Pemberian vaksin COVID-19 booster atau tambahan bagi tenaga kesehatan mulai banyak didiskusikan seiring masih berlangsungnya pandemi. Dengan adanya kekhawatiran peningkatan tajam jumlah pasien COVID-19 dan temuan penelitian berupa penurunan respons imun yang dipicu vaksin seiring waktu, sejumlah negara mulai mempertimbangkan pemberian dosis vaksin COVID-19 tambahan pada individu yang telah mendapatkan vaksinasi secara lengkap.
Di lain sisi, terdapat beberapa argumen bahwa kebijakan pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan saat ini belum didukung oleh bukti manfaat yang mapan. Hingga saat ini, penelitian masih perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kelompok berisiko yang memerlukan vaksinasi COVID-19 tambahan.
Selain itu, WHO telah mengeluarkan moratorium pemberian vaksin COVID-19 tambahan setidaknya hingga akhir September 2021. Pada artikel ini akan dibahas mengenai bukti awal yang menunjukkan potensi manfaat vaksinasi COVID-19 tambahan, urgensi pemberian vaksinasi COVID-19 bagi tenaga kesehatan, dan konsekuensi kebijakan pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan pada tenaga kesehatan.[1-3]
Potensi Manfaat Vaksin COVID-19 Booster
Potensi manfaat vaksinasi COVID-19 tambahan didasari pada prinsip modifikasi sel imun untuk melakukan multiplikasi dan meningkatkan kadar antibodi spesifik. Silva-Cayetano et al melakukan analisis imunofenotip pada hewan coba guna mempelajari perbedaan respons imun seluler dan humoral setelah pemberian vaksin COVID-19 AstraZeneca.
Para peneliti menemukan bahwa tikus yang mendapatkan vaksinasi COVID-19 primer mengalami peningkatan kadar sel Th1 dan CD8+ polifungsional yang memproduksi sedikit antibodi penetralisir hingga hari ke-21 setelah injeksi vaksin. Antibodi penetralisir pertama tersebut diproduksi oleh sel plasma berusia pendek.
Kemudian, pusat germinal dan sel Th folikuler akan terbentuk dan berperan dalam peningkatan titer antibodi jangka panjang. Pemberian dosis tambahan homolog ChAdOx1 nCoV-19 meningkatkan respons sel B, sel Th, dan CD8+ pada hewan coba berusia muda dan tua. Hal ini sejalan dengan temuan Folegatti et al bahwa vaksinasi dengan pendekatan prime-boost memiliki profil keamanan yang baik dan meningkatkan respons imunitas humoral, khususnya pada individu berusia lanjut.[1-3]
Respons Imun terhadap Vaksin Booster
Selain itu, respons sel imun bawaan menunjukkan perbedaan pada individu yang mendapatkan vaksinasi ulang dibandingkan vaksinasi primer. Pada vaksinasi primer, antigen yang berasal dari vaksin bersifat bebas dan dideteksi melalui pola molekuler terkait patogen (pathogen associated molecular pattern/PAMP) dan reseptor pengenalan pola (pattern recognition receptor/PRR) yang dihasilkan oleh sel imun bawaan.
Pada vaksinasi ulang, imunogen akan membentuk kompleks imun bersama antibodi primer. Selanjutnya, kompleks imun ini akan dibersihkan oleh sel fagosit penghasil FcR yang kelak memicu peradangan dan memicu presentasi epitop turunan vaksin ke sel imun bawaan.[3]
Imunitas jangka panjang setelah vaksinasi tambahan juga tampaknya dibantu oleh peran sel T memori residen (TRM) yang menempati berbagai mukosa jaringan dan organ. TRM tidak bersirkulasi seperti halnya jenis sel T memori lain, tetapi banyak ditemukan pada sekitar jaringan tempat pemberian vaksin dan bertindak sebagai sistem imun sentinel. Sel ini berespons lebih cepat terhadap imunogen vaksin ulang dan turut berperan pada peradangan lokal serta modulasi sel imun bawaan. Sitokin yang dihasilkan TRM dapat mempercepat rekrutmen, aktivasi, dan pengenalan sel imun bawaan.
