Terapi Farmakologis untuk Cegukan Persisten dan Intractable

Oleh :
dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S

Cegukan atau hiccup yang dikenal juga sebagai singultus umumnya memerlukan terapi farmakologis jika bersifat persisten maupun intractable. Cegukan persisten berlangsung lebih lama daripada cegukan akut, yaitu selama >48 jam. Sementara itu, cegukan yang intractable berlangsung hingga >1 bulan. Kedua kondisi ini berbeda dengan mayoritas kasus cegukan akut yang akan hilang dalam waktu 48 jam, sehingga membutuhkan terapi tersendiri untuk mengurangi simtom dan memberikan pasien kenyamanan.[1,2]

Cegukan terjadi karena adanya kontraksi involunter pada diafragma dan otot interkostal yang menyebabkan udara masuk ke paru secara cepat. Cegukan dipercaya melibatkan saraf frenikus dan vagus, kemoreseptor di otak, serta neurotransmitter GABA. Suara khas seperti “hik” muncul akibat penutupan glotis secara tiba-tiba mengikuti kontraksi yang terjadi.[1]

Choking,Woman,While,Drinking,Water;,Home,Danger,,Health,Insurance,,Choking

Reflex arc dipercaya berperan dalam terjadinya cegukan, yang dapat dibedakan secara sentral dan perifer. Penyebab sentral (pada saraf pusat) bisa berupa tumor, aneurisma, neurosifilis, edema vasogenik, kondisi autoimun, dan faktor psikogenik, yang kemudian memengaruhi batang otak dan tulang servikal. Kondisi ini dimediasi GABA, dopamine, dan serotonin. Cegukan dapat menjadi persisten karena aktivitas yang berlebihan pada nukleus soliter dari medula.[2,3]

Sementara itu, penyebab perifer dapat berupa penyakit pada saluran gastrointestinal, paru-paru, maupun jantung, adanya infeksi, konsumsi makanan tertentu, konsumsi alkohol, ataupun faktor iatrogenik, yang mempengaruhi saraf-saraf perifer. Kondisi ini biasanya dimediasi epinefrin, norepinefrin, asetilkolin, dan histamin.[2,3]

Prinsip Terapi Cegukan Secara Umum

Cegukan yang akut (<48 jam) umumnya dapat ditata laksana secara nonfarmakologis, misalnya dengan cara melakukan inspirasi supramaksimal dengan menahan napas 20 detik. Cara lainnya adalah dengan menstimulasi nasofaring, glotis, dan nervus vagus, misalnya dengan meminum air dingin, menelan ludah, dan menggigit lemon. Manuver Valsava juga dapat dilakukan sebagai salah satu terapi.[1,2]

Namun, cegukan yang tidak merespons upaya-upaya tersebut dan menjadi persisten atau intractable akan memerlukan investigasi lebih lanjut untuk identifikasi etiologinya. Cegukan persisten atau intractable mungkin menjadi tanda patologi yang lebih serius. Pemberian obat juga dapat dilakukan untuk mengurangi gejala dan memberikan pasien kenyamanan. Cegukan yang tidak tertangani bisa memengaruhi kualitas hidup pasien karena mengganggu aktivitas sosial, makan, tidur, dan berbicara.[1]

Efikasi dan Keamanan Terapi Farmakologis Cegukan Persisten dan Intractable

Terapi cegukan persisten atau intractable sebaiknya berfokus pada identifikasi etiologi dan penatalaksanaan etiologi tersebut. Namun, pada sebagian kasus, etiologi mungkin tidak dapat diidentifikasi, sehingga terapi simtomatik diberikan untuk membantu pasien merasa nyaman. Terapi simtomatik umumnya memiliki efek terhadap neurotransmitter sentral atau perifer yang berperan dalam refleks cegukan.[1]

Neurotransmitter yang berperan secara sentral adalah GABA, dopamine, dan serotonin, sedangkan neurotransmitter yang berperan pada perifer adalah asetilkolin, histamin, epinefrin, dan norepinefrin. Saat ini, mayoritas terapi farmakologis fokus pada reseptor dopaminergik dan GABA-ergik.[2]

