Vaksinasi COVID-19 pada ibu menyusui saat ini sudah dapat diberikan melalui berbagai jenis platform vaksin yang tersedia di masyarakat. Secara umum, diketahui bahwa vaksin dapat menimbulkan respons imunitas pada seseorang dalam melawan suatu penyebab penyakit. Respons imunitas ini bukan hanya bermanfaat untuk melindungi dirinya sendiri, tetapi juga melindungi orang di sekitarnya.
Pembahasan penelitian terbaru mempertanyakan apakah vaksinasi COVID-19 pada ibu menyusui dapat menimbulkan imunitas pula pada bayi yang diberikan ASI ibu yang telah di vaksin. Tentunya jika benar ASI yang diberikan dari ibu yang telah divaksinasi COVID-19 dapat memicu respons imun pada bayinya akan menjadi kabar yang cukup menggembirakan, sebab vaksin yang dapat diberikan kepada bayi baru lahir hingga anak usia di bawah 5 tahun sampai saat ini masih terus diteliti dan belum ada rekomendasi jenis vaksin yang dapat diberikan kepada mereka.
Sehingga bayi baru lahir hingga kelompok anak balita termasuk ke dalam kelompok rentan yang masih dapat mengalami gejala berat dari infeksi COVID-19. Bagaimana mekanisme imunitas dapat ditimbulkan pada bayi yang diberikan ASI dari ibu yang sudah mendapatkan vaksin COVID-19 serta seberapa besar respons imunitas yang ditimbulkan pada mereka akan menjadi pembahasan khusus pada tulisan ini.[1,2]
Vaksinasi COVID-19 pada Ibu Menyusui
Pemberian vaksinasi bagi ibu menyusui awalnya dikhawatirkan memberikan dampak negatif terhadap ASI, meskipun diketahui vaksin yang diberikan sama sekali tidak mengandung partikel virus hidup yang dapat membahayakan ibu maupun bayinya.
Atas pertimbangan inilah penelitian efek vaksin terhadap ibu menyusui belum secara masif dilakukan. Namun beberapa peneliti akhirnya mulai mencoba meneliti efek pemberian vaksin pada ibu menyusui setelah pemberian vaksin dengan platform mRNA secara luas digunakan, yaitu vaksin COVID-19 Pfizer dan Moderna.
Hasil penelitian yang dilakukan ternyata partikel vaksin yang diberikan pada ibu menyusui tidak terdeteksi pada ASI yang dihasilkan. Akan tetapi, beberapa peneliti menemukan antibodi terhadap SARS-CoV-2 dapat terdeteksi pada ASI Ibu yang mendapatkan vaksin sebagai respons imunitas yang dihasilkannya.[1-6]
Penelitian kohort prospektif Perl SH et al terhadap 84 wanita yang mendapatkan vaksin COVID-19 mRNA di Israel menunjukan kadar anti-SARS-CoV-2-spesifik antibodi IgA dalam ASI meningkat secara signifikan dalam 2 minggu setelah pemberian dosis pertama. Tingkat terdeteksinya antibodi tersebut meningkat dari 61,8% menjadi 86,1% sampel positif pada minggu ke-4 (1 minggu setelah dosis ke 2).
Kadar anti-SARS-CoV-2-spesifik antibodi IgG dalam ASI mulai muncul pada 3 minggu awal, lalu meningkat di minggu ke-4 dengan 91,7% sampel positif, dan terus meningkat menjadi 97% di minggu ke-5 dan 6. Penelitian kohort prospektif Valcarce V et al terhadap 22 ibu menyusui di Universitas Florida juga memberikan hasil yang sama, yaitu anti-SARS-CoV-2-spesifik antibodi IgA dan IgG ditemukan dalam jumlah yang signifikan di dalam ASI setelah vaksinasi COVID-19.
Demikian pula penelitian kohort prospektif Esteve-Palau E et al terhadap 33 ibu menyusui di RS Parc Sanitari Sant Joan de Deu, Spanyol. Studi tersebut mendapatkan bahwa anti-SARS-CoV-2-spesifik antibodi IgG ditemukan di dalam ASI setelah vaksinasi COVID-19.[2-4]
Manfaat ASI dari Ibu yang mendapatkan Vaksin COVID-19
Produksi antibodi akan dipicu melalui aktivasi sel limfosit B pascavakasinasi. Ketika proses laktasi berlangsung, sel kelenjar payudara akan mengirimkan sinyal yang memicu sel B, kemudian akan menghasilkan produksi ribuan antibodi per detik di dalam kelenjar payudara.
Oleh karena molekul antibodi cukup besar, mereka tidak dengan mudah langsung dapat diekskresikan ke dalam ASI. Reseptor permukaan dari duktus payudara akan menangkap antibodi, dan melindungi antibodi dalam sebuah gelembung udara yang memungkinkannya melewati sel duktus payudara dan keluar ke dalam ASI.
Antibodi dalam ASI yang kemudian ditelan oleh bayi akan memberikan perlindungan dengan melapisi area mulut, kerongkongan, hingga pencernaan sebelum akhirnya dicerna, sehingga tidak masuk ke dalam sirkulasi darah bayi.
Penelitian menunjukan bahwa bayi yang mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki risiko infeksi lebih rendah dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI lebih singkat atau bahkan tidak mendapatkan ASI. Diharapkan bahwa ASI juga dapat memberikan efek yang sama terhadap infeksi SARS-CoV-2.
