrom Guillain-Barre (GBS) merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan anggota gerak simetris bilateral asendens. Kelemahan otot juga dapat melibatkan otot pernapasan, kelumpuhan wajah, dan otot orofaringeal yang memerlukan intubasi dan ventilasi. Sebagian besar pasien dengan GBS secara bertahap akan pulih dari kelumpuhan.
GBS biasanya didahului dengan adanya infeksi saluran pernapasan atau saluran pencernaan yang mencetuskan respon autoimun dalam tubuh. Antibodi yang terbentuk untuk melawan stimulus antigen saat infeksi mengalami reaksi silang dengan antigen pada saraf perifer. Antibodi tersebut ikut menyerang sistem saraf perifer sehingga memunculkan keluhan kelemahan anggota gerak tipe flaksid.[3,4]
Sindrom Guillain-Barre (GBS) dan Vaksin Influenza
Dugaan bahwa pemberian vaksin dapat mencetuskan terjadinya Sindrom Guillain-Barre (GBS) bermula pada tahun 1976 setelah dilakukan program vaksinasi influenza A di Amerika Serikat untuk melawan pandemi flu babi. Terjadi peningkatan insiden GBS sebanyak 8 kali lipat setelah pemberian vaksin kepada 40 juta penduduk, terutama dalam 2-3 minggu pasca vaksinasi.
Pada tahun 2009, terjadi wabah flu babi yang disebabkan oleh virus H1N1. Vaksin influenza diberikan dengan pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya GBS sebagai efek samping. Hasil penelitian di Amerika Serikat menemukan adanya peningkatan risiko terjadinya GBS yaitu sebesar 1,6 kasus per 1 juta populasi tervaksinasi.[3-5]
Selain vaksin influenza monovalen yang diberikan untuk melawan pandemi, pemberian vaksin influenza trivalen dan quadrivalent biasa diberikan setiap tahun untuk mencegah terjadinya flu musiman. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui risiko terjadinya GBS pasca vaksinasi influenza musiman. Mayoritas tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara vaksin influenza musiman dan kejadian GBS. Dari penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan, perkiraan risiko terjadinya GBS pasca vaksinasi tergolong jarang yaitu 1 kasus per 1 juta populasi tervaksinasi.[3,6]
Peningkatan risiko terjadinya GBS tidak hanya dikaitkan dengan pemberian vaksin influenza, tetapi juga berhubungan dengan kejadian infeksi influenza. Infeksi virus influenza memiliki risiko lebih tinggi menyebabkan GBS dibandingkan dengan pemberian vaksin influenza. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa risiko terjadinya GBS pada populasi yang tidak mendapatkan vaksin influenza saat pandemi lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan populasi yang mendapatkan vaksin. Hal ini menunjukkan bahwa vaksin bermanfaat dalam mencegah infeksi influenza yang selanjutnya menurunkan risiko terjadinya GBS pasca influenza. Manfaat yang didapatkan dari vaksin influenza lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan pada masyarakat sehingga pemberiannya masih tetap dilakukan.[1,3,7]
Mekanisme Vaksin Influenza Menyebabkan Sindrom Guillain-Barre
Mekanisme pasti terjadinya Sindrom Guillain-Barre (GBS) pasca vaksinasi masih belum sepenuhnya diketahui. Dugaan sementara menyebutkan bahwa protein mimicry merupakan proses yang mendasarinya, yaitu antibodi yang diproduksi sebagai respon terhadap vaksinasi influenza mengalami reaksi silang dan menyerang sel saraf karena strukturnya yang mirip dengan antigen vaksin influenza.[2,6]
Sindrom Guillain-Barre (GBS) dan Vaksin Lain
Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pemberian beberapa jenis vaksin lain dengan kejadian Sindrom Guillain-Barre (GBS). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pemberian vaksin pneumokokus, yellow fever, human papillomavirus (HPV), hepatitis B, dan meningokokus dengan peningkatan risiko kejadian GBS.[1,4]
Sindrom Guillain-Barre dan Vaksin COVID-19
Saat ini, beberapa laporan telah menemukan kasus GBS setelah pemberian vaksin SARS-CoV2. Sebuah studi di Tasmania, Australia menemukan 3 kasus GBS 3 minggu setelah pemberian vaksin AstraZeneca dosis pertama. Beberapa kasus GBS juga ditemukan setelah pemberian vaksin Pfizer. Masih belum dapat ditarik kesimpulan hubungan kausalitas antara vaksin SARS-CoV2 dengan kejadian GBS sehingga program vaksinasi perlu diiringi dengan pengawasan kejadian efek samping tersebut.[8-10]
Diagnosis Sindrom Guillain-Barre (GBS) Pasca Vaksinasi
Sampai saat ini, penegakan diagnosis Sindrom Guillain-Barre (GBS) dilakukan berdasarkan kumpulan temuan klinis. Sebuah kriteria diagnosis telah dikembangkan untuk mendeteksi GBS pasca vaksinasi, yaitu kriteria Brighton. Terdapat 7 aspek yang dinilai, yaitu:
- Kelemahan flaksid bilateral dari anggota gerak
- Penurunan refleks fisiologis dari anggota gerak yang mengalami kelemahan
- Progresivitas penyakit dari awitan hingga titik nadir terjadi dalam waktu 12 jam hingga 28 hari
- Jumlah sel pada pemeriksaan cairan serebrospinal < 50 sel/µL
- Peningkatan kadar protein cairan serebrospinal
-
Hasil pemeriksaan nerve conduction study (NCS) yang mengarah ke GBS
- Tidak ditemukan faktor lain yang dapat menjadi penyebab kelemahan anggota gerak[11-13]
Kesimpulan
Vaksinasi yang merupakan upaya pencegahan penyakit infeksi diketahui memiliki efek samping yang serius pada beberapa kasus, yaitu dapat menyebabkan hipersensitivitas dan penyakit autoimun, salah satunya adalah Sindrom Guillain-Barre (GBS). GBS merupakan penyakit yang ditandai dengan kelemahan anggota gerak simetris bilateral akibat kerusakan saraf perifer.
Vaksinasi massal influenza A untuk melawan flu babi pada tahun 1976 menunjukkan peningkatan insiden GBS sebanyak 8 kali lipat. Hal ini mendorong dilakukannya penelitian untuk mengetahui hubungan antara vaksin influenza dengan kejadian GBS. Pada penelitian yang menemukan adanya hubungan signifikan antara pemberian vaksin influenza dengan GBS, estimasi peningkatan risiko tergolong rendah yaitu sekitar 1-1,6 kasus per 1 juta populasi tervaksinasi. Manfaat vaksin dalam mencegah infeksi influenza dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan risiko kejadian GBS pada masyarakat sehingga pemberiannya dapat tetap dilakukan dengan mewaspadai terjadinya efek samping.
Selain vaksin influenza, beberapa laporan kasus terbaru menemukan adanya kasus GBS setelah pemberian vaksin SARS-CoV2. Hubungan kausalitas masih belum dapat disimpulkan karena membutuhkan penelitian lebih lanjut.