Chlorpromazine

Chlorpromazine merupakan obat antipsikotik yang menghambat reseptor dopamine D2, tetapi juga memengaruhi beberapa neurotransmitter sentral maupun perifer lain, seperti serotonin, histamin, alfa-adrenergik, dan muskarinik.[2,3]

Chlorpromazine merupakan satu-satunya obat yang sudah disetujui oleh U.S food and Drug Administration (FDA) untuk terapi cegukan. Namun, chlorpromazine memiliki efek samping yang signifikan karena bekerja pada beberapa neurotransmitter. Contoh efek sampingnya adalah depresi saraf pusat, sedasi, movement disorder, dan hipotensi.[2,3]

Selain itu, bukti klinis tentang efikasi chlorpromazine untuk terapi cegukan persisten dan intractable sebenarnya masih sangat terbatas. Persetujuan FDA atas chlorpromazine dibuat berdasarkan dua laporan kasus serial lama (tahun 1950-an), yang menunjukkan chlorpromazine IV menghentikan cegukan pada 81 dari 100 pasien yang mengalami cegukan tanpa spesifikasi waktu jelas. Namun, mengingat efek sampingnya signifikan dan bukti efikasi dari uji klinis acak terkontrol belum tersedia, penggunaan obat ini patut dievaluasi kembali.[2,3]

Metoclopramide

Metoclopramide merupakan agen gastroprokinetik yang bekerja dengan cara menjadi antagonis reseptor dopamine dan agonis reseptor serotonin. Obat ini dapat digunakan untuk penyebab sentral maupun perifer, tetapi terutama untuk kasus perifer. Uji klinis acak terkontrol pada 34 pasien cegukan menunjukkan bahwa metoclopramide lebih efektif daripada plasebo untuk menghentikan cegukan. Efek samping yang dilaporkan adalah lelah (47%) dan gangguan mood (35%) setelah penggunaan 15 hari.[1-3]

Meskipun sampel uji klinis tersebut masih terbilang kecil, metoclopramide adalah salah satu dari sedikit farmakoterapi cegukan persisten dan intractable yang sudah memiliki bukti dari uji klinis acak terkontrol. Obat ini memiliki risiko efek samping ekstrapiramidal, tetapi studi menunjukkan bahwa mayoritas pasien bisa menoleransi metoclopramide dengan baik dan hanya mengalami efek samping minor. Metoclopramide dapat diberi secara oral maupun parenteral untuk terapi cegukan.[1-3]

Baclofen

Baclofen merupakan agonis reseptor GABA. Baclofen memberikan efek inhibisi pada reflex arc. Uji klinis acak terkontrol pada 30 pasien stroke menunjukkan ada perbaikan cegukan yang lebih unggul daripada plasebo (14/15 pasien dibandingkan 2/15 pasien) dengan kurun waktu terapi 5 hari.[1,2]

Tinjauan sistematis oleh Polito, et al. juga menunjukkan adanya perbaikan gejala pada 78 dari 84 pasien yang mendapatkan baclofen. Baclofen terutama dapat diberikan pada kasus dengan penyebab sentral. Obat ini dapat memberikan efek segera (sekitar 30 menit) setelah pemberian dan terbukti efektif meredakan cegukan intractable. Efek sampingnya dapat berupa kelemahan otot, sedasi, somnolen, pusing, dan mual. Tidak ada laporan efek samping serius. Ke depannya, uji klinis acak terkontrol dengan sampel lebih banyak mungkin diperlukan untuk konfirmasi.[1-3]

Gabapentin

Gabapentin merupakan molekul menyerupai GABA yang berperan pada voltage-gated calcium channel. Obat ini menyebabkan modulasi pada diafragma dan otot pernapasan inspirasi. Belum ada uji klinis acak terkontrol yang menggunakan gabapentin sebagai monoterapi cegukan persisten dan intractable.[1,2]

Laporan kasus serial terkait gabapentin menemukan adanya perbaikan cegukan pada 81 dari 83 pasien dengan durasi terapi paling lama 6 bulan. Laporan kasus serial oleh Moretti, et al. menunjukkan perbaikan gejala setelah 3 hari pemberian gabapentin. Obat ini dapat memberikan efek dalam waktu <24 jam. Akan tetapi, gabapentin juga memiliki efek samping sedasi. Selain itu, uji klinis acak terkontrol masih diperlukan untuk dapat menghasilkan bukti yang lebih kuat tentang efikasi dan keamanan gabapentin untuk terapi cegukan.[1-3]

Haloperidol

Haloperidol adalah antipsikotik tipikal yang merupakan antagonis reseptor dopamine di otak pada dosis yang rendah. Laporan kasus serial menunjukkan perbaikan cegukan setelah pemberian haloperidol 2 mg secara IM dalam waktu 30–60 menit dilanjutkan dengan haloperidol 2–4 mg oral selama 2 hari.[2]

Namun, bukti dari laporan kasus serial masih berkekuatan lemah dan perlu dikonfirmasi kembali dengan uji klinis acak terkontrol. Selain itu, haloperidol dapat memberikan efek antikolinergik, depresi sistem saraf pusat, orthostasis, dan efek ekstrapiramidal dalam dosis tinggi, sehingga penggunaannya harus diwaspadai.[2]

Risperidone

Risperidone merupakan antipsikotik atipikal yang serupa dengan haloperidol, yang juga bekerja sebagai inhibitor poten pada reseptor dopamine D2. Selain itu, risperidone juga memiliki afinitas lebih kuat daripada haloperidol terhadap reseptor serotonin 2A. Obat ini juga diketahui bekerja dalam transmisi neural pada reflex arc.[4]

Laporan kasus serial menyatakan risperidone dapat digunakan pada pasien dengan disfungsi sistem serotonergik seperti pada kasus cegukan yang berhubungan dengan stres atau ansietas. Namun, penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan risperidone pada singultus intractable, terutama dengan desain uji klinis acak terkontrol, masih perlu dilakukan.[4]

Obat-Obatan Lain

Terapi lain seperti amitriptyline, midazolam, nifedipine, orphenadrine citrate, dan asam valproat juga saat ini hanya memiliki laporan kasus serial untuk cegukan. Oleh sebab itu, efikasi dan keamanannya belum dapat dipastikan dan masih perlu diteliti.[3]

Kesimpulan

Meskipun identifikasi etiologi merupakan fokus dalam manajemen cegukan persisten atau intractable, terapi farmakologis simtomatik dapat diberikan untuk menghentikan gejala dan memberi pasien kenyamanan, terutama jika etiologi tidak dapat diidentifikasi.

Saat ini, satu-satunya obat yang telah disetujui oleh FDA untuk terapi cegukan adalah chlorpromazine. Namun, bukti efikasinya masih sangat terbatas dan efek sampingnya cukup signifikan, sehingga pemberiannya patut dievaluasi ulang. Terbatasnya bukti klinis juga terjadi pada obat lain seperti antipsikotik, amitriptyline, midazolam, dan asam valproat. Mayoritas obat-obatan ini hanya memiliki bukti berkekuatan lemah untuk terapi cegukan, yang berasal dari laporan kasus serial.[3]

Obat yang telah memiliki bukti dari studi prospektif pada cegukan persisten maupun intractable adalah metoclopramide dan agonis GABA, yakni baclofen dan gabapentin. Ketiga obat tersebut juga diketahui memiliki efek samping lebih minimal dibandingkan dengan antipsikotik.

Baclofen dan metoclopramide telah menjalani uji klinis acak terkontrol. Metoclopramide dapat menjadi pilihan bila terdapat etiologi perifer. Apabila terdapat etiologi sentral yang jelas, baclofen dapat menjadi pilihan. Namun, di masa depan, kedua obat ini juga perlu diteliti lebih lanjut dalam studi berskala lebih besar, karena studi klinisnya saat ini masih memiliki jumlah sampel terbatas.

Referensi