Romero Ramirez et al melaporkan bahwa konsentrasi antibodi pada ibu yang menyusui 24 bulan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan ibu yang menyusui kurang dari 24 bulan. Antibodi yang ditemukan dalam ASI menunjukan efek netralisasi yang cukup kuat, yang mengarah ke efek protektif potensial dalam melawan infeksi. Sehingga diharapkan bayi dapat turut terlindungi selama terus diberikan ASI dari ibu yang sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19.[1-6]
Sebuah penelitian kohort prospektif oleh Golan et al meneliti 50 ibu menyusui yang mendapatkan vaksin berbasis mRNA (mRNA-1273 dan BNT162b2). Sampel darah dan ASI subjek diperiksakan setelah vaksinasi dosis pertama, dosis kedua, dan 4-10 minggu setelah dosis kedua.
Hasil studi menunjukkan bahwa meskipun kadar IgG anti-SARS-CoV-2 pada ASI meningkat cukup tinggi setelah pemberian dosis kedua dibandingkan saat dosis pertama, antibodi pada ASI tersebut tidak diteruskan ke dalam sirkulasi darah bayi selama menyusui.
Antibodi SARS-CoV-2 tidak terdeteksi dalam darah bayi berusia 68 hari hingga 1 tahun yang diberikan ASI dari ibu yang mendapatkan vaksin COVID-19 meskipun kadar antibodi cukup tinggi pada ASI maupun plasma ibunya. Dengan begitu, disimpulkan bahwa pemberian vaksinasi COVID-19 pada ibu menyusui tidak menstimulasi respons imun bayi.
Lain hal nya pada teori antibodi maternal yang dapat diteruskan kepada janin selama masa kehamilan. Penelitian ini menunjukan bahwa bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapatkan dua dosis vaksinasi COVID-19 selama masa kehamilan memiliki kadar IgG anti-SARS-CoV-2 dalam plasma saat lahir maupun saat kontrol kemudian.[7]
Efek Samping Pemberian ASI dari Ibu yang Mendapatkan Vaksin COVID-19
Selain menilai apakah ASI dari ibu yang mendapatkan vaksinasi COVID-19 dapat memicu respons imunitas pada bayinya, penelitian yang dilakukan Golan Y et al juga mempelajari kemungkinan efek samping yang dapat timbul dari ASI yang diberikan. Pada sampel ASI turut diperiksakan PEGylated protein atau kadar protein Polietilen Glikol (PEG) yang biasa ditemukan pada vaksin mRNA dan dilaporkan menjadi penyebab terjadinya reaksi alergi pada beberapa kasus.
Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa dibandingkan dengan sebelum vaksinasi, tidak terdapat perubahan bermakna dari kadar PEGylated protein pada ASI sesudah vaksinasi, bahkan hingga 2 minggu setelah pemberian vaksin dosis kedua. Partikel mRNA yang disuntikkan didesain untuk segera terurai dengan cepat sehingga tidak akan meninggalkan sel lokasi injeksi, lalu masuk ke pembuluh darah dan diekskresikan melalui ASI.
Studi-studi yang dilakukan terhadap berbagai jenis vaksin juga menilai bahwa tidak terdapat bagian dari vaksin yang diekskresikan ke dalam ASI, sehingga vaksin aman bagi bayi.[1,2,7]
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Perl SH et al yang menyimpulkan bahwa tidak ditemukan efek samping berat (kematian, perawatan rumah sakit, atau disabilitas) pada bayi yang diberikan ASI dari ibu yang mendapatkan vaksin COVID-19.
Efek samping muncul pada bayi yang mendapat ASI terjadi dalam frekuensi sangat rendah, sebesar 12%, berupa gejala gastrointestinal, ruam, hingga perubahan pola tidur setelah vaksin dosis pertama. Gejala ini tidak muncul sama sekali setelah pemberian vaksin dosis kedua.
Akan tetapi, efek samping tersebut merupakan kondisi yang dapat ditemukan pada bayi yang mendapatkan ASI, dan dapat juga terjadi akibat infeksi virus maupun faktor lainnya. Oleh karena itu, efek samping tersebut tidak dapat dikaitkan secara langsung dengan vaksinasi.
Efek samping yang terjadi pada ibu yang mendapatkan vaksin COVID-19 umumnya ringan, berupa gejala kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), yaitu demam, nyeri otot, dan kelelahan yang menghilang setelah 72 jam setelah vaksinasi.
Oleh sebab itu, WHO merekomendasikan setiap ibu yang menyusui dapat langsung menyusui setelah vaksinasi diberikan karena terbukti aman.[1,2,7]
KESIMPULAN
ASI dari ibu yang mendapat vaksin COVID-19 diketahui dapat mengandung antibodi terhadap SARS-CoV-2. ASI akan melapisi rongga mulut, kerongkongan, dan saluran cerna bayi, sehingga diharapkan dapat membantu menurunkan risiko infeksi pada bayi. Namun, belum terdapat bukti pasti bahwa vaksinasi COVID-19 pada ibu dapat menstimulasi respons imun pada bayinya.
Vaksinasi COVID-19 pada ibu menyusui tidak memiliki dampak negatif maupun efek samping serius terhadap bayi karena partikel vaksin tidak akan diekskresikan ke dalam ASI. Oleh karena itu, WHO menganjurkan agar menyusui tetap dapat dilanjutkan meski ibu baru saja mendapatkan vaksinasi COVID-19.
Ibu juga dianjurkan untuk memberikan ASI hingga usia 24 bulan agar bayi mendapatkan proteksi maksimal terutama selama masa pandemi masih berlangsung. Selain itu, protokol kesehatan yang telah ditentukan tetap harus dipatuhi meskipun vaksinasi telah dilakukan guna menghindari penyebaran infeksi lebih lanjut.[1-7]