Sebagai contoh, pada individu yang mengalami influenza pascavaksinasi, sel T memori CD4+ dapat meningkatkan sitokin proinflamasi bawaan yang dihasilkan oleh sel pembawa antigen (APC) di paru-paru ketika terjadi kontak antar sel dan pengenalan antigen secara berkesinambungan. Hal ini akan meningkatkan respons sel imun bawaan dan berpotensi dalam pengendalian replikasi virus sejak dini pada pasien yang telah divaksinasi. Walaupun demikian, bukti mengenai peran TRM pada imunitas jangka panjang setelah vaksinasi COVID-19 hingga kini belum tersedia luas dan secara teoritis didasarkan pada hasil penelitian tentang vaksin untuk penyakit virus lainnya.[3-5]
Imunogenitas terhadap Vaksin COVID-19 Mix-and-Match
Secara klinis, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 Moderna, Pfizer-BioNTech, Oxford-AstraZeneca, dan Sinovac memicu peningkatan antibodi penetral jika vaksin COVID-19 tambahan diberikan beberapa bulan setelah dosis kedua. Sebuah penelitian sedang dilakukan di Inggris Raya untuk menilai efektivitas kombinasi berbagai jenis vaksin COVID-19 yang berbeda atau strategi mix-and-match.
Hasil sementara dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa strategi heterologous prime-boost dapat memberikan respons imun yang lebih kuat dan luas yang ditandai oleh kadar antibodi tinggi dan peningkatan jumlah sel T. Luaran lain yang diamati dari penelitian ini adalah tingkat kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), berupa sakit kepala dan demam tidak berbeda bermakna dibandingkan saat vaksinasi primer. Hal ini berarti bahwa pemberian vaksin COVID-19 tambahan yang berbeda dari vaksinasi primer berpotensi memberikan respons imun yang lebih baik tanpa menimbulkan peningkatan kejadian efek samping.[6-8]
Urgensi Pemberian Vaksin COVID-19 Booster bagi Tenaga Kesehatan
Urgensi pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan bagi tenaga kesehatan perlu mempertimbangkan setidaknya 3 faktor utama. Tiga faktor ini merupakan landasan pertimbangan yang tertuang dalam pernyataan interim WHO mengenai pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan.
Pertama, pengumpulan bukti ilmiah tentang penurunan imunitas setelah vaksinasi COVID-19 sebaiknya cukup memadai. Kedua, efektivitas vaksin di populasi umum maupun khusus yang rentan terhadap transmisi COVID-19 perlu tersedia. Ketiga, ketersediaan vaksin pada berbagai tingkat administratif (lokal, nasional, dan internasional) serta kesetaraan akses bagi seluruh populasi perlu dipastikan merata.[9]
Imunitas setelah Vaksinasi COVID-19
Penurunan titer antibodi setelah vaksinasi merupakan salah satu parameter penting dalam menilai urgensi pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan bagi tenaga kesehatan. Shrotri et al dalam sebuah studi potong lintang mengungkapkan bahwa terjadi penurunan kadar antibodi S dalam kurun waktu sedini 3-10 minggu setelah dosis kedua untuk vaksin COVID-19 AstraZeneca atau vaksin COVID-19 Pfizer.
Fenomena serupa juga tercatat pada pasien pascainfeksi alamiah walaupun populasi sel B memori tidak berubah secara signifikan. Kendati terdapat kekhawatiran tentang penurunan titer antibodi penetral setelah vaksinasi COVID-19, saat ini belum diketahui ambang batas titer antibodi tertentu yang berkaitan dengan proteksi dan luaran klinis (misalnya peningkatan transmisi atau beda proporsi keparahan COVID-19 dibandingkan individu yang tidak divaksin).
Data yang ada saat ini tersedia mengisyaratkan bahwa beberapa jenis vaksin COVID-19 dapat memberikan respons antibodi penetralisir yang bertahan setidaknya selama 6 bulan setelah pemberian dosis vaksin secara lengkap dengan sedikit penurunan kadar antibodi pada rentang waktu yang sama tersebut.[10,11]
Efektivitas Vaksin COVID-19 pada Populasi Rentan
Terkait efektivitas berbagai jenis vaksin COVID-19, bukti yang ada saat ini tampaknya belum cukup untuk menentukan apakah terdapat penurunan efektivitas bermakna terhadap berbagai kategori penyakit COVID-19 setelah 6 bulan sejak vaksinasi lengkap. Data terkait hal ini akan membantu pembuatan kebijakan pelaksanaan vaksinasi khususnya terkait subpopulasi yang terbukti paling rentan terhadap COVID-19 derajat sedang atau berat sehingga memerlukan pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan.
