Early Detection Of Dementia With Default-Mode Network Effective Connectivity
Ereira, S., Waters, S., Razi, A. et al. Nat. Mental Health 2, 787–800 (2024). https://www.nature.com/articles/s44220-024-00259-5
Abstrak
Latar Belakang: Perubahan konektivitas fungsional terjadi sebelum perubahan struktural otak dan munculnya gejala pada dementia. Penyakit Alzheimer merupakan penyebab utama dementia pada tingkat populasi dan menyebabkan gangguan konektivitas fungsional pada default-mode network (DMN) otak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model neurobiologis dari konektivitas efektif DMN dapat memprediksi diagnosis dementia di masa depan pada tingkat individu.
Metode: Dengan menggunakan model kausal dinamis spektral pada data pencitraan MRI fungsional saat istirahat dari kelompok nested case–control di UK Biobank, penelitian ini melibatkan 81 individu yang belum terdiagnosis namun mengembangkan dementia hingga sembilan tahun setelah pencitraan, dan 1.030 kontrol yang cocok.
Hasil: Hasil menunjukkan bahwa diskonektivitas dapat memprediksi kejadian dementia di masa depan (AUC = 0,82) dan waktu menuju diagnosis (R = 0,53), dengan hasil yang lebih baik dibandingkan model yang didasarkan pada struktur otak dan konektivitas fungsional. Selain itu, penelitian ini juga mengevaluasi hubungan antara diskonektivitas DMN dengan faktor risiko utama dementia, dan menemukan hubungan yang kuat dengan risiko poligenik untuk penyakit Alzheimer dan isolasi sosial.
Kesimpulan: Model neurobiologis dari konektivitas efektif dapat membantu deteksi dini dementia pada tingkat populasi, yang mendukung penerapan strategi pencegahan dementia yang lebih tepat sasaran.
Ulasan Alomedika
Dementia adalah kondisi yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir dan mengingat, dengan penyakit Alzheimer sebagai penyebab utama. Studi ini mencoba memahami apakah perubahan dalam cara bagian-bagian otak berkomunikasi satu sama lain bisa menjadi tanda awal dari dementia, bahkan sebelum ada perubahan fisik di otak atau gejala yang muncul.
Peneliti ingin melihat apakah gangguan dalam jaringan tertentu di otak, yang disebut default-mode network (DMN), dapat digunakan untuk memprediksi apakah seseorang akan terkena dementia di masa depan. Jaringan ini penting karena berfungsi saat kita sedang istirahat atau tidak fokus pada tugas tertentu.
Ulasan Metode Penelitian
Secara garis besar, penelitian ini dilakukan menggunakan data pencitraan otak dari sekelompok orang di UK Biobank, yang belum didiagnosis dementia saat pencitraan dilakukan. Beberapa dari subjek kemudian mengembangkan dementia hingga 9 tahun kemudian. Peneliti menganalisis bagaimana bagian-bagian otak dalam DMN berinteraksi saat subjek beristirahat, dan apakah ada pola tertentu yang dapat memprediksi siapa yang akan terkena dementia.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan nested case-control. Klasifikasi luaran menggunakan variabel semua penyebab dementia, sehingga tidak membatasi analisis terhadap kondisi Alzheimer saja dengan tujuan mendapatkan analisis yang merefleksikan kondisi ekologis dan patologis dementia dalam sebuah populasi.
Analisis data rs-fMRI berasal dari subjek penelitian yang mengalami dementia dan kontrol yang cocok. Spektral DCM30 digunakan untuk memperkirakan konektivitas efektif, dimana teknik tersebut mampu menyesuaikan model saraf generatif dan hemodinamik melalui cross-spectra BOLD time-series dari data rs-fMRI.
Ulasan Hasil Penelitian
Penelitian ini melibatkan 103 kasus dementia, yang mana 22 subjek sudah terdiagnosis dementia sejak awal penelitian (prevalent dementia) dan 81 subjek mengalami dementia selama proses penelitian dengan waktu rata-rata terdiagnosis selama 3,7 tahun (incident dementia), serta 1030 kasus kontrol. Tiga perubahan konektivitas yang tampak pada dementia adalah:
- Peningkatan inhibisi dari ventromedial prefrontal cortex ke left posterior hippocampal formation
- Peningkatan inhibisi dari left inferior parietal cortex ke left posterior hippocampal formation
- Pengurangan aktivitas inhibisi dari right posterior hippocampal formation ke dorsomedial prefrontal cortex
Implikasi temuan tersebut mengarah pada gangguan dalam fungsi memori, komunikasi, integrasi informasi sensorik, perubahan regulasi emosi dan fungsi eksekutif yang lazim ditemui pada kondisi dementia.
Isolasi sosial sebagai salah satu faktor risiko menunjukkan hubungan signifikan dengan indeks konektivitas efektif (𝛃 = 0.025, P = 0.003, PFWE-corrected = 0.028), sehingga pada subjek dengan isolasi sosial lebih memiliki pola konektivitas yang menyerupai dementia. Secara keseluruhan, studi ini menyimpulkan bahwa gambaran neurobiologi yang ditampilkan melalui jaringan konektivitas otak dapat menjadi alat prediksi akurat mengenai apakah dan kapan seseorang akan mengalami dementia.
Kelebihan Penelitian
Studi ini menggunakan pemodelan kausal dinamis spektral untuk menganalisis data pencitraan fMRI keadaan istirahat. Pendekatan ini memungkinkan pemahaman dalam DMN otak untuk mengidentifikasi perubahan yang terkait dengan dementia.
Penelitian ini juga mengeksplorasi hubungan antara diskonektivitas DMN dan faktor risiko utama untuk dementia, seperti risiko poligenik untuk penyakit Alzheimer dan isolasi sosial. Selain itu, studi ini juga memberi informasi neurobiologis yang mencoba menggambarkan pengaruh kausal antara wilayah otak, sehingga menawarkan pemahaman tentang sirkuit saraf yang terlibat dalam dementia.
Limitasi Penelitian
Keterbatasan penelitian ini ada pada aspek alat dan subjek penelitian. Pada praktiknya, penggunaan fMRI cenderung mahal dan akan sulit diterapkan sebagai alat skrining. Citra yang dihasilkan dari fMRI juga sulit untuk diandalkan, salah satunya karena alat cukup dipengaruhi oleh gerakan pasien.
Selain itu, jika pun pasien terdeteksi dini dementia, belum ada intervensi yang dapat dilakukan untuk mencegah perkembangan dementia. Oleh sebab itu, melakukan tes ini memiliki risiko, terutama jika hasilnya positif, karena tidak adanya intervensi yang efektif untuk mencegah atau mengobati dementia yang dapat memicu kecemasan, depresi, dan bahkan risiko bunuh diri yang tidak perlu.
Subjek penelitian ini juga masih terbatas, sehingga kekuatan bukti yang dihasilkan juga belum cukup baik. Ukuran sampel yang digunakan cukup kecil, terutama dalam kasus dementia yang memiliki beragam etiologi dan proses patofisiologi. Oleh karena itu, tampaknya tidak mungkin satu tes skrining saja dapat mencakup semua variasi ini.
Selain itu, sampel diambil dari UK Biobank, yang bisa dibilang termasuk dalam populasi yang lebih kurang terbelakang secara sosioekonomi dibandingkan dengan populasi di belahan dunia lain, termasuk Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang penerapan temuan pada kelompok yang lebih beragam dan representatif.
Terakhir, akurasi 80% berarti ada tingkat positif palsu dan negatif palsu yang tinggi untuk pemeriksaan ini. Hal ini akan mengakibatkan dilakukannya pengujian konfirmasi atau intervensi yang tidak perlu jika ada hasil positif palsu, serta memberikan rasa lega atau kepastian yang salah jika ada hasil negatif palsu.
Aplikasi Hasil Penelitian
Meskipun studi ini menunjukkan potensi dari modalitas skrining non-invasif untuk dementia, makna klinis dari temuan ini patut dipertanyakan. Selain dari pertimbangan mengenai efisiensi biaya dan sumber daya, hasil skrining yang positif juga akan sulit ditindaklanjuti mengingat belum adanya intervensi yang efektif dalam mencegah perkembangan dementia.
Ditambah lagi, hasil skrining yang positif ketika saat ini belum ada tindak lanjut atau pencegahan yang efektif untuk dementia, hanya akan menimbulkan kecemasan yang tidak perlu bagi pasien. Penelitian dan pengembangan lebih lanjut masih diperlukan dalam hal skrining, pencegahan, dan pengobatan dementia sebelum tes semacam ini bisa dianjurkan kepada pasien.