Analisis beberapa data dari Israel dan Inggris Raya menunjukkan potensi perbedaan estimasi efektivitas vaksin setelah dosis pertama antara 45-90% pada negara dengan cakupan vaksinasi yang tinggi. Rentang perbedaan ini dapat dipengaruhi oleh perbedaan strategi pemeriksaan COVID-19, karakteristik populasi, definisi kasus, dan pendekatan analisis yang digunakan.[12]
Kesetaraan Akses terhadap Vaksin COVID-19
Kesetaraan akses setiap individu terhadap vaksin COVID-19 berdasarkan tingkat risiko tiap subpopulasi juga menjadi faktor penting yang patut dipertimbangkan. Kesetaraan akses sepatutnya tertuang dalam kebijakan nasional program vaksinasi COVID-19 sebagai acuan seragam seluruh pelaksanaan layanan di Indonesia dan dapat ditinjau sesuai perkembangan epidemiologi.
Di satu sisi, pemberian vaksinasi COVID-19 dosis tambahan pada populasi tertentu ketika proporsi populasi yang belum divaksinasi masih cukup besar berpotensi mengesampingkan prinsip kesetaraan individu pada tingkat nasional maupun global. Di sisi lain, pengutamaan dosis booster dibandingkan kecepatan dan cakupan vaksinasi COVID-19 dosis pertama juga berpotensi menghambat mitigasi pandemi COVID-191 global. Oleh sebab itu, penerapan vaksinasi COVID-19 tambahan pada tenaga kesehatan tidak boleh menghambat kesinambungan layanan vaksinasi COVID-19 yang telah ada.[10-12]
Konsekuensi Kebijakan Pemberian Vaksin COVID-19 Booster bagi Tenaga Kesehatan
Konsekuensi kebijakan pemberian vaksin COVID-19 tambahan bagi tenaga kesehatan berpotensi memengaruhi dua luaran penting. Pertama, jika pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan bagi tenaga kesehatan terbukti meningkatkan efikasi vaksin pada populasi berisiko ini, hal tersebut dapat menjadi dasar kebijakan serupa bagi kelompok berisiko lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, suatu analisis dampak kebijakan perlu direncanakan dengan membandingkan efikasi vaksin pada tenaga kesehatan yang mendapatkan dibandingkan yang tidak mendapatkan booster.
Kedua, alokasi sejumlah proporsi vaksin untuk vaksinasi COVID-19 tambahan sebaiknya disertai perencanaan bahwa hal tersebut tidak mengurangi alokasi jumlah vaksin COVID-19 bagi populasi target yang sedang berjalan. Dengan demikian, pemberian vaksinasi COVID-19 tambahan dapat mencapai tujuan yang diharapkan dengan tetap mengutamakan keberhasilan program vaksinasi COVID-19 yang sedang berjalan.[3,7-11]
Kesimpulan
Vaksin COVID-19 booster berpotensi meningkatkan respons imun seluler dan humoral terhadap SARS-CoV-2 yang penting khususnya bagi individu yang berisiko lebih tinggi terhadap COVID-19. Bukti yang ada mengisyaratkan bahwa strategi heterologous prime-boost dapat memicu respons imun yang lebih kuat untuk pertahanan terhadap COVID-19.
Meskipun demikian, belum terdapat bukti yang menunjukkan apakah vaksin COVID-19 booster dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi COVID-19 yang berat maupun tingkat mortalitas.
Berdasarkan bukti awal yang ada, pemberian dosis tambahan dapat dipertimbangkan bagi tenaga kesehatan dengan tetap memperhatikan tiga aspek, yakni risiko dari penurunan titer antibodi penetral SARS-CoV-2 seiring waktu, efektivitas vaksin pada berbagai subpopulasi, dan ketersediaan vaksin yang mendukung kesetaraan akses bagi seluruh